Oleh Aju
PONTIANAK (IndependensI.com) – Situs Pemukiman Serakup Tampun Juah Suku Dayak Ibanic di Desa Segumon, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, membuktikan tetap eksisnya peradaban budaya Suku Dayak.
Dalam anthropologi budaya dipahami, kebudayaan melahirkan agama, agama adalah produk budaya. Kebudayaan masyarakat pada suatu kawasan, kemudian, terbukti melahirkan agama tradisi besar, atau agama bumi atau agama samawi (berdasarkan wahyu, seperti Agama Katolik).
Agama Kaharingan yang sampai sekarang masih dianut kalangan Suku Dayak Uud Danum, Suku Dayak Ngaju dan Suku Dayak Baritu di Provinsi Kalimantan Tengah, memang lahir dari Kebudayaan Suku Dayak, dan pertama kali diperkenalkan Tjilik Riwut saat menjadi Residen Sampit tahun 1942.
Selasa, 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), berupa pengakuan terhadap aliran kepercayaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap keberadaan aliran kepercayaan, Selasa, 7 Nopember 2017, implikasinya pengakuan terhadap keberadaan agama asli di Indonesia, termasuk pengakuan terhadap keberadaan Agama Kaharingan di kalangan Suku Dayak.
Alam Gaib
Mengutip cerita Elyakim Simon Djalil, Bupati Sintang (2000 – 2005), berdasarkan keterangan masyarakat di Desa Segumon, di lokasi itu diyakini sebagai situs pemukiman, atau bekas tempat tinggal kuno leluhur Dayak Ibanic.
Pemerintah menggariskan, situs pemukiman (tempat tinggal kuno) maupun situs pemujaan (tempat menggelar ritual kepada leluhur) di-enklav dari kegiatan ekonomi nonkonservasi, sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan.
Apalagi putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012, tanggal 16 Mei 2013, menegaskan, hutan adat di luar hutan negara, dan hutan adat adalah milik masyarakat adat, dan lokasi hutan adat di luar tanah negara.
Menurut Simon Djalil, ada salah satu anggota masyarakat kebetulan memasuki kawasan hutan belantara di lokasi yang diyakini sebagai situs pemukiman kuno di Desa Segumon.
Saat berada di tengah hutan, tiba-tiba menjumpai masyarakat yang masih tinggal di rumah betang (rumah tiang panggung memanjang), saat musim buah. Lokasi itu diyakini sebagai tempat pemukiman manusia Suku Dayak di alam gaib.
Anggota masyarakat tadi dengan ramah disuguhkan berbagai jenis buah seperti langsat, durian, mempelam, manggis, dan lain-lain.
Puas menikmati suguhan buah, anggota masyarakat yang hidupvdi alam nyata tadi, pamitan, pulang.
Sampai di rumah alam nyata, lalu diceritakan keramahan warga Dayak di lokasi Situs Serakup Tampun Juah.
Warga masyarakat lain penasaran dan mengajak si saksi mata tadi kembali mengunjungi lokasi dimaksud.
Tapi saat tiba di lokasi, sudah tidak lagi ditemukan warga yang bermukim di rumah betang. Warga alam nyata hanya menemukan kawasan hutan belantara, dan sejumlah puing-puing sisa pemukiman kuno.
Dalam perjalanan, lokasi ini kemudian berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit oleh salah satu perusahaan.
Konflik dengan masyarakat tidak terhindarkan. Kekuatan uang akhirnya keluar sebagai pemenang.
Tapi saksi mata yang pernah menyaksikan kehidupan di alam gaib di Situs Serakup Tampun Juah, kemudian mengilhami sikap keras kepala salah satu warga lainnya, untuk mempertahankan sisa lahan di jantung situs pemukiman seluas satu hektar. Sisa lahan satu hektar tadi, diklaim menjadi milik leluhurnya.
Bupati Sanggau
Saat Paulos Hadi terpilih menjadi Wakil Bupati Sanggau, sisa lahan situs seluas satu hektar, dibeli seharga Rp11 juta.
Saat uang Rp11 juta diserahkan kepada warga penjual, Paolus Hadi, kembali menghibahkan lahan seluas satu hektar tadi kepada masyarakat Desa Segumon. Syaratnya, tidak boleh lagi diperjual-belikan, dan hanya boleh digunakan untuk lokasi digelarnya ritual adat dan atau ritual agama asli Suku Dayak.
Karena jabatan yang dipegangnya, Wakil Bupati Sanggau, Paulos Hadi, melakukan diskusi persuasif dengan manajemen perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Hasilnya di luar dugaan. Perusahaan dengan senang hati mengembalikan lahan, sehingga lokasi situs pemukiman tadi yang tersisa satu hektar, sekarang bertambah menjadi 249 hektar sehingga luas keseluruhannya sekarang menjadi 250 hektar.
Syaratnya, berdasarkan perjanjian dengan masyarakat, setelah masa berlaku sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) habis, maka lahan 249 hektar otomatis milik masyarakat adat Dayak di Desa Segumon.
Sebuah penyelesaian konflik kepemilikan tanah dengan masyarakat yang bisa diselesaikan secara arif dan bijaksana, tanpa harus merusak alam investasi.
Pengalaman Paulos Hadi saat sudah menjadi Bupati Sanggau (dan terpilih lagi periode kedua pada Pemilihan Kepala Daerah serentak, Rabu, 27 Juni 2018), bisa direkomendasikan dijadikan model di dalam mengembalikan tanah adat Dayak yang sudah terlanjur diambil para investor yang hanya bermodalkan selembar surat izin dari otoritas berwenang.
Langkah Paulos Hadi, kemudian berbhasil mengilhami rekomendasi Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017.
Dalam rekomendasi seminar tahun 2017 itu, ditegaskan, hutan adat masyarakat Dayak yang sudah beralih fungsi untuk kegiatan ekonomi mengedepankan peran investor, maka setelah habis satu siklus tanam dan atau habis izin berlakunya, otomatis milik masyarakat Adat Dayak setempat.
Nyengkelan Tanah
Penghargaan Pemerintah terhadap situs pemukiman dan pemujaan di Indonesia, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, merupakan pengakuan terhadap karakteristik masyarakat adat.
Sebagian besar masyarakat Suku Dayak sekarang masih berpegang teguh kepada kebudayaannya. Aplikasi penghayatan terhadap kebudayaannya, dalam takaran tertentu, sulit dijelaskan dengan akal sehat.
Di tengah musim kemarau, 13 Juli 2013, Suku Dayak Kantuk, stramras Dayak Iban atau Ibanic, menggelar ritual nyengkelan tanah atau memberkati tanah di Desa Jaras, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
Ritual nyengkelan tanah, dipimpin Tumenggung Terapit yang sudah memeluk Agama Katolik. Ritual nyengkelan tanah, selalu digelar Suku Dayak Kantuk, setiap kali membuka lahan baru untuk menanam padi.
Keajaiban alam terjadi. Saat Tumenggung Terapit, dengan berteriak lantang memanggil roh leluhur, tanah di tempat ritual nyengkelan tanah digelar, tiba-tiba bergetar, dengan ditandai dedaunan yang menua, berguguran.
Saat terjun ke palung Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, rombongan Tumenggung Terapit mesti menelusuri pinggiran pantai sampai ke tengah permukaan air sekitar 200 meter.
Ketika sesajen diletakkan di pinggir sungai, bersamaan dilakukan pemanggilan roh leluhur, tiba-tiba muncul gelombang air ketinggian sekitar 25 centimer, dengan terdengar suara gemuruh, beberapa detik. Setelah itu, permukaan air kembali terlihat mengalir tenang.
Mandau di Palangka Raya
Bagi masyarakat luar, aplikasi ritualisasi agama asli Suku Dayak, memang menarik dicemarti. Senin, 16 Nopember 2016, saat menyampaikan materi cermah: “Punahnya Agama Kaharingan di Kalimantan Barat”, di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Saya, ditanya Purwadi, salah satu staf pengajar di perguruan tinggi milik Ordo Sancte Crucis (OSC) atau Ordo Salib Suci, itu.
Purwadi, asal Pulau Bangka, menceritakan pengalaman tidak biasa dari salah satu rekannya yang baru pulang dari Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah. Mengutip keterangan rekannya pasca kerusuhan rasial di Sampit taun 2001, Purwadi, mengatakan, ada salah satu lelaki Suku Dayak, menghadiahkan satu bilah mandau.
Teman Purwadi, sedianya keberatan membawa pulang mandau tadi, karena pasti akan bermasalah saat diperiksa di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangka Raya. Apalagi aroma pasca kerusuhan di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, suasana ketakutan yang mencekam memang belum sepenuhnya reda.
Lelaki tua orang Dayak tadi, paham. Mandau kembali dibawa ke dalam kamar. Saat keluar, mandau sudah dibungkus dengan kertas koran bekas, sambil berkata, “Kalau ada masalah di Bandar Udara Tjilik Riwut, beritahu mandau ini pemberian orang Dayak di Palangka Raya.”
Versi Purwadi, keanehan memang terjadi. Saat diperiksa di ruang khusus, bungkusan mandau saat terlihat di ruang monitor, hanya sebuah tongkat. Wujud mandau sama sekali tidak terlihat, sehingga diloloskan petugas, dan mandau disimpan dengan sangat baik sampai sekarang.
Akal dan Budi
Pertanyaan kemudian, saktikah orang Dayak?
Pertanyaan menjadi relevan, karena setiap kali masyarakat Suku Dayak di Kalimantan terlibat konflik dengan kelompok lain, termasuk kerusuhan dengan Suku Madura di Sampit, selalu muncul hal-hal di luar akal sehat.
Pada kerusuhan Dayak – Madura di Sampit tahun 2001, tiba-tiba saja, ribuan warga Suku Dayak dengan ikat kepala merah membanjiri kota itu, disertai teriakan histeris dari berbagai penjuru, kemudian disambut suara halilintar bersahut-sahutan.
Suasana terang benderang pada siang hari, tiba-tiba mendung, dan tidak lama kemudian hujan turun lebat.
Suasana mencekam, kemudian reda, setelah warga Suku Madura sepenuhnya berhasil diungsikan lewat Pelabuhan Sampit, dan ribuan orang Suku Dayak berikat kepala merah tadi, menghilang begitu saja.
Fakta-fakta seperti inilah yang selalu muncul kepermukaan. Celakanya, lantaran kurang dibekali sebuah pemahaman filsafat yang utuh, sering kali oknum Suku Dayak memanfaatkan momen seperti ini, untuk kepentingan pragmatis, sehingga akhirnya merusak citra Suku Dayak secara keseluruhan.
Padahal, kekuatan alam bawah sadar, sehingga bisa berkomunikasi dengan manusia di alam gaib, tidak hanya ada di kalangan Suku Dayak, karena terjadi pula pada etnis lainnya di Indonesia.
Suku Jawa, misalnya, sangat menghormati aplikasi pemahaman kebudayaan kejawen dalam kehidupan keseharian, demi tetap terjaganya keseimbangan alam sekitar.
Aplikasi terhadap eksistensi agama asli, termasuk di kalangan Suku Dayak, pada dasarnya, bisa dijelaskan secara ilmiah, apabila mengacu kepada ajaran filsuf Thomas Aquinas, 1225 – 1274, dengan memperkenalkan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, dimana ditegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Dengan demikian, sebetulnya semenjak abad ke-XII, sudah tidak dikenal lagi istilah atheis, atau tidak bertuhan. Karena setiap suku bangsa di dunia, mengenal dan atau berkomunikasi dengan Tuhan, menggunakan akal dan budinya.
Suku Dayak, sudah memiliki agama asli, sebelum agama impor (Katolik, Protestan, Islam, Hidu, Budha dan Konghucu) masuk ke wilayah Indonesia.
Konsili Vatikan II, 1965
Pemahaman Filsuf Thomas Aquinas kemudian resmi diadopsi di dalam Ajaran Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II, 1965, dimana ditegaskan, di luar Gereja, tetap ada keselamatan.
Nafas Konsilisi Vatikan II, 1965, kemudian dalam penyebaran Iman Katolik mengenal istilah inkulturasi Gereja Katolik di dalam budaya lokal, termasuk inkulturasi Gereja Katolik di dalam Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Borneo.
Akan tetapi bagi staf pengajar Sejarah Gereja Katolik Program Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta, Pastor DR Gregorius Budi Subanar SJ, inkulturasi Gereja Katolik di dalam kebudayaan Suku Dayak, sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, masih merupakan sebuah perdebatan panjang, karena implikasinya sangat luas dan kompleks.
“Selama ini, inkulturasi Gereja Katolik ke dalam budaya lokal, termasuk dalam Kebudayaan Suku Dayak, masih dilihat sebatas dalam pesta budaya maupun atraksi budaya setiap kali ritual selepas panen padi yang disebut gawai di Provinsi Kalimantan Barat, dan Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, dan lain-lain,” kata Subanar.
Menurut Subanar, inkulturasi Gereja Katolik di dalam kebudayaan Suku Dayak, mesti dilihat sampai sejauh mana pergulatan Gereja Katolik di dalam menuntun proses kehidupan nyata masyarakat Suku Dayak, termasuk di antaranya menuntun hak hidup yang menyertainya berupa hak kepemilikan terhadap tanah, termasuk di antaranya memperjuangkan pengakuan terhadap kepemilikan tanah adat Suku Dayak.
Inkulturasi dalam arti luas Gereja Katolik, paling tidak mendorong langkah Suku Dayak dalam memperjuangkan dan mempertahankan haknya atas kepemilikan Tanah, terutama kepemilikan terhadap Tanah Adat Suku Dayak.
Apabila Suku Dayak sudah tidak mampu lagi mempertahankan hak hidup yang menyertainya berupa Tanah Adat Dayak, menurut Pastor Subanar, secara logika, jika dilihat dari konsep inkukturasi Gereja Katolik, maka Gereja Katolik juga secara kelembagaan harus ikut bertanggungjawab secara moral.
Pemahaman di atas, berangkat dari dokumen Gaudium et Spes (GS) atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini adalah dokumen puncak dari Konsili Vatikan Kedua. Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam sebuah pemungutan suara 2.307 berbanding 75, dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 7 Desember 1965.
Judul Gaudium et Spes atau Kegembiraan dan Harapan (dalam Bahasa Inggris “Joy and Hope”) diambil dari baris pertama dokumen ini, sebagaimana umumnya dokumen Gereja Katolik dinamai.
Dalam dokumen GS, yaitu hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa), menyebutkan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”
“Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.”
“Atas pemahaman ini, Gereja Katolik di Kalimantan mesti mencari formula yang relevan di dalam menuntun masyarakat Suku Dayak dalam memperjuangkan haknya atas tanah, terutama tanah Adat Dayak.”
“Karena tanah bagi masyarakat Suku Dayak merupakan hak hidup paling mendasar yang menyertainya di dalam kehidupan nyata di tengah-tengah pergulatan global di bidang budaya, sosial, ekonomi dan politik,” kata Subanar.
Cendekiawan Dayak
Di tengah situasi seperti inilah, muncul wacana pembentukan Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN), dengan salah satu pemrakarsa, Willy Midel Yoseph (58 tahun), Bupati Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, 21 Juli 2003 – 26 Juli 2013.
Bertempat di kediaman Nico R Toun, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Kamis malam, 25 Oktober 2018, Willy Midel Yoseph, menggelar sosialisasi ICDN, dan disambut antusias.
Hanya dalam hitungan jam, kalangan cendekiawan Dayak di Pontianak, melakukan inventarisir. Hasilnya, jumlah orang Dayak bergelar doktor dan profesor di Provinsi Kalimantan Barat, sudah mencapai 45 orang, dan 11 orang lagi berstatus kandidat doktor.
Ini membuktikan sumberdaya manusia Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, tidak kalah dengan etnis lainnya.
Salah satu tujuan pembentukan ICDN, menghimpun potensi sumberdaya manusia Suku Dayak, agar mampu berperan aktif di dalam pembangunan, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Banyak harapan terhadap kehadiran ICDN yang diharapkan bisa dideklarasikan paling lambat akhir Desember 2018. Di antaranya, menyusun format pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Suku Dayak, di samping tuntutan agar mampu berperan aktif di dalam pembangunan, baik pada level regional, nasional maupun internasional.
Tantangan di depan mata dihadapi Suku Dayak adalah masih terjadinya kriminalisasi dan diskriminasi dalam penjabaran program pembangunan, terutama praktik perampasan tanah adat Dayak untuk kepentingan investasi, transmigrasi, apabila dikaitkan dengan status Suku Dayak sebagai penduduk asli.
Perlu disadari, dalam sejarah peradaban Bangsa Indonesia, Suku Dayak sebagai rujukan kebudayaan nasional, setelah Balai Arkeologi Banjarmasin tahun 1998 menemukan puing-puing kerajaan prasejarah tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Nan Sarunai, milik Suku Dayak Maanyan di Amungtai, Kalimantan Selatan, dengan kisaran tahun 242 – 226 Sebelum Masehi (SM).
Bandingkan klaim sebelumnya, Kerajaan Kutai Martadipura milik Suku Dayak Kutai di Kalimantan Timur sebagai kerajaan tertua di Indonesia yang berdiri tahun 400 Masehi (M).
Ideologi Dayak
Sebagai pemilik peradaban paling tua di Indonesia, maka dalam rangka meningkatkan partisipasi aktif di dalam pembangunan nasional dalam bingkai NKRI, Suku Dayak membutuhkan ideologi pendukung ideologi Pancasila, sebagai patokan berperilaku yaitu hormat pada leluhur, hormat kepada orangtua dan hormat kepada negara.
Kepemilikan ideologi pendukung ideologi Pancasila di kalangan Suku Dayak sangat relevan, untuk menjaga suasana kebatinan kalangan akar rumput setiap kali usai digelar pesta demokrasi, baik di tingkat regional maupun nasional.
ICDN diharapkan mampu meramu konsep ideologi Suku Dayak sebagai pendukung penghayatan terhadap ideologi Pancasila, demi tetap terjaganya suasana kebatinan di kalangan Suku Dayak dalam menapaki denyut kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik, agar memiliki pijakan berperilaku sebagai penduduk asli di Pulau Borneo.
Di antara 46 pasal Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, di antaranya penduduk pribumi, termasuk Suku Dayak, dilindungi hak kepemilikannya terhadap tanah adat, hak mempertahankan identitas budaya dan hak menentukan sikap atau atau haluan politiknya.
Pergulatan batin, pergolakan batin, dan konflik batin di dalam hidup keseharian Suku Dayak yang selalu akrab dengan alam sekitar, diharapkan dapat dijadikan salah satu rujukan bagi ICDN di dalam menyusun format pembangunan yang relevan bagi Suku Dayak, karena harus sejalan dengan ideologi Dayak yang sudah disepakati sebelumnya.(*)
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat