JAKARTA (IndependensI.com) – Sistem beli putus untuk tebu atau Sistem Pembelian Tebu (SPT) adalah Sistem pembelian tebu petani oleh Pabrik Gula (PG) secara langsung dengan harga pembelian yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan kualitas tebunya.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Derektorat Jenderal Perkebunan, Kementan, Agus Wahyudi di Bogor, Sabtu (21/9) menjelaskan bahwa penetapan harga ini berdasarkan atas biaya dan keuntungan petani, sehingga petani terhindar dari resiko harga turun.
Kebijakan SBT merupakan bagian dari kebijakan kemitraan antara petani dan PG, sehingga perbaikan kebun dapat berlanjut dalam jangka panjang.
Sejauh ini regulasi terkait dengan sistem beli putus telah tertuang dalam Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Hal ini menunjukkan bahwa dengan keluarnya surat edaran ini mekanisme sistem SPT akan menggantikan mekanisme sebelumnya yaitu Sistem Bagi Hasil (SBH) yang sudah berjalan. Hal ini untuk mendukung instruksi Presiden Jokowi yang meminta pemerintah untuk melindungi para petani lokal.
“Tentu yang harus dipikirkan sekarang bagaimana cara membuat SPT yang efisien, sehingga diharapkan bagaimana nanti bisa diimplementasikan, sehingga petani bisa berminat dan bisa menyiapkan tanaman lebih luas lagi,” jelas Agus.
Agus menyampaikan bahwa pendapatan petani yang menggunakan SPT tersebut akan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Hal tersebut dikarenakan harga tebu yang diperoleh sesuai dengan mutu yang diberikan individu masing-masing petani. Penentuan rendemen bersifat transparan karena petani bisa melihat langsung hasil rendemen tebunya, dan yang lebih utamanya lagi petani tidak akan lagi dibebani oleh inefisiensi pabrik dan biaya lain-lain yang berhubungan dengan tata niaga gula yang mengurangi pendapatan petani tebu.
“Kita buat asumsi perhitungan SPT, misal produktivitas 80 ton/ha dengan rendemen 7%. Harga Pembelian Tebu Pekebun (HPP) ditetapkan sebesar Rp. 510.000/ton pada tingkat rendemen 7 %. Petani mendapatkan pendapatan kotor sebesar Rp.40,8 juta. Hal ini sangat jauh meningkat dengan pendapatan kotor yang diperoleh petani menggunakan sistem bagi hasil dengan asumsi produktivitas dan rendemen yang sama pada 1 ha lahan di peroleh pendapatan kotor sebesar Rp. 40.9 juta dengan asumsi perhitungan (bagi hasil 66%, HPP Rp 9.800/kg ditambah tetes tebu 1800/kg dengan hasil 3% tetes tebu), ” tutur Agus.
Dengan asumsi perhitungan di atas SPT mampu meningkatkan semangat petani untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tebu yang dihasilkan dengan memelihara tebunya dengan baik sesuai dengan pedoman budidaya yang baik agar memeperoleh rendemen yang tinggi sehingga mampu menekan tingginya biaya yang dikeluarkan.
“Dengan kebijakan penerapan SPT pada masing-masing pabrik gula, kita optimis mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi tebu yang dihasilkan petani dan sekaligus pendapatan petani tebu rakyat, ” tutup Agus.