JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung menegaskan tanah dan bangunan di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan yang dijadikan barang-bukti kasus korupsi pembelian valuta asing atau valas oleh PT (Persero) Pertamina pada 2000-2001 hingga masih diblokir.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Mukri kepada wartawan di Jakarta, Kamis (15/11/2018) menegaskan pemblokiran dilakukan Satuan Tugas Khusus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi Kejaksaan Agung RI dengan merujuk putusan pengadilan.
Oleh karena itu, tuturnya, tidak benar tanah dan bangunan sertitikat HGB 6374/Pondok Pinang yang terletak di Jalan Metro Pondok Indah Blok TB Persil 34 Jakarta Selatan sudah dilepas JAM Datun Loeke Larasati saat masih Kepala Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejaksaan.
“Karena sampai saat ini statusnya masih diblokir Kejagung,” kata Mukri untuk membantah pernyataan Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar yang menyebutkan tanah dan bangunan di Pondok Indah telah dilepas Kepala PPA Kejaksaan RI Loeke Larasati.
“Pernyataan Saudara Haris Azhar itu tidak tepat karena tidak berdasarkan informasi yang menyeluruh dan tanpa data,” tutur Mukri.
Dia mengaku nasib terhadap tanah dan bangunan di Pondok Indah yang dijadikan barang-bukti kasus korupsi memang sudah diputus pengadilan. Namun putusannya satu sama lain berbeda dalam satu perkara yang sama yang di-split atau dipisah penanganannya.
Disebutkannya putusan untuk perkara atas nama terpidana Syaiful Bachri Ismail pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) MA RI Nomor: 53/Pid/2004 tertanggal 5 November 2004 memerintahkan tanah beserta bangunan di Pondok Indah itu dikembalikan kepada pemiliknya Erlangga Satriagung, segera setelah sidang selesai.
“Namun dalam dua perkara lain dalam kasus yang sama dan dengan objek yang sama putusannya tanah dan bangunan tersebut dirampas untuk negara,” ungkap Mukri.
Pertama, pada putusan Kasasi MA RI Nomor: 169K/Pid.Sus/2010 pada 29 November 2010 atas nama terpidana Yusuf Pangemanan. Kedua, putusan perkara atas nama Hardiani Soegito yang disidang in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Juli 2010.
Putusan terhadap Hardiani Soegito, tutur Mukri, juga telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht berdasarkan putusan Nomor: 28/PidB.2010/PN JKT PST.
Namun sebelumnya jaksa selaku eksekutor berdasarkan putusan PK MA pada 2004 sempat mengembalikan tanah dan bangunan itu kepada Erlangga selaku pemilik tanah yang membeli dari Hardiani Soegito pada 29 November 2001.
Erlangga kemudian menjualnya lagi kepada James Benyamin Lumenta pada 24 Juni 2003. Selanjutnya pada 25 juni 2011 tanah beserta bangunan itu dijual Lumenta kepada Djani Sutedja.
“Tapi Satgassus barang rampasan dan sita eksekusi Kejaksaan Agung pada 14 November 2011 kemudian memblokir tanah dan bangunan milik Djani berdasarkan dua putusan pengadilan di kasus Yusoph Pangemanan dan Hardieni Soegito,” kata Mukri. (MJ Riyadi)