JAKARTA (Independensi.com) Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Ari Askhara Danadiputra mengakui pada angkutan Natal dan Tahun Baru 2019 lalu pada rute-rute tertentu, maskapai yang dipimpinnya menerapkan harga hingga 90% dari tarif batas atas yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.
Ari beralasan penerapan harga tinggi pada periode Nataru disebabkan faktor supply and demand. Karena pada rute- rute tertentu permintaan tiket tinggi, secara otomatis harga jual juga akan terdongkrak naik.
Hal lain yang membuat harga tinggi karena pada rute-rute tertentu seat pesawat akan full namun saat baliknya load factornya rendah. “Jadi tarif berangkatnya kita naikkan tapi tarif baliknya turun kok,” kata Ari pada diskusi dengan tema “Apakah Harga Tiket Saat Ini Masih Mahal” yang di langsungkan di Restoran Penang Bistro Jakarta, Selasa (15/1)
Kemudian ada pertanyaan, kenapa setelah selesai Nataru harga tiket Garuda masih tetap diatas? Ari yang juga Ketua Umium INACA menjelaskan, untuk rute Jakarta-Bali memang masih tinggi karena permintaan tidak pernah turun.
Bagaimana dengan maskapai Low Cost Carrier (LCC)? Pada periode yang sama maskapai LCC rata-rata menerapkan tarif hingga 70% dari tarif batas atas. Pertimbangan sama, yaitu permintaan pasar yang tinggi.
“Rencananya setelah periode Nataru tarif akan diturunkan, tapi sudah jadi isu nasional kalau tarif penerbangan mahal,” kata Ari.
Dirut PT Citilink Indonesia Juliandra mengatakan pada saat masyarakat berteriak harga tiket mahal sesungguhnya Citilink tetap menjual harga dibawah tarif batas atas.
Kalau selama ini Citilink menjual tiket dengan harga rendah, menurut Juliandra karena diskon yang selama ini diberikan lumayan besar. ” Nah pada periode Nataru diskonnya yang kita kurangi,” jelas Juliandra.
Dengan menjual tarif penerbangan hampir menyentuh tarif batas atas, maskapai LCC mencoba meraih margin positif. Selama ini tarif yang dijual maskapai LCC adalah subaidi sub class.
Sementara itu Ketua YLKI Tulus Abadi mengakui maskapai penerbangan tidak melakukan pelanggaran tarif. Hanya saja maskapai gagal memahami psikologi konsumen.
“Konsumen shock. Selama ini konsumen menikmati tarif penerbangan yang murah atau diskon yang besar. Begitu harganya melonjak tinggi langsung terkaget-kaget,” kata Tulus.
Tarif belum turun, tiba-tiba maskapai LCC yang awalnya membebaskan biaya bagasi, sekarang bagasinya berbayar. Maka tidak salah jika masyarakat kemudian berasumsi maskapai menaikkan tarif secara terselubung meski secara aturan bagasi berbayar oleh maskapai LCC diperbolehkan.