PONTIANAK (Independensi.com) – International Dayak Justice Council (IDJC) dan Mahkamah Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), mengadopsi Protokol Tumbang Anoi Nasional dan Internasional 2019 sebagai Program Kerja, dalam lima tahun mendatang.
Protokol Tumbang Anoi Nasional dan Nasional 2019, hasil Seminar International dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.
Protokol Tumbang Anoi Nasional 2019 mencakup 9 point dan internasional mencakup 5 point, sebagai pijakan etika berperilaku masyarakat Suku Dayak dari Indonesia, Malaysia dan Bruneri Darussalam, dalam mempertahankan hak-haknya sebagai penduduk asli atau penduduk asal atau penduduk pribumi sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.
“Di antaranya sekarang dalam proses penyusunan materi Kalender Dayak Internasional 2020 yang di bawah koordinasi Cornelius Kimha, salah satu insiator kegiatan Tumbang Anoi 2019 dan Suryadman Gidot (Bupati Bengkayang),” kata Askiman, Presiden MHADN, Minggu, 25 Agustus 2019.
Di samping itu, IDJC dan MHADN, memaksimalkan fungsi kawasan situs pemukiman dan pemukiman Suku Dayak sebagai sumber dan simbol peradaban Suku Dayak.
Karena di dalam rekomendasi seminar Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, digariskan, apabila situs pemukiman dan situs pemujaan sudah terlanjur menjadi kegiatan ekonomi nonkonservasi sebagaimana digariskan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, maka setelah habis izin dan atau habis satu siklus tanam atau habis masa berlaku sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), maka otomatis menjadi milik masyarakat adat Suku Dayak setempat.
Kehadiran IDJC dan MHDAN, sebagai jaminan terpeliharanya benteng peradaban Suku Dayak, dengan secara maksimal memfungsikan kembali peran seorang Hakim Adat Dayak yang disebut Temenggung di Kalimantan Barat, Damang di Kalimantan Tengah, Pemanca di Sarawak (Malaysia) dan Anak Negeri di Sabah (Malaysia).
Menurut Askiman, Wakil Bupati Sintang, pada masanya sebelum negara Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia, berdiri, seorang Hakim Adat Dayak, memiliki empat peran strategis, yaitu, pertama, Pewarta Agama Dayak yang bersumber dari legenda suci Suku Dayak, mitos suci Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak dan hakim adat.
Kedua, sebagai kepala pemerintahan. Ketiga, sebagai panglima perang. Keempat sebagai hakim adat yang bertugas menyelesaikan semua permasalahan sosial, ekonomi dan humanisme antara anggota masyarakat di wilayahnya.
Keberadaan IDJC dan MHADN, tindaklanjut kepada rapat kerja Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat tahun 2008, dalam menyusun Anggaran Darat dan Anggaran Rumah Tangga, serta etika berperilaku seorang Hakim Adat Dayak.
Dalam Seminar Nasional, Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional, Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, ditegaskan, pemisahan yang jelas antara DAD dan Hakim Adat Dayak.
Dimana digariskan, Hakim Adat Dayak, diangkat dan diberhentikan oleh komunitas masyarakat Adat Dayak setempat. Pengurus DAD dan elit Dayak, tidak memiliki kewenangan apapun menggelar peradilan adat, apabila bukan berstatus sebagai hakim adat. Tapi seorang Haim Adat Dayak harus dihukum Adat Dayak, apabila terbukti menggelar peradailan Adat Dayak di luar yurisdiksinya.
Diungkapkan Askiman, dua point strategis yang dibuat tahun 2008 dan 2017 di Kalimantan Barat, digelar Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, 28 – 30 Nopember 2018, dilanjutkan Internasional Dayak Justice Congress di Keninangau, Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.
Puncak dari seluruh kegiatan dengan merevitalisasi kebudayaan Suku Dayak, sehubungan mengaktualisasikan peran Hakim Adat Dayak, maka digelar Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019.
Hasil Tumbang Anoi 2019, melahirkan dua organisasi Suku Dayak bertaraf internasional, yaitu Dayak International Organization (DIO) dan Yayasan Damang Batu Internasional, dengan masa kepengurusan lima tahun, 23 Juli 2019 dan 23 Juli 2025.
Diungkapkan Askiman, DIO bertugas sebagai tim negosiator, apabila ditemukan terabainya kepentingan Suku Dayak sebagai penduduk asli sebagaimana digariskan di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi PBB Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.
Yayasan Damang Batu internasional, melakukan desain pengelolaan Cagar Budaya Damang Batu di Desa Tumbang Anoi seluas 10.000 (sepuluh ribu) hektar sebagai Pusat Kebudayaan Suku Dayak Sedunia.
“Baik DIO, Yayasan Damang Batu Internasional, IDJC, dan MHADN, sekarang dalam proses administrasi kepengurusan legalitasnya, agar di dalam memperjuangkan hak-hak Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Dayak, tidak mengalami kendala,” ujar Askiman.
Point penting lain di dalam Protokol Tumbang Anoi Nasional dan Internasional 2019, yaitu menetapkan Pulau Kalimantan (Borneo) sebagai Pulau Dayak, penerbitan Kalender Dayak Internasional mulai tahun 2020, menerima pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan disertai tuntutan pemberlakukan otonomi khusus Kebudayaan Suku Dayak. (Aju)