Pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar

Pengamat: Hapus Dua Pasal “Contempt of Court” di RKUHP yang Lemahkan Profesi Advokat-Akademisi

Loading

Jakarta (Independensi.com)
Pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menghapus atau mengeluarkan dua pasal dari Rancangan Undang-Undang KUHP menyangkut “Contempt of Court” atau dianggap menghina lembaga pengadilan yaitu pasal 281 dan 282 RKUHP.

Dia beralasan muatan materi dalam kedua pasal berpotensi melemahkan kedudukan profesi advokat dan memberangus kebebasan berpendapat bagi pengamat dan akademisi

“Kedua pasal bisa jadi momok bagi advokat maupun akademisi. Selain itu berpotensi untuk diuji materinya di forum Mahkamah Konstitusi,” kata Abdul Fickar kepada Independensi.com, Sabtu (31/08/2019).

Adapun bunyi pasal 281 RKUHP yaitu “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II, Setiap Orang yang:
a.tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim yang dikeluarkan untuk kepentingan proses peradilan;
b. bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan; atau
c. secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan”.

Sedang bunyi pasal 282 RKUHP : “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang:
a. mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya; atau
b. mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan.”

Abdul Fickar berpendapat dari prosedur yang ditempuh serta substansi dari isi kedua pasal terdapat beberapa kejanggalan. Pertama, kata dia, dari perspektif pembentukan peraturan dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal.

“Karena jelas tidak memenuhi kejelasan rumusan pasal atau delik dan tidak memenuhi asas kepastian hukum. Sehingga berpotensi melanggar pasal 5 dan 6 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selain bersifat multi tafsir sesuai asas Lex Certa/Lex Stricta,” katanya.

Kedua, tuturnya, rancangan delik tersebut berpotensi melemahkan hak masyarakat menyampaikan pendapat terhadap kebijakan atau putusan yang bersifat publik dan terbuka.

Selain itu, kata dia, berpotensi melemahkan profesi advokat menangani perkara. Padahal sesuai pasal 1 butir 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan advokat dapat melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan kliennya sepanjang tidak melanggar hukum.

Sebaliknya, kata dia, muatan materi dari pasal 281 RKUHP tafsirannya sangat luas dan nyata-nyata dapat melemahkan fungsi advokat dalam kiprahnya menangani sebuah perkara

Padahal, kata dia, advokat juga berkedudukan sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan merujuk pasal 5 UU Advokat.

Selain itu, tuturnya, advokat telah dijamin konstitusionalitasnya melalui hak imunitas tidak dapat dituntut baik secara perdata dan pidana dalam menjalankan tugas profesinya baik di dalam maupun di luar pengadilan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014.

Demikian juga bunyi Pasal 282 RKUHP, kata Abdul Fickar, bisa menurunkan kredibilitas advokat sebagai profesi yang terhormat atau officium nobile.

“Karena seolah-olah advokat yang sedang menjalankan profesi untuk mempengaruhi aparat penegak hukum dengan argumentasi hukum atau legal reasoning diidentikan dengan suatu perbuatan yang curang,” tutur Abdul Fickar.

Walaupun, kata dia, advokat tersebut sebenarnya sama sekali tidak memberi suap atau gratifikasi yang memang dilarang dalam Undang-Undang Tipikor.

“Demikianpun akademisi sebagai ahli, jika tidak berkesesuaian dengan pikiran dan pendapat hakim berpotensi dipidanakan,” kata staf pengajar pada Fakultas Universitas Trisakti ini.

Padahal, tegas dia, akademisi sebelum memberi keterangan sebagai ahli sebagaimana juga advokat sebelum diangkat menjadi Advokat wajib untuk memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Advokat (Pasal 5) dan wajib mengucapkan Sumpah Advokat (Pasal 6).

“Sehingga pertanggungjawaban moral seorang advokat bukan hanya pada klien yang dibelanya, melainkan juga terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta kepada bangsa dan negara,” kata Abdul Fickar.(MUJ)