Kartu Peserta Asuransi. (Humas Budidaya KKP)

KKP: Asuransi Pembudidaya Lindungi Saat Bencana Alam

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Usaha sektor perikanan budidaya dipandang usaha yang mempunyai resiko tinggi terhadap bencana alam dan rentan serangan hama dan penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan produksi bahkan gagal panen sehingga pendapatan pembudidaya ikan menurun.

Bencana alam dapat menyebabkan pembudidaya ikan menderita kerugian yang cukup besar sehingga untuk usaha berikutnya tidak mempunyai modal lagi, bahkan bagi pembudidaya yang meminjam kredit bisa menyebabkan menimbulkan kredit macet.

“Bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini, seperti Tsunami Palu dan Tsunami Selat Sunda, harus menjadi pembelajaran tentang pentingnya asuransi bagi pembudidaya ikan, karena potensi bencana alam akan dapat menyebabkan kerugian baik sarana maupun prasarana budidaya”, terang Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat dimintai keterangannya, baru-baru ini.

“Saat Tsunami Selat Sunda saja, sebagian usaha perikanan budidaya disana mengalami kerusakan yang cukup parah, diantaranya kerusakan kolam, tambak, sarana perbenihan dan kematian ikan massal, sehingga harus disadari perikanan budidaya secara cepat atau lambat tidak terlepas dari pengaruh kondisi alam”, jelasnya.

Keseriusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam mengatasi kerugian usaha budidaya yang diakibatkan oleh bencana alam dilakukan melalui Program Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK).

Lanjut Slamet, APPIK ini merupakan langkah konkrit dari komitmen KKP untuk melindungi pembudidaya ikan kecil agar mereka semakin berdaya dan mampu bangkit saat menghadapi kegagalan produksi akibat bencana alam ataupun penyakit.

Seperti yang diketahui bahwa APPIK ini merupakan yang pertama di dunia, dimana merupakan hasil kerjasama KKP dengan menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yang secara khusus membentuk konsorsium dari beberapa perusahaan Asuransi yaitu PT. Jasa Indonesia (Jasindo).

KKP menggulirkan program APPIK sejak tahun 2017 lalu, dan tahun 2018 dengan jumlah yang lebih besar. Jika di tahun 2017 alokasi untuk program ini sebesar Rp. 1.485 milyar, maka tahun 2018 menjadi Rp. 2,987 milyar. Jumlah pembudidaya juga bertambah dari 2.004 orang menjadi 6.914 orang, luasan lahan meningkat dari 3.300 hektar menjadi 10.220 hektar. Provinsi dan kabupaten/kota sasaran pun makin luas dari 37 kabupaten/kota di 14 provinsi, kini mampu melingkupi 22 provinsi dengan jumlah 59 kabupaten/kota.

“Tahun 2018 ini, KKP fokuskan untuk komoditas udang, bandeng, nila dan patin, yang sudah mencapai 10.200 hektar yaitu sebanyak 6.916 peserta di 22 provinsi tersebar di 59 kabupaten/kota seluruh Indonesia”, tegas Slamet.

APPIK dapat meng-cover bencana alam seperti banjir, tsunami, gempa bumi, longsor hingga erupsi gunung berapi. Hingga bulan November 2018, tercatat klaim senilai Rp 666 juta yang telah dibayarkan. Klaim rata-rata berasal dari pembudidaya lokasi usahanya terkena banjir atau terserang penyakit.

Pembudidaya asal Sragi Kabupaten Lampung Selatan, Sarifudin, menyampaikan bahwa sangat terbantu dengan adanya program APPIK ini. “Klaim asuransi yang kami dapat kami gunakan untuk melakukan usaha kembali untuk pembelian benur dan obat-obatab” ujar Sarifudin yang lahanya seluas 1 Ha terkena banjir.

Begitu juga Ridwan, pembudidaya asal Ketapang Kabupaten Lampung Selatan yang lahan usahanya terserang penyakit. “Dengan adanya asuransi ini, maka kegagalan usaha kami akibat penyakit dapat tertutupi melalui klaim yang kami dapatkan, yang kami belikan benur serta pakan” tutur Ridwan.

”APPIK ini merupakan upaya Pemerintah untuk memberikan contoh pentingnya asuransi. Kedepan, diharapkan asuransi APPIK ini dapat tumbuh secara mandiri. Para pembudidaya, baik kecil hingga besar dapat secara mandiri mengikuti program asurasi mandiri yang akan digagas oleh perusahaan asuransi”, tutup Slamet.

Untuk diketahui, jumlah pembudidaya ikan saat ini kurang lebih 3.740.528 orang. Potensi dan besarnya jumlah pembudidaya tersebut tentu saja menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Perusahaan Asuransi menuju asuransi mandiri.