JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Eksekutif Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), Setu Albertus meminta Menteri PUPR Basuki Hadimuljono segera mencabut Permen PU No 9/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perijinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing.
Permen tersebut, lanjutnya, sangat mengejutkan bagi kalangan dunia usaha jasa konstruksi. Permen itu juga, kata Setu, justru menunjukkan tidak adanya koordinasi antara Kementerian PUPR dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Dimana, dalam ketentuan ini, badan usaha asing (penanaman modal asing/PMA) yang berjumlah lebih dari 120 badan usaha yang sebelumnya telah memiliki izin usaha sesuai persyaratan yang diterbitkan oleh BKPM bekerjasama dengan Kementerian PUPR, tidak dapat memperpanjang lagi izin usahanya. Ini karena, tidak akan memenuhi persyaratan yang ditetapkan, khususnya persyaratan kerjasama modal dan investasi.
“Ketentuan dalam Permen PUPR ini, menunjukkan bahwa Pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR sebagai Pembina Jasa Konstruksi sebagaimana diatur dalam Undang-undang praktis tidak memiliki arah pemikiran yang jelas dan terintegrasi terhadap investasi asing disektor jasa konstruksi. Terbitnya Permen PUPR ini, juga memberikan gambaran yang jelas tentang lemahnya koordinasi antar instansi, yaitu antara Kementerian PUPR dan BKPM dalam pembuatan regulasi perizinan usaha disektor jasa konstruksi,” kata Setu Albertus Direktur Eksekutif Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), di Jakarta, Selasa (1/10/2019).
Menurut Setu yang akrab disapa Berto, penerbitan Permen PUPR ini juga mengabaikan upaya yang telah dilakukan dengan susah payah oleh Presiden Joko Widodo dalam mencari dan menarik investasi asing untuk membantu percepatan pembangunan, khususnya di sektor jasa konstruksi serta sekaligus mematikan badan usaha atau perusahaan jasa konstruksi nasional yang telah menjalin kerjasama dengan badan usaha asing dalam bentuk kerjasama modal atau kerjasama investasi yang sudah berjalan selama ini.
“Dengan matinya badan usaha jasa konstruksi nasional yang telah melakukan kerjasama modal atau kerjasama investasi dengan badan usaha asing melalui badan usaha PMA, maka secara otomatis akan mengakibatkan sumber penerimaan negara dari pajak PMA disektor jasa konstruksi akan hilang dan pekerja-pekerja yang selama ini terlibat dan bekerja pada badan usaha PMA akan kehilangan pekerjaan, baik pekerja dibidang administrasi maupun pekerja-pekerja teknis serta pekerja di sektor industri pendukung jasa konstruksi yang selama ini telah bermitra dengan badan usaha-badan usaha PMA dimaksud,” tegas Berto.
Selain itu, kata Berto secara teknis yuridis, Permen PUPR ini juga menabrak ketentuan Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 1 ayat 8 serta Peraturan Kepala BKPM No. 6 Tahun 2016 Pasal 1 ayat 2 yang menegaskan bahwa Penanam Modal adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan Penanaman Modal yang dapat berupa Penanaman Modal dalam negeri dan penanaman modal asing yang selama ini menjadi dasar bagi badan usaha PMA mendapatkan izin usaha jasa konstruksi dan selanjutnya menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia.
Disamping ketentuan dimaksud menabrak Undang Undang No. 25 Tahun 2007 dan Perka BKPM No. 6 Tahun 2016, ketentuan ini juga telah menabrak UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan/menimbang untuk diterbitkan Permen PUPR ini yaitu Pasal 35. Penjabaran atas Pasal 35 UU No. 2 Tahun 2017 ini tidak sejalan atau bertentangan serta mengabaikan ketentuan UU No. 2 Tahun 2017.
Khususnya, pada Pasal 30 ayat 2, 4 dan 7 serta Pasal 32, yang menjelaskan bahwa badan usaha jasa konstruksi asing atau usaha perorangan jasa konstruksi asing yang akan melakukan usaha jasa konstruksi diwilayah Indonesia, wajib memenuhi a) Kantor Perwakilan dan/atau b) badan usaha berbadan hukum Indonesia melalui kerjasama modal dengan badan usaha jasa konstruksi nasional.
Permen PUPR ini juga bertentangan dengan Peraturan Presiden (PERPRES) No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dan bidang penanaman modal, Pasal 13 ketentuan pelaksanaan kegiatan penanaman modal terhadap bidang usaha yang diatur dalam Peraturan Presiden ini tidak berlak bagi Penanaman modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu sebelum Peraturan Presiden ini diundangkan sebagaimana yang tercantum dalam izin penanaman modal dan/atau izin usaha perusahaan kecuali ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi perusahaan modal dimaksud.
“Berkaitan dengan hal-hal dimaksud dan untuk menjaga agar Investasi disektor jasa konstruksi tetap kondusif dan memberikan manfaat bagi negara dan dunia usaha nasional jasa konstruksi serta tetap membuka kesempatan bekerja bagi para pekerja disektor ini, maka kami meminta agar Permen PUPR No 09/PRT/M/2018 ini dicabut atau dibatalkan meminta kepada Presiden untuk memerintahkan Menteri PUPR segera mengajukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 105 UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, karena sudah lebih dari 2 (dua) tahun PP-PP ini belum juga diterbitkan,” ujarnya lagi.
Dengan adanya PP, diharapkan agar dunia usaha jasa konstruksi memiliki kepastian hukum serta tidak memberikan ruang bagi aparat Kementerian PUPR untuk melakukan interpretasi atas ketentuan UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan menerbitkan Peraturan-Peraturan Menteri yang substansinya bertentangan dengan ketentuan Undang Undang dimaksud.