JOMBANG (Independensi.com) – Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong strategi pengembangan industri budidaya lele berkelanjutan. Hal ini untuk menggenjot produksi guna mencukupi kebutuhan konsumsi ikan lele termasuk untuk memperluas akses pasar ekspor ke beberapa negara.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto menyatakan hal tersebut saat menjadi pembicara kunci temu bisnis pengusaha lele Indonesia di hotel Yusro, Jombang. Rabu (27/9).
Temu bisnis yang mengangkat tema ” Strategi Pengembangam Industrialisasi Lele Nasional ini” turut dihadiri oleh ketua umum AP5i, Asosiasi Catfish Indonesia, Pemda, dan perwakilan pelaku usaha lele se-Provinsi Jawa Timur.
Slamet menggambarkan bahwa tren permintaan ikan konsumsi terus mengalami peningkatan, bahkan FAO mencatat pertumbuhan kebutuhan ikan dunia melebihi pertumbuhan populasi penduduk dunia. Oleh karenanya, ini menjadi peluang untuk mendorong peningkatan produksi lele nasional.
“Tren konsumsi ikan dunia tumbuh terus dan diprediksi akan sangat bergantung pada budidaya. Ini peluang bagi pelaku usaha lele untuk mensuplai kebutuhannya termasuk untuk kepentingan ekspor, yang saat ini mulai terbuka lebar utamanya ke Uni Eropa dan Timur Tengah”, terang Slamet.
Untuk menggenjot produksi lele nasional, Slamet membeberkan setidaknya ada 3 (tiga) strategi utama dalam upaya pengembangan industri budidaya lele berkelanjutan.
Pertama, mengembangkan skala usaha budidaya menjadi sebuah industri yang berbasis teknologi berkelanjutan. Menurutnya industrialisasi ini harus didorong secara holistik melalui pengembangan industri perbenihan, sistem produksi pembesaran, pengembangan input produksi lebih efisien, pakan mandiri dan industri pengolahan ikan.
Ia juga mengatakan bahwa inovasi teknologi budidaya saat ini telah berkembang sangat progresif.
Dirinya mencontohkan, pada level pembenihan telah dorong teknologi Recirculating Aquaculture System (RAS) untuk komoditas lele. Teknologi ini telah secara nyata mampu menggenjot produktivitas hingga 100 kali lipat dibanding konvensional, disamping lebih ramah lingkungan, dan efisien dalam pemanfaatan air dan lahan. Industrialisasi perbenihan menjadi sangat penting untuk menjamin ketersediaan benih bermutu secara berkelanjutan.
Disamping itu teknologi lele bioflok yang telah terbukti mampu meningkatkan priduktivitas budidaya. Bioflok juga telah mampu mengangkat image lele sebagai produk yang sangat diterima di kalangan masyarakat.
“Baru baru ini, KKP sudah bekerjasama dengan LIPI untuk menerapkan teknologi ultrafine micro bubble generator. Teknologi ini juga mampu meningkatkan kelulushidupan dan produktivitas secara signifikan dan bisa efektif juga diterapkan pada budidaya lele.
Straregi kedua, peningkatan daya saing produk. Jika orientasi kita ekspor, menurutnya, maka daya saing ini perlu ditingkatkan, yakni dengan terus mendorong pelaku usaha meningkatkan jaminan mutu dan keamanan pangan.
“Standarisasi teknologi dan sertifikasi CBIB akan terus didorong. Sehingga ikan lele memiliki image positif, dengan demikian preferensi konsumen juga semakin meningkat. Apalagi negara negara tujuan ekspor pasti menerapkan persyaratan mutu yang rigit. Jadi kita harus siap sejak dini”, imbuhnya.
Strategi penting lainnya yakni mendorong efisiensi produksi, utamanya bagaimana pembudidaya mendapatkan akses input produksi yang efisien.
“Tadi dikatakan harga pakan pabrikan yang terus merangkak naik akibat penguatan nilai kurs dollar terhadap rupiah, padahal pakan adalah penyusun cost produksi tertinggi yakni sekitar 70-75 persen.
Pada kondisi ini, maka harus mulai menggunakan pakan mandiri untuk meningkatkan margin keuntungan. Kita sudah kaji, ternyata kualitas pakan mandiri tidak kalah jauh dengan pakan pabrikan.
Justru dengan menggunakan pakan mandiri pembudidaya bisa menghemat biaya sekitar 4-5 ribu per kg”, jelas Slamet.
Oleh karenanya, ia berharap momen temu bisnis harus dijadikan ajang dalam memperkuat kerjasama antar stakeholders, termasuk bagaimana merumuskan strategi versi pelaku usaha yang nanti bisa dielaborasi dengan kebijakan KKP.
“Saya optimis lele ini akan menjadi primadona bukan hanya dilevel domestik. Tapi juga dapat menguasai pangsa pasar ekspor utamanya ke Timur Tengah”, pungkas Slamet.
Sementara itu, ketua Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI), Imza Hermawan saat dimintai keterangan mengatakan bahwa komoditas lele saat ini terus mengalami perkembangan seiring dengan permintaan yang terus naik.
“Harusnya peluang ini ditangkap karena tingkat konsumsi lele sangat terbuka lebar. Saat ini kita harus berpikir ke depan yakni peluang ekspor,”
Oleh karenanya, menurut Imza untuk mencapai peluang itu, para pengusaha harus mulai memahami pentingnya mendapatkan sertifikasi Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) supaya bisa tembus ke pasar ekspor.
“CBIB ini mutlak sebagai syarat menembus ekspor dan meningkatkan daya saing produk. Potensi industri lele ke depan sangat terbuka. Bulan depan, anggota APCI juga akan mempromosikan produk lele dan patin pada ajang pameran produk di Dubai. Ini langkah kita untuk memperluas pangsa pasar lele agar lebih dikenal dunia”, tegas Imza.