JAKARTA (Independensi.com) – Restoran Toeng Kong pada awalnya berdiri di bagian Jalan Prapatan Jakarta Pusat yang sekarang menjadi Patung Pak Tani. Restoran ini sejak awal mengukuhkan diri sebagai restoran kelas papan atas. Menurut catatan sejarawan Des Alwi bahwa pada jaman pendudukan Jepang tahun 1942 beliau telah diminta oleh Soetan Sjahrir yang sedang ada tamu penting untuk membeli makan di restoran Toeng Kong ini.
Demikian pula dari buku biografi Letjen Purn. Soeyono berjudul Bukan Puntung Rokok dan juga dari buku H Mangil Martowidjoyo berjudul Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 bahwa Bung Karno sering memesan masakan dari Restoran Toeng Kong yang kini bernama menjadi Restoran Cahaya Kota tersebut. Bahkan Ibu Megawati dan Ibu Puan Maharani juga terlihat sesekali masih berkunjung ke Restoran ini.
Tahun 1962 restoran Cahaya Kota tergusur dari sekitar Patung Tani ke Jalan Oude Tamarindelaan, yang kemudian berubah nama menjadi Jalan Asem Lama dan kemudian menjadi Jl Wahid Hasjim, yaitu tempatnya yang sekarang. Nama restoran pun mengikuti aturan pemerintah berubah menjadi Tjahaja Kota.
Pada awal tahun 1970-an iklan Tjahaja Kota gencar tayang di TVRI. Namun mengikuti aturan Ejaan Yang Disempurnakan yang terbit tahun 1974, maka nama restoran berubah lagi menjadi Cahaya Kota.
Gubernur Jakarta kala itu Ali Sadikin pun pernah memberikan penghargaan sebagai rasa terima kasih kepada pimpinan Restoran Tjahaja Kota atas partisipasi restoran ini dalam acara “Malam Djakarta Dimasa Lampau” tanggal 18 Otober 1971. Surat penghargaan Gubernur Ali Sadikin tersebut dipajang di dinding restoran Cahaya Kota hingga saat ini.
Banyak pejabat, pengusaha, tokoh serta selebriti yang sering berkunjung ke restoran yang dibangun sejak Indonesia belum merdeka ini. Terbukti dari dokumentasi di mana banyak dipajang foto tokoh, artis dan selebriti lainnya yang pernah mampir maupun yang sering menyantap makanan di Cahaya Kota. Bahkan semua presiden dan jajaran menteri pernah menikmati makanan dari restoran ini.
Pada masa Presiden Soeharto, Cahaya Kota tetap menjadi langganan dari Istana Negara. Bahkan Istana memberikan penghargaan kepada Cahaya Kota sebagai pemasok masakan untuk upacara 17 Agustusan di Istana.
Pada tahun 1984 terjadi pergantian pemilik yang pertama kali. Namun pergantian ini tak banyak berpengaruh, Cahaya Kota tetap menjadi langganan Istana Negara bahkan berlanjut sampai di era Presiden Gus Dur, Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Penghargaan sebagai penyedia makanan untuk upacara 17 Agustusan di Istana negara masih diterbitkan Sekretariat Negara sampai dua tahun lalu. Sewaktu Gubernur Jakarta dijabat Basuki Tjahaya Purnama juga sering memesan makan dari Cahaya Kota untuk disajikan di Balai Kota.
Namun beberapa waktu terakhir, situasi bisnis kuliner terus berubah dengan persaingan yang semakin ketat. Imbasnya pendapatan restoran mengalami penurunan yang sangat tajam, terutama karena pelanggan Cahaya Kota umumnya orang-orang tua beserta anaknya. Sedangkan, anak-anak muda jarang sekali datang karena sudah tidak tahu tentang restoran Cahaya Kota.
“Supaya bisa terus bertahan, maka diperlukan konsep baru dengan manajemen yang baru. Sekarang ini banyak promosi lewat media sosial, termasuk instragram. Jadi perlu ditambah terus pelanggan baru dari kalangan muda agar mereka mengenal restoran Cahaya Kota dan bisa maju lagi seperti zaman dulu. Tanpa itu restoran ini akan tergilas oleh gencarnya industri kuliner di dalam negeri,” kata Mukian Mulyono, salah seorang dari pemilik Restoran Cahaya Kota.
Menurut Mulyono, dia menyerahkan kepada anak-anak muda untuk mengelola restoran ini dengan konsepnya yang baru. Saya sudah telalu tua dan anak-anak saya tidak ada yang tinggal di Indonesia, mereka juga tidak ingin lagi melanjutkan bisnis yang saya geluti sejak tahun 1984 itu,” kata Mulyono.
Dulu restoran itu saya ambil dari generasi pertama dan saya mengelola sebagai generasi kedua. Sekarang saatnya dikelola oleh generasi ketiga karena tantangannya sudah berbeda. Mengandalkan rasa nikmat saja tidak cukup, tetapi dibutuhkan konsep pemasaran yang lebih moderan. “Oleh karena itu, manajemen restoran Cahaya Kota akan merenovasi gedung dan operasional tutup sementara sampai selesai renovasi. Ke depan akan dikelola oleh anak-anak muda yang tahu bagaimana selera pasar. Namun, tetap dengan brand Cahaya Kota,” kata Mulyono.
Namun Mulyono belum menyebut nama pihak yang akan mengelola restoran Cahaya Kota dengan manajemen baru tersebut. Yang pasti konsep restoran ini akan berubah dan disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Karena mengubah konsep dan gedung perlu direnovasi total, maka restoran ini akan tutup opersional beberapa waktu lamanya. Sesuai rencana, tutup operasi akan dilakukan akhir bulan Februari 2019 ini. Kontrak kerja samanya sudah matang dan dipastikan segera ditutup dan direnovasi total bangunannya. “Kami berharap dengan konsep yang baru nanti Restoran Cahaya Kota bisa lebih sukses lagi,”tambahnya.
Memori Kolektif Warga Jakarta
Berdasarkan catatan Independensi.com Restoran Cahaya Kota sudah menjadi legenda yang menyimpan berbagai kenangan indah bagi pelanggannya. Sebagai restoran kelas atas telah sangat banyak orang yang menyelenggarakan momen spesial di restoran ini, mengukuhkan sebagai ikon memori kolektif warga kota Jakarta. Banyak pula selebriti yang menjadi pelanggan restoran ini.
Restoran Cahaya Kota hanya menyediakan menu halal yang dapat dikonsumsi orang Indonesia, tidak ada babi. Lebih dari itu Cahaya Kota juga tidak menggunakan MSG namun tetap menyajikan kelezatan cita rasa sempurna sebagai restoran kelas satu.
Salah seorang karyawan yang sudah bekerja selama 32 tahun bernama Marlina mengaku sangat sedih karena Restoran Cahaya Kota akan beralih manajemen. Restoran ini memiliki banyak kenangan bagi karyawan maupun pelanggan. Rata-rata karyawan yang bekerja di sini awet. Ada sudah karyawan yang sudah bekerja 20 tajun, 30 tahun, bahkan lebih. “Pokoknya kami sedih karena selama ini sudah berasa satu keluarga dan suasana kerja yang penuh kasih dan tidak ada tekanan sama sekali. Dengan manajemen baru maka belum tentu karawan lama dipekerjakan kembali,” kata Marlina. (Endang Nourmayanti)
Udah kuno, pelayanan lamban, kurang gesit, makanan gitu aja, gak ada yg baru. Sebaiknya tifak usah di tutup, tetapi diperbaiki service fan presentasi makanan nya. Karena rasa yg enak saja tidak cukup.
makanannya mmg sdh tidak seenak dulu lagi. Pelayanan lambat hrs diminta berulang2 mknan yg blm tersaji. Lamanyaaaa bukan main….
Juga pelayannya tidak hangat. Padahal kami dulu tnsk sering kesana. Beda dg resto Paramon. Pelayanbya sdh tua2, tp mereka memperlakukan kami seperti makan dirumah sendiri. Mereka mengenal semua tamu2nya. Dan memperlakukan km sbg keluarga. Makanan tetap terjaga kelezatannya dan tanpa msg.