Kenaikan harga avtur dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mengakibatkan maskapai penerbangan berdarah-darah

Alvin Lie: Naiknya Harga Avtur Bikin Maskapai Alami Krisis Keuangan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kenaikan harga avtur dan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap USD mengakibatkan maskapai penerbangan nasional babak belur.

Ketua Umum INACA Ari Askhara Danasaputra mengatakan biaya terbesar operasional maskapai adalah untuk avtur sekitar 40-45 persen dan pembayaran leasing beli maupun sewa pesawat serta pembelian komponen pesawat yang mengunakan mata uang USD sekitar 10%. Sisanya untuk operasional dan gaji pegawai.

Sejak pemerintah menetapkan tarif batas bawah dan tarif batas pada tahun 2016 lalu, maskapai penerbangan tidak pernah menjual tiket yang hampir menyentuh tarif batas atas. Kalaupun pernah hanya pada periode tertentu seperti pada lebaran, natal dan tahun baru serta pada musim liburan sekolah. “Selebihnya, tiket dijual jauh dibawah tarif batas atas,” kata Ari pada diskusi “Apakah Harga Tiket Hari Ini Masih Mahal?” yang diselenggarakan di Restoran Penang Bistro Jakarta, Selasa (15/1).

Harga avtur sejak tahun 2016 hingga Desember 2018 rata-rata kenaikannya mencapai 68%. Adapun nilai tukar rupiah telah mengalami depresiasi yang cukup tinggi dibandingkan nilai tukar USD pada kurun waktu tersebut. Padahal untuk leasing yang didominasi perusahaan dari Eropa dan Amerika pembayarannya menggunakan mata uang USD.

Direktur Utama PT Citilink Indonesia Juliandra menambahkan, pada tahun 2017 harga avtur 55,1 Sen USD. Pada 2018 rata-rata 65,4 sen USD atau kenaikan sebesar 19%. Padahal setiap kenaikan avtur 1 sen USD per liter mengakibatkan kenaikan biaya pembelian avtur sebesar 47 USD.

Demikian halnya saat nilai tukar rupiah terhadap USD melemah. Setiap kali nilai tukar rupiah mengalami pelemahan Rp 100 saja maka biaya yang harus ditanggung Citilink sebesar 3,7 juta USD

“Tambahan biaya operasional PT Citilink Indonesia pada tahun 2018 untuk kenaikan avtur, depresiasi nilai tukar rupah terhadap dollar Amerika dan biaya bandara mencapai 102 juta USD,” kata Juliandra

Pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan kondisi-kondisi yang disebutkan oleh pelaku penerbangan mengakibatkan keuangan perusahaan menjadi kritis. Berbagai cara yang dilakukan hanya mampu mengurangi kerugian saja.

Menurunnya jumlah penumpang juga menjadikan airlines nasional berdarah-darah. Ia mencontohkan pada periode natal dan tahun baru 2018 sebagaimana dilaporkan Ditjen Perhubungan Udara jumlah oenumpang mengalami penurunan sebesar 9,75% dibandingkan periode yang sama tahun 2017.

Bahkan di enam bandara yang dipantau seperti bandara Soekarno Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, I Gusti Ngurah Rai Bali, Kualanamu Medan, Sultan Hasanuddin Makasar dan dengan penurunan 13,14%.

Dibukanya jalan tol Trans Jawa akan memberikan dampak negatif karena untuk bepergian antar kota masyarakat kini menggunakan kendaraan darat. Dulu dari Semarang ke Surabaya pilihannya pesawat. Sekarang banyak yang beralih ke mobil karena bisa ditempuh dengan waktu 5 jam saja.