Sabah Awal Peradaban Suku Dayak di Borneo

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Legenda menyebutkan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, merupakan awal dan simbol peradaban Suku Dayak di Pulau Borneo yang kemudian mereka menyebar bermukim di wilayah Indonesia dan Brunei Darussalam.

Apabila simbol-simbol peradaban Suku Dayak di Sabah terancam dan atau punah, berarti punah pula peradaban Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo di wilayah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam, serta di Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia.

Ada dua legenda menyebutkan, Sabah sebagai simbol peradaban Suku Dayak di Pulau Borneo. Pertama, di dalam legenda Dayak Kadazan Dusun, nama Bukit Kinabalu, bukit tertinggi di Borneo, berasal dari kata Kinabalu, memiliki dua makna.

Kina dan Balu. Kina artinya Cina dan Balu artinya Janda. Terjemahan harafiahnya, Janda Cina. Menurut Legenda Dayak Kadazan Dusun di Sabah, ada seorang perempuan cantik yang menangis sepanjang hari, merindukan suaminya yang tidak pernah kembali dari daratan Cina, hanya beberapa hari setelah mereka menikah.

Air mata si perempuan tadi, menumpuk, meninggi dan kemudian berubah menjadi tumpukan batu dan atau tanah, dimana sekarang dikenal dengan Bukit Kinabalu. Jarak tempuh Bukit Kinabalu dari Kota Kinabalu, Ibukota Negara Bagian Sabah sekitar 60 kilometer, dimana sekarang menjadi salah satu obyek wisata alam legendaris di Malaysia.

Dayak Uud Danum

Di kalangan Suku Dayak Uud Danum di Indonesia, ada legenda yang disebut tatum, dan salah satu tokohnyanya bernama Ham Sau Fung. Kemudian, keturunan Ham Sau Fung, di antaranya termasuk di dalam 75 tokoh legendaris tatum, di antaranya bernama Tambun dan Bungai yang kelak pernah menjadi Komando Daerah Militer (Kodam) XI/Tambun Bungai di Palangka Raya, 1958 – 1974.

Disebutkan ada seorang lelaki perantauan dari daratan China bernama Ham Sau Fung atau Sephung datang ke Sabah. Sephung diilustrasikan sebagai lelaki ganteng (handsome), kaya raya, dan tukang kawin, dengan selalu mengawini perempuan cantik kaya raya pemilik tempayan antik.

Usai mendarat di Sabah, Sephung melanjutkan perjalanan ke Negara Bagian Sarawak, dan menemukan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang begitu indah, dan diberi nama Miri, dan sungai itu kemudian dinamakan Sungai Miri, terletak di Distrik Miri.

Saat berada di wilayah Sungai Miri, Sephung mendengar ada seorang perempuan cantik di wilayah Monakon di pehuluan Sungai Molahui (Melawi), Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, bernama Nyai Endas.

“Bakat alam” Sephung muncul, dan langsung meluncur ke Monakon. Tiba di Monakon, Sephung baru tahu Nyai Endas sudah keburu dibawa migrasi kedua orangtuanya ke wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Sephung menyusul ke Provinsi Kalimantan Tengah, dan berhasil menemukan Nyai Endas pada sebuah wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Karena senangnya berhasil kawin dengan Nyai Endas, maka Sephung kemudian menamakan DAS itu bernama Miri dan sekarang dinamakan DAS Miri.

Jadi kalau kemudian hari, dari segi pembakuan namarupabumi atau ilmu penamaan wilayah (toponimy), ada dua sungai di Borneo bernama Miri, yaitu di Negara Bagian Sarawak dan di Provinsi Kalimantan Tengah, semata-mata mengisakan petualangan asmara Sephung, asal dari daratan Cina, mendarat di Sabah, kemudian ke Sarawak, transit di Monakon, Provinsi Kalimantan Barat, hingga sampai ke Provinsi Kalimantan Tengah.

Migrasi Dayak

Legenda Dayak Kadazan Dusun di Malaysia dan Dayak Legenda Uud Danum di Indonesia, berkolerasi dengan pendapat anthropolog Pendeta Fridolin Ukur (5 April 1930 – 7 Juni 2003), menyebutkan, penduduk pribumi Borneo yang dikenal dengan nama Suku Dayak berasal dari Republik Rakyat China (RRC) selatan atau tepatnya di Provinsi Yunnan yang ikut dalam arus imigrasi besar-besaran pada 3.000 – 5.000 SM.

Penyebaran gelombang kedua disebut Melayu Muda atau Deutero Melayu terjadi sekitar 200.000 SM. Daerah asal mereka juga adalah Yunnan di Tiongkok Selatan.

Kemudian orang-orang Melayu Muda membaur dengan Melayu Tua dan sebagian terdesak ke daerah pinggiran. Keturunan dari kedua golongan yang membaur satu sama lain menjadi bagian utama Bangsa Indonesia sekarang.

Dari mana sebenarnya asal orang-orang Melayu Tua dan Melayu Muda yang kemudian menetap di Nusantara (Indonesia) pada masa prasejarah itu?

Di kalangan ilmuwan ada tiga pendapat utama: berasal dari Campa (sekarang daerah Vietnam), Teluk Tonkin dan Yunnan, Tiongkok barat daya. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ilmuwan sepakat baik Melayu Tua maupun Melayu Muda berasal dari bagian selatan daratan Asia.

Berbagai hasil studi dan penelitian, dalam memperkuat argumentasi anthropologis Bangsa Indonesia berasal dari Provinsi Yunan, RRC, baik di bidang anthropologi, folklore, linguistik dan sebagainya telah berhasil membuktikan pendapat, ras Indonesia berdasarkan sudut pandang anthropologi terbagi atas:

Pertama, Negrito, keturunannya antara lain Suku Tapiro di Papua

Kedua, Wedda, keturunannya antara lain Suku Toala di Sulawesi barat daya dan Suku Kubu di Sumatera Selatan.

Ketiga, Melayu Tua atau Proto Melayu, keturunannya antara lain Suku Batak di Sumatera Utara dan Suku Dayak di Kalimantan

Keempat, Melayu Muda atau Deutro Melayu, keturunannya antara lain, Suku Jawa, Bali, Makassar, Ternate dan suku-suku yang berbahasa Minangkabau.

Golongan 1 dan 2 termasuk golongan ras Negroid, sedangkan golongan 3 dan 4 termasuk golongan ras Mongoloid. Kelompok Mongoloid yang menyebar kebanyakan berasal dari daerah sekitar Yunnan. Menurut penelitian para ilmuwan nenek moyong kita berasal dari sekitar Yunnan di Tiongkok Selatan disebut Bangsa Austria.

Selanjutnya ketika terjadi perpindahan bangsa-bangsa, ada sebagian pindah ke India belakang, dan kemudian ada rombongan lain yang pindah ke arah tenggara, yaitu Austronesia yang terjadi kurang lebih 1.300 tahun SM.

Kondisi Sabah

Suku Dayak di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, sebagai salah satu lokasi pendaratan keturunan Suku Dayak di Pulau Borneo, menghadapi dilema sosial dan budaya yang perlu menjadi perhatian serius banyak pihak.

Kedatangan migrans dari Filipina Selatan, telah merampas peluang ekonomi sektor riil yang sangat mengancam eksesistensi Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo.

Saat bersamaan, sudah menjadi rahasia umum Perairan Sabah yang berbatasan dengan Indonesia (Kalimantan Utara) dan Minadanao (Filipina Selatan), menjadi wilayah yang sangat rawan dari segi keamanan.

Seorang anak buah kapal dan kapten kapal asal Indonesia yang bekerja di sebuah perusahaan perikanan di Malaysia, diculik sekelompok bersenjata di Perairan Sabah Malaysia, Selasa dinihari, 11 September 2018.

Belum diketahui siapa kelompok yang menyandera kedua warga negara Indonesia, asal Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Keduanya, Syamsul Saguni (40 tahun) dan Usman Yunus (35 tahun), warga Desa Lalattedong dan Desa Tallu Banua, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, diculik saat berlabuh di Dermaga Pulau Gaya di Semporna Sabah, Malaysia, pukul 01.00 waktu setempat.

Anak Buah Kapal (ABK) kapal pencari ikan Sabah Malaysia yang berawak 4 orang, semuanya warga negara Indonesia. Dari 4 ABK, dua orang asal Indonesia disandera kelompok bersenjata. Keduanya berada di kapal nelayan Dwi Jaya I, milik Perusahaan Perikanan Sabah Malaysia.

Faktor politis

Keterdesakan penduduk Suku Dayak di Sabah, ulah pendatang illegal dari Filipina, yaitu Mindanao dan Sulu selatan dari Suku Moro beragama Islam, sudah terkait masalah politik.

Sudah menjadi rahasia umum, imigran illegal, termasuk Suku Moro dari Mindanao dan Sulu beragama Islam, terkait masalah eksistensi Agama Islam sebagai agama resmi negara di Federasi Malaysia.

Para pendatang illegal itu, memang dalam takaran tertentu sengaja dibiarkan berkeliaran, karena bisa diberi hak ikut Pemilihan Umum atau Pilihan Raya, untuk mengalahkan partai lokal yang dikendalikan kalangan Suku Dayak yang beragama non Muslim.

Bahkan ada kejadian sangat tragis tahun 2013. Sabah didatangi seribuan separatis dari Suku Moro, Filipina Selatan. Juru bicara tentara Barisan Nasional Pembebasan Moro atau Moro National Liberation Front (MNLF) asal Filipina, Emmanuel Fontanilla, pernah mengklaim seribu pasukan bersenjata dari sebelah selatan Filipina telah berhasil menembus blokade perairan untuk masuk ke Negara Bagian Sabah, Malaysia.

Mereka datang untuk bergabung dengan pemimpin pemberontak Sulu, Agbimuddin Kiram, melawan pasukan keamanan Malaysia di Lahad Datu. Kedatangan separatis Moro berdasarkan historis, Sabah bagian dari wilayah Kerajaan Sulu.

Surat kabat The Malaysian Insider melaporkan, Senin, 8 April 2013, seribu tentara Sulu itu merupakan anggota tentara MNLF yang berhasil menyelinap dari pengawasan angkatan laut Malaysia dan Filipina.

“Sebagai informasi, mereka memasuki Sabah dalam formasi kelompok-kelompok kecil,” kata Fontanilla.

Lebih dari 60 pemberontak Sulu tewas setelah bertempur dengan pasukan Malaysia sejak mereka memasuki Sabah pada Februari 2013.

Tidak tanggung-tanggung, pasukan Malaysia kepada Reuters.com, mengklaim telah menangkap lebih dari seratus warga Sulu dari Suku Moro yang diduga punya hubungan dengan tentara pemberontak.

Hanya dalam hitungan jam, Malaysia mengklaim berhasil membersihkan Sabah dari ribuan separatis Moro, sebagaimana dilansir Surat kabar The Malaysian Insider.

Inilah yang menjadi masalah sangat serius di kalangan Suku Dayak di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia. Padahal, masalah pengendalian migrasi penduduk, menjadi hak mutlak Negara Bagian Sabah, berdasarkan perjanjian pembentukan Federasi Malaysia tahun 1963, dimana sampai sekarang tidak pernah digubris Fderasi Malaysia.

Eliminasi Dayak

Kedatangan imigran illegal yang mengancam eksistensi Suku Dayak di Sabah, merupakan upaya sistematis meniadakan Dayak di Borneo (systematic efforts to eliminate Dayak in Borneo), secara terstruktur dan masif.

Sama dengan di Negara Bagian Sawarak, Suku Dayak di Sabah, mengalami diskriminasi dan kriminalisasi terkait kepemilikan tanah adat. Suku Dayak dengan mudah diusir, apabila Pemerintah Malaysia menginginkan lahan untuk kepentingan pembangunan dengan mengedepankan peran investasi swasta.

Belum lagi Kitab Suci Injil di Malaysia sangat dilarang dicetak yang menyebutkan kata Allah, karena diklaim sebagai hak ekslusif pemeluk Agama Islam dan Agama Islam adalah agama resmi negara.

Kendati tidak ada larangan serupa dalam distribusi Kitab Suci Injil di Indonesia, tapi kalangan Suku Dayak, tetap mengalami diskriminasi dan kriminalisasi dalam bentuk lain, seperti perampasan tanah adat untuk perkebunan dan pertambangan, dan melalui kebijakan negara dilakukan Program Jawanisasi, melalui Program Transmigrasi, pemidahan penduduk Suku Jawa ke Borneo yang sepenuhnya dibiayai negara yang bersumber dari utang luar negeri.

Sebagai renungan, Suku Dayak adalah penduduk pribumi atau asli di Borneo. Dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, disebutkan, penduduk pribumi berhak mempertahankan identitasnya, berhak dalam pengelolaan tanah adat hingga berhak menentukan masa depan haluan politiknya.

Permasalahannya sekarang, sadarkah Suku Dayak akan hak hidupnya sekarang sudah terancam. Bicara masalah Dayak dalam arti kebudayaan, bukan hanya sekedar tampilan seni dan budaya, melainkan bagaimana Suku Dayak mampu mempertahankan hak hidup yang menyertainya, yaitu berupa mempertahankan haknya atas tanah adatnya. (Aju)