JAKARTA (IndependensI.com)- Kementerian Pertanian mengajak seluruh Produsen Obat Hewan Indonesia untuk terus memperluas akses pasar melalui peningkatan kualitas obat hewan dengan penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB), serta terus mewaspadai adanya ancaman penyakit infeksi baru, dan resistensi antimikroba. Hal tersebut mengemuka pada saat Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan bertemu dengan para produsen obat hewan dan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) di Jakarta (15/4).
Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyampaikan bahwa pertemuan dengan produsen ini rutin dilakukan sejak tahun 2018 dengan mengangkat tema terkait upaya-upaya peningkatan ekspor obat hewan Indonesia dan isu-isu penting seputar peternakan dan obat hewan.
“Pertemuan ini dihadiri oleh semua produsen obat hewan, baik itu produsen obat hewan sediaan biologik, sediaan farmasetik, sediaan premiks, dan sediaan obat alami yang tersebar di seluruh indonesia. Pada kesempatan ini dibahas peran produsen obat hewan dalam menjamin kuantitas dan kualitas (mutu, khasiat, dan keamanan) untuk peningkatan produksi peternakan dan akses pasar yang lebih luas, serta didiskusikan juga peran produsen obat hewan dalam pencegahan laju resistensi antimikroba,” jelas Fadjar dalam keterangan tertulisnya.
“Pada periode tahun 2015-2018 Indonesia telah berhasil mengekspor obat hewan ke 93 negara dengan nilai ekspor lebih dari 23,54 Triliun Rupiah. Nilai ekspor dan jumlah negara penerima ini trendnya terus meningkat setiap tahunnya. Kita berharap adanya pertemuan rutin dengan para produsen obat hewan Indonesia ini akan terus mendorong peningkatan akses pasar ke berbagai negara dan disertai peningkatan volume dan nilai ekspornya,” ungkap Fadjar.
“Beberapa waktu yang lalu kita berhasil menyepakati rencana peningkatan ekspor berbagai produk peternakan termasuk obat hewan ke Timor Leste. Pemerintah akan selalu berupaya untuk membuka akses-akses pasar seperti ini untuk kemudian mengajak para produsen peternakan mengisi peluang-peluang tersebut,” tambahnya.
Menurut Ni Made Ria Isriyanthi, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditjen PKH, dalam rangka mendukung peningkatan ekspor tersebut, produsen obat hewan Indonesia harus menerapkan CPOHB dengan konsisten. “Untuk lebih memahami tentang CPOHB ini, Kementan telah mengundang 3 narasumber ahli CPOHB untuk memberikan penjelasan terkait penerapan CPOHB pada fasilitas produksi sediaan biologik, fasilitas produksi sediaan farmasetik dan premiks, serta fasilitas produksi sediaan obat alami,” jelas Ria.
Sementara itu, terkait ancaman resistensi anti mikroba (AMR), Irawati Fari, Ketua ASOHI mengapresiasi upaya Kementan dalam mengatur penggunaan antimikroba melalui terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2017. Irawati juga menegaskan dukungan ASOHI kepada pemerintah dalam upaya pengendalian antimikroba disektor peternakan dan kesehatan hewan.
Lebih lanjut, dalam penjelasannya Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan, Hari Paraton menambahkan bahwa isu AMR merupakan isu global dan dalam penanganannya memerlukan kerjasama lintas sektor melalui pendekatan “One Health” yang melibatkan unsur kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
“Penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan dapat menimbulkan percepatan terjadinya resistensi antimikroba baik di sektor manusia, hewan, dan lingkungan. Kerjasama antara sektor-sektor tersebut sangat diperlukan untuk memperlambat laju AMR ini, oleh karena itu saya mengajak para produsen obat hewan untuk memproduksi antimikroba yang sesuai dengan kebutuhan terapi di peternakan, dan ikut mengedukasi pelanggannya untuk menggunakan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” tegas Hari.
“Saat ini sebagian pelaku usaha dan peternak masih belum memahami dan mengerti seutuhnya bahaya AMR, penyakit infeksi baru, dan zoonosis, sedangkan produsen obat hewan merupakan penentu awal arah penggunaan antimikroba, sehingga para produsen ini harus mengerti kondisi AMR yang mengancam kehidupan di bumi dan menyikapinya dengan penyediaan dan pembuatan obat hewan yang lebih bijak,” tambah Ria menjelaskan peran penting produsen obat hewan dalam upaya peningkatan kesadaran pelaku usaha yang berada dalam jangkauan jaringan usaha obat hewan yang mereka kelola.
Menutup pertemuan, Fadjar menegaskan kembali bahwa resistensi antimikroba tidak terlepas dari penyimpangan dalam penggunaan antimikroba di sektor peternakan seperti penggunaan antibiotic growth promotor (AGP), penggunaan antibiotik untuk pencegahan tanpa pengawasan dokter hewan, serta adanya diagnosa penyakit yang tidak tepat yang berakibat adanya pengobatan yang salah. Hal-hal tersebut harus segera diperbaiki dan diantisipasi untuk keselamatan manusia, hewan, dan lingkungan. Fadjar juga menyampaikan apresiasi untuk para produsen obat hewan yang telah menerapkan prinsip-prinsip CPOHB dalam produksi obat hewan Indonesia.
“Tantangan ke depan untuk produksi obat hewan di Indonesia dengan adanya perubahan global dalam metoda dan sistem beternak, serta munculnya penyakit infeksi baru, saya berharap dengan penerapan CPOHB, produsen obat hewan dapat memproduksi lebih banyak lagi jenis obat hewan dan kualitasnya semakin ditingkatkan sehingga akses pasar khususnya pasar mancanegara semakin mudah. Saya juga ingin terus mengajak produsen obat hewan Indonesia untuk berperan aktif dalam penyediaan, peredaran, dan penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab,” pungkasnya.