TAKALAR (Independensi.com) – Untuk mengatasi persoalan eks tambak udang yang selama ini tidak berproduksi atau idle akibat menurunnya kualitas lahan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), telah berhasil mengintroduksi benih ikan nila payau hasil hibridisasi untuk dibudidayakan di tambak idle.
Nila payau hibridisasi ini mampu beradaptasi dan tahan pada rentang salinitas lebih tinggi (> 20 ppt), sehingga kematian yang cukup tinggi sebagai dampak fisiologis dari proses osmoregulasi yang ditimbulkan oleh kenaikan salinitas dan selama ini menjadi permasalahan yang dihadapi ikan nila air tawar saat dibudidayakan di tambak, dapat teratasi.
Perekayasa yang berjasa dalam pengembangan teknologi tersebut ialah Dasep Hasbullah, peneliti muda Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar. Ia berhasil mengembangkan teknologi produksi nila payau unggul melalui proses hibridisasi antara strain ikan nila unggul air tawar (Gift dan Gesit) yang sudah lulus uji tantang (pengujian untuk mengetahui atau mengukur kemampuan hidup secara kualitatif pada perlakuan tertentu) dengan nila spesifik lokal Sulawesi Selatan yang sangat toleran pada salinitas tinggi dan oksigen rendah (gene pool).
Benih hasil hibridisasi telah diujicobakan di beberapa tambak di wilayah binaan BPBAP Takalar, hasilnya menunjukkan ketahanan hidup pada kisaran salinitas yang tinggi (5 – 25 ppt), kelulushidupan (SR) 82% – 90%, dan pada budidaya semi intensif menghasilkan nilai konversi pakan (FCR) sebesar 0,8, sehingga secara ekonomis membantu meningkatkan produktivitas tambak dan pendapatan pembudidaya.
Penerapan teknologi ini sudah menyebar di kawasan timur Indonesia. Setidaknya 12 Kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Takalar, Maros, Gowa, Pangkep, Pinrang, Barru, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Bone, Selayar, dan Pare-Pare sudah mengembangkan ikan nila jenis ini. Juga di Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimatan Timur, Maluku, Papua, Papu Barat, bahkan juga sudah dikembangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Atas jasanya itu, Dasep mendapatkan penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Republik Indonesia, yang diserahkan saat perayaan Hari Ulang Tahun ke-73 Republik Indonesia, 17 Agustus 2018 yang lalu.
Saat dimintai keteranganya, Jumat (7/9), Ia menjelaskan bahwa kaji terap teknologi ini sudah dilakukan sejak tahun 2009-2015 untuk menghasilkan varian hybrid ikan nila dengan performa dan karakter baru yaitu mampu hidup tumbuh dan berkembang biak dengan baik pada salinitas tinggi berkisar 5 – 25 ppt.
“Dalam pemanfaatan potensi tambak idle memang perlu adanya perbaikan manajemen sumberdaya perikanan seperti efisiensi ke arah cara yang lebih menguntungkan dari segi cost dan optimalisasi teknologi dan pengelolaan lahan yang tepat”, tegas Dasep.
Lanjut Dasep, dampak teknis dengan adanya teknologi ini antara lain : (1) karakteristik biologis yang tahan terhadap perubahan salinitas dan kondisi ekstrim akibat fluktuasi oksigen, mampu meningkatkan nilai kelulushidupan sebesar 20 – 23%, tahan terhadap penyakit dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik (20 – 23%) jika dibandingkan dengan nila air tawar yang dibudidayakan di tambak payau; (2) waktu pemeliharaan singkat dan dapat dilakukan berbagai sistem budidaya (monokultur maupun polikultur dengan udang/bandeng) yaitu 3 bulan, sehingga membantu peningkatan kesuburan dasar tambak; dan (3) mampu meningkatkan produktivitas tambak air payau mencapai >100% dan membantu mengurangi jumlah tambak idle.
“Cita rasanya yang lezat membuat ikan ini memiliki nilai jual cukup tinggi, sehingga secara ekonomis memiliki peluang pasar yang menjanjikan untuk pengembangan usaha, kemudian inovasi ini akan membantu pemenuhan gizi masyarakat dan meningkatkan perekonomian serta kesejahteraan pembudidaya”, jelas Dasep saat ditanyai dampak ekonomi dari inovasi ini.
Dirjen Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat diminta tanggapannya di Jakarta, Jumat (21/9), sangat mengaspresiasi inovasi teknologi ini. Menurutnya, dengan teknologi ini tambak-tambak yang idle dan tidak produktif bisa ditingkatkan lagi produktivitasnya.
“Ikan nila payau hasil hibridasasi ini dapat dikembangkan sebagai komoditas diversifikasi baru agar tambak yang tidak dioperasikan untuk sementara waktu (idle) dapat kembali produktif”, tambah Slamet.
Revitalisasi tambak-tambak idle bahkan mangkrak melalui budidaya ikan nila payau ini dapat dilakukan juga dengan konsep kawasan dan pembentukan organisasi usaha berbasis kelompok, sehingga tidak perlu membuka lahan baru.
Dilihat dari potensi areal tambak idle, sejatinya juga dapat menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar yang memiliki prospek ekonomi dan sekaligus memberikan kontribusi yang besar pula bagi daerah.
“Teknologi ini merupakan terobosan budidaya alternatif untuk mendukung peningkatan produksi sektor perikanan budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dengan begitu usaha masyarakat juga terjamin berkelanjutannya, sehingga kesejahteraan dapat dicapai’, tegas Slamet.
Usaha pembesaran nila air payau hibridisasi di tambak dengan luas 1 hektar membutuhkan biaya tetap sebesar Rp. 4,4 juta untuk sewa tambak, pompa air dan pengadaan sarana produksi, sedangkan biaya operasional selama 1 siklus (90 hari) sebesar Rp. 73,4 juta untuk pembuatan/rehabilitasi konstruksi tambak, pengadaan pupuk, saponin, benih, pakan, probiotik, bahan bakar dan lainnya.
Nilai kelulushidupan nila payau hibridisasi mencapai 85% dengan padat tebar 50.000 ekor per hektar (5 ekor per m2), sehingga mampu panen sebesar 7.055 kg dengan harga per kg Rp. 22 ribu. Dari estimasi tersebut maka hasil pendapatan (outcome) per siklus sebesar Rp. 155,3 juta dengan keuntungan bersih Rp. 77,5 juta.
Analisis ekonomi menunjukkan bahwa budidaya pembesaran ikan nila payau hibridisasi menguntungkan, dimana nilai B/C ratio lebih dari 1 dan BEP (Break Event Point) harga sebesar Rp. 11 ribu sehingga akan terjadi titik impas terhadap modal yang dikeluarkan (modal kembali) bila harga per satuan mencapai Rp. 11 ribu.