JAKARTA (Independensi.com) – Karimawatn, merupakan nama agama asli Suku Dayak Kanayatn, kitab suci bernama Putih Suri dan tempat ibadat bernama Padagi, dengan sumber legenda suci penciptaan di Hutan Adat Gunung Bawakng, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat.
“Hutan Adat Gunung Bawakng dideklarasikan sebagai tempat suci Agama Karimawatn pada rangaian peringatan Hari Bumi Sedunia, 22 April 2020, bersamaan dengan deklarasi tempat suci Agama Kaharingan bagi Suku Dayak Uud Danum di Hutan Adat Kolohkak Tambun Bungai I di Nohkan Lonanyatn, Desa Deme, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat,” kata Cornelius Kimha, Deputi Pertahanan dan Fungsi-Fungsi Khusus Borneo Dayak Forum Internasional (BDFI), Selasa, 19 Februari 2019.
Tim khusus di kalangan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Kalimantan Barat, tengah menyusun materi Kitab Suci Putih Suri, bersumber dan atau berurat berakar dari legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Dayak Kanayatn.
Komunitas Dayak Ibanic, tengah memformulasikan jaringan infrastruktur agama asli, untuk disepekati terlebih dahulu nama agama asli, nama kitab suci dan nama tempat ibadat, untuk mudah dikenali secara administratif akan eksistensi sebuah agama bumi, dikoordinir Elyakim Simon Djalil (mantan Bupati Sintang, 2000 – 2005), Clarry Sada (staf pengajar Universitas Tanjungpura) dan Tobias Ranggie (praktisi hukum).
Komunis Dayak Ibanic dan Dayak Kanayatn, akan menyampaikan presentasi jaringan infrastruktur agama asli pada seminar internasional, dalam rangkaian Ekspedisi Internasional Tumbang Anoi 2019 di Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah, pada akhirnya 2019 ini.
Suku Ainu di Jepang, misalnya, sebuah suku perantauan dari Korea, belasan abad silam, telah mendeklarasikan Fujiyama sebagai tempat suci Agama Sinto, sebagai agama dengan komunitas terbesar di Jepang. Sekarang,doktrin Agama Sinto, sebagai roh peradaban masyarakat Jepang, kendatipun di antara mereka ada yang memeluk agama impor, seperti Agama Katolik dan Agama Kristen.
“Suku Dayak Kanayatn dan Suku Dayak Ibanic, merupakan komunitas Suku Dayak terbesar di Provinsi Kalimantan Barat, dan secara otomatis menjadi rujukan peradaban masyarakat Suku Dayak. Ini sebagai titik awal paling prinsip bagi seorang Suku Dayak, untuk kembali kepada jatidiri, sebagai manusia Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan sesama, leluhur dan alam sekitar. Agama asli sebagai roh peradaban orang Dayak,” kata Cornelius Kimha.
Menurut Cornelius Kimha, mantan Bupati Pontianak, 1999 – 2004, titik awal kehacuran seorang manusia Suku Dayak, apabila sudah tidak mampu lagi mengenal identitas diri yang bersumber kepada legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak. Legenda suci, mengkisahkan, tatanan kehidupan manusia, berupa kesantunan, kesopanan, ketentraman, dan keseimbangan alam.
Diungkapkan Cornelius, kemampuan orang Dayak di dalam mendalami agama asli, menjadi sangat penting sebagai upaya memperkaya ideologi dan filosofi dalam etika berperilaku, karena status kedayakan seseorang akan melekat di dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat.
Agama impor yang dianut orang Dayak, sebagai sarana keyakinan iman, sehingga bukan sebagai langkah mencampuradukkan ajaran agama. Karena seorang Suku Dayak yang memeluk Agama Katolik, misalnya, bukan semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik berurat berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah.
“Jadi antara agama impor yang diyakini orang Dayak, dengan tingkat kemampuan mendalami agama asli, mesti dipahami dalam konteks yang berbeda. Agama impor sebagai sarana keyakinan iman, sedangkan agama asli sebagai panduan etika berperilaku sebagai orang Dayak,” kata Cornelius Kimha.
Dijelaskan Cornelius Kimha, program revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak yang diluncurkan Borneo Dayak Forum Internasional (BDFI) bekerjasama dengan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), melakukan gerakan masif di dalam mendeklarasikan sejumlah gunung dan atau tempat lain sebagai situs pemukiman dan situs pemujaan Suku Dayak dijadikan kawasan suci agama asli Suku Dayak, sebagai modal utama menggerakkan kesadaran kolektif di dalam menetapkan kawasan Hutan Adat sebagai sumber peradaban Suku Dayak.
Kabupaten Bengkayang memiliki luas 5.396,30 kilometer persegi, dan dihuni 295.411 jiwa. Gunung Bawakng berada pada titik koordinat 0.911879°N 109.385402°E, ketinggian 1.406 meter dari permukaan laut, tempat suci bagi Suku Dayak Kanayatn, Suku Dayak Mannyadu, Dayak Bakatik dan Suku Dayak Bidayuh, dengan agama asli bernama Karmawatn, Kitab Suci bernama Putih Suci dan tempat ibadat bernama Padagi.
Hutan Adat Dayak Gunung Bawakng berada di wilayah Kecamatan Lumar, Kecamatan Bengkayang, Kecamatan Lembah Bawang dan Kecamatan Sungai Betung, seluas 836,02 kilometer persegi. Akses terdekat ke lereng Bukit Bawakng lewat Kecamatan Lumar, sekitar satu jam jalan kaki. Kecamatan Lumar, mencakup Desa Tiga Berkat, Desa Seren Selimbau dan Desa Mamagan Karya. Jarak tempuh jalur darat dari Bengkayang, Ibukota Kabupaten Bengkayang ke Lumar, Ibukota Kecamatan Lumar, sekitar 30 kilometer.
Dalam Agama asli Suku Dayak Kananyatn, dengan Kitab Suci bernama Putih Suri, tempat ibadat bernama Padagi, Tuhan Yang Maha Esa yang bermukim di Puncak Bukit Bawakng pada tingkat ketujuh disebut Pama, pengikut Tuhan Yang Maha Esa dinamakan Awapama, kemudian struktur di bawahnya sebagai Pewarta Agama Dayak Kanayatn bernama Pamane, dan manusia di alam nyata bernama Talino.
Jadi struktur tertinggi di dalam Agama Karimawatn, bernama Pama, kemudian struktur di bawahnya bernama Awapama (Jubata), Pemane (pewarta agama Dayak Kanayatn dan atau jurukunci) dan Talino (manusia di alam nyata).
Gunung Bawakng memiliki tujuh struktur bukit, yang oleh masyarakat setempat menyebut ada tujuh gunung, dimana masing-masing tujuh Gunung Bawakng memiliki nama, dan dipercaya didiami oleh para Jubata atau Awapama.
Para Jubata tersebut yaitu, Jubata Siru yang mendiami Gunung Buah Sodama, Jubata Sanga mendiami Gunung Buah Lampar Pengat, Jubata Jitat mendiami Gunung Buah Ampar Maro, Jubata Maniamas mendiami Gunung Buah Stande, Jubata Selujatn mendiami Gunung Bawakng Begantung, Jubata Merabat Ampor mendiami Gunung Buah Selebar, Jubata Selupo Nukat Bawakng mendiami Gunung Buah Selupo.
Nama–nama gunung tersebut diberi oleh masyarakat setempat karena melihat bentuk dari gunung tersebut seperti buah dan juga historis yang pernah terjadi di gunung–gunung tersebut.
Masyarakat setempat menyebut tujuh musik Bawakng tersebut dengan sebutan musik Jubata. Tujuh musik Bawakng tersebut yaitu musik Bawakng Lajakng (mendaki), musik Bawakng Balonsor (meluncur), musik Bawakng Kadedeng (penari lincah), musik Bawakng Pulo (tempat), musik Bawakng Barumutn (berembun), musik Bawakng Nyangkodo (melompatlompat), musik Bawakng Sairi (nama Desa).
Tujuh musik Bawakng memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam penggunaannya, yaitu 1) Musik Bawakng Baramutn difungsikan sebagai pengiring pada proses penyembelihan kurban (babi); 2) musik Bawakng Lajakng difugsikan sebagai musik pengiring untuk mengantar sesembahan ke atas gunung; 3) Musik Balonsor difungsikan sebagai musik pengiring ketika berdoa di atas gunung, agar ketika turun gunung diberikan keselamatan.
Kemudian, 4) Musik Bawakng Nyangkodo difungsikan sebagai pengiring tarian melompat-lompat, yang menggambarkan gerakan pendakian yang cepat; 5) Motif Bawakng Kadedeng difungsikan untuk mengiringi tarian dengan gerakan yang lincah; 6) Motif Bawakng Sairi difungsikan sebagai musik terapi bagi orang sakit; 7) Motif Bawakng Pulo difungsikan sebagai musik terapi untuk mengembalikan sumangat (semangat) orang yang tersesat di sebuah tempat.
Tujuh musik Bawakng merupakan bentuk ekspresi spiritualitas yang memiliki relasi terhadap Jubata dan tujuh Gunung Bawakng.
Hutan Adat Gunung Bawakng diusulkan seluas 20 ribu hektare, mencakup Kecamatan Lumar, Kecamatan Sungai Betung, Kecamatan Bengkayang dan Kecamatan Lembah Bawang.
Kesakralan Gunung Bawakng, selalu dikaitkan dengan kekuatan metafisika Suku Dayak Kanayatn, melalui ritual agama asli Karimawatn, bernama pamabakng, sebuah media memanggil roh leluhur, untuk membantu berperang dengan manusia Suku Dayak Kanayatn di alam nyata dengan musuh yang sudah diketahui.
Dalam upacara pamabakng, dipanggil tujuh bersaudara manusia Dayak Kanayatn dari alam gaib, yaitu Bujang Nyangko Samabue, Kamang Mudak Santulangan, Sarukng Sampuro, Sansak Lalu Samarawe, Bujang Gila Palepak, Nyaro Nyantakng Pajamuratn, dan Bensel Sampayangan, karena memiliki keunggulan masing-masing di dalam berperang. (Aju)