Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar forum Presentasi dan Diskusi Desa Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu rangkaian kegiatan Pekan kebudayaan Nasional (PKN) yang digelar di Istora Senayan Jakarta, 7 – 13 Oktober 2019. (Ist)

Desa Poto di Kabupaten Sumbawa Bertahan di Tengah Badai Globalisasi

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sebuah keniscayaan, kemajuan global dan teknologi utamanya di era digitalisasi saat ini akan melindas kearifan budaya lokal dan akar budaya bangsa, bahkan peradaban sebuah kebudayaan.

Tak terkecuali di Indonesia yang memiliki ratusan bahkan ribuan warisan budaya lokal yang hingga kini mungkin banyak yang belum terjamah dan teridentifikasi.

Ancaman penetrasi budaya akibat pengaruh global memang telah menggerus berbagai bentuk kearifan lokal. Sayangnya, itu juga disebabkan salah satunya adalah para pelaku kebudayaan yang mulai berorientasi kepada dinamika kehidupan modern.

Miris akan hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar forum Presentasi dan Diskusi Desa Pemajuan Kebudayaan sebagai salah satu rangkaian kegiatan Pekan kebudayaan Nasional (PKN) yang digelar di Istora Senayan Jakarta, 7 – 13 Oktober 2019.

Dalam forum tersebut menghadirkan narasumber 2 perwakilan tokoh masyarakat desa dari 8 desa yang telah ditetapkan sebagai Desa Ujung Tombak Pemajuan Kebudayaan, yaitu Desa Salawu Kab. Tasikmalaya dan Desa Poto Kab. Sumbawa di Provinsi NTB.

Desa Poto yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Moyo Hilir Kab. Sumbawa, sebelumnya secara historis merupakan sub wilayah yang bernama Bekat. Letaknya melingkupi dusun Malili di wilayah Desa Berare, Dusun Lengas, dan Dusun Poto di wilayah Desa Poto.

Nama Bekat sekarang ini melekat sebagai nama administrasi bagi dusun Lengas di Desa Poto.

Masyarakat ketiga dusun tersebut memiliki nenek moyang dan asal-usul yang sama. Zaman dulu sebelum mereka membangun tiga dusun tersebut (Poto Lengas dan Malili), desa asalnya bernama Bekat terletak di tengah persawahan Orong-Rea.

Orong-Rea menghampar seluas lebih 1000 Ha mulai dari bukit Berare di sebelah selatan sampai ke Brang-Panemung di desa Pungkit di sebelah utara.

Wilayah Bekat itu persis berada di tengah hamparan persawahan tersebut, ditandai oleh bukit pekuburan tua yang bernama bukit Ponan. Di bukit Ponan itulah makam para leluhur orang-orang Bekat.

Sekitar 300 meter di sebelah tenggara bukit Ponan ditandai sebagai bekas Desa Bekat, sehingga lokasi tersebut disebut Bekat Loka (Bekat Tua). Kini, seluruhnya sudah menjadi sawah yang subur.

Fathul Muin, Tokoh Masyarakat Desa Poto Kab. Sumbawa dalam sebuah presentasinya memaparkan ada tiga alasan pokok mengapa masyarakat di ketiga dusun tersebut berpisah membentuk pemukiman baru di Dusun Malili, Lengas dan Poto.

Ia menjelaskan hal itu disebabkan oleh, pertama, penduduk semakin bertambah, sementara lahan pemukiman sudah menyempit, agar tidak merusak persawahan yang telah ada. Kedua, mendekatkan diri pada lahan-lahan garapannya. Ketiga, menghindari bahaya banjir yang hampir setiap tahun meluap ke Bekat Loka.

Berdasarkan alasan tersebut sehingga saat ini Desa Poto dan Lengas menempati aliran sungai di kaki bukit Langko sebelah barat persawahan, sedangkan dusun Malili menempati kaki bukit Malili.

Potensi Pemajuan Kebudayaan Desa Poto

Desa Poto memiliki sepuluh fokus pemajuan kebudayaan yang semuanya merupakan potensi yang ada di desa tersebut.

Tercatat 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) berdasarkan UU No 5 Tahun 2017, yaitu ; tradisi lisan, manuskril, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, bahasa, seni, permainan rakyat, olah raga tradisonal dan teknologi tradisional. Hingga saat ini yang sangat menonjol dalam perkembangannya yaitu 3 OPK; Tenun Tradisional, Sadekah Ponan serta Ratib & Sakeco.

Desa Poto juga memiliki 6 lembaga kebudayaan yang berfungsi sebagai pelestari budaya tradisional. Pelaku OPK untuk Kere Alang sebanyak 300 penenun, sedangkan untuk Ratib & Sakeco sebanyak 100 orang.

Sementara itu, Sadekah Ponan Masyarakat Desa Poto merupakan kegiatan ritual yang berbentuk tahlilan dan doa bersama para petani di Desa Poto. Pelaksanaanya selepas musim tanam pertama (Februari-Maret) setiap tahunnya.

Sajian dalam kegiatan ini berupa penganan yang berbahan baku beras dan beras ketan serta kelapa dibungkus daun pisang, daun kelapa dan daun bambu.

Proses pembuatannya direbus atau dibakar (tidak diperkenankan adanya jenis penganan yang digoreng) sedangkan jenis buah yang dapat disajikan hanya jenis Pisang Kepok (Musa acuminata balbisiana).

Sadekah Ponan dilaksanakan di sebuah bukit yang dinamakan bukit Ponan, tempat pemakaman sang leluhur mereka. H Batu merupakan leluhur masyarakat Poto diperkirakan hidup sekitar abad ke 16.

Bukit Ponan berada di tengah hamparan persawahan Orong Rea yang luasnya 1500 Ha. Dulunya muda mudi dan juga wanita haid tidak diperkenankan mengikuti acara untuk menjaga kesucian tempat.

Adapun nilai yang terkandung dalam Sadeka Ponan ini adalah nilai silaturrahmi yang dapat menjadi media resolusi konflik dan sarana memperkuat kohesi sosial di antara sesama warga masyarakat yang berasal dari satu rumpun tersebut.

Lokasi Sadekah Ponan merupakan bukit seluas 0,82 Ha. Namun kendalanya lokasi ini belum tertata untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Bahan baku Sadekah Ponan sebagian masih didatangkan dari luar, dan SDM penyelenggara yang masih terbatas, serta belum ada SDM penunjang.

Di akhir paparannya Fathul Muin berharap, dengan ditetapkannya Desa Poto sebagai salah satu desa pemajuan kebudayaan oleh pemerintah pusat selanjutnya akan didukung juga dengan kebijakan strategis oleh pemerintah daerah.

Sehingga ke depan akan terwujudnya destinasi wisata religi/ budaya yang refresentatif, terwujudnya sentra produksi tenun Sumbawa yang berdaya saing, serta terwujudnya  pusat kesenian pelestarian ratib dan sakeco yang refresentatif pula di Desa Poto.

Penulis: Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga PP BAMUSI PDI Perjuangan, Amilan Hatta.