JAKARTA (Independensi.com) – Setelah reformasi banyak yang menyambutnya sebagai akan berlangsungnya kehidupan kemasyarakatan yang tentram dan damai, terbebas dari cengkeraman ketakutan dan keterbatasan. Karena dianggap bahwa reformasi adalah suatu koreksi terhadap ketidak adilan dan ketidak nyamanan yang dirasakan selama Orde Baru, seperti halnya Orde Baru mengoreksi Orde Lama.
Tetapi di dalam perjalanan waktu, reformasi justru menumbuhkan kesemrawutan, sebab semua puhak menunjukkan perilaku seolah tanpa aturan sehingga kebebasan yang dimiliki lepas dari etika dan tatanan hukum, mengakibatkan terjadinya bentrokan bahkan ada yang kehilangan hak.
Sehingga sering kita dengar istilah Raja-raja Kecil sebagai sebutan lain bagi Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan dan kekuasaan luar biasa yang secara tak langsung menuntut perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan sebab dengan adanya otonomi daerah dengan mudah muncul peraturan daerah yang digunakan secara berlebihan.
Bahkan seolah-olah terputus hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah dalam bidang-bidang tertentu. Dengan semakin berkembang ketidak sinkronan dalam penerbitan aturan termasuk dalam penerapannya, maka mucullah kemudian istilah reformasi yang kebablasan.
Pernah terdengar saat datang Menteri Dalam Negeri berkunjung ke suatu daerah tidak disambut oleh kepala daerah yang dikunjungi. Mungkin saja karena beda partai atau alas an lain tidak jelas. Begitu juga ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono meninjau banjir di Jakarta, tidak didampingi gubernur, mungkin kalau yang satu itu terkait pada hubungan personal antara senior dan junior kedua tokoh, Sutiyoso pernah Pangdam Jaya, Susio Bambang Yudhoyono Kasdam.
Dengan kehadiran Muhammad Tito Karnavian mantan Kapolri sebagai Mendagri, Mahfud MD guru besar HTN dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sebagai Menkopolhukam serta Jenderal TNI (Purn) Fahrul Razy sebagai Menteri Agama akan dapat mengembalikan reformasi ke maksud dan tujuan semula yaitu untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945 dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan kehadiran Tito kekuasaan yang berlebihan yang dimiliki Raja –raja Kecil di daerah akan terpangkas melalui sinkronisasi perda-perda, dengan penertiban peraturan perundang-undangan dengan kordinasi Kemenkopolhukam, apalagi dengan tampilnya mantan Wakil Panglima ABRi Fahrul Razy sebagai Meneri Agama dari semua agama yang ada di Indonesia dan bahkan bagi yang tidak beragama.
Selama Tito Karnavian sebagai Kapolri tahu berbagai kejadi di daerah menuntut Polri sebagai pemadam kerusuhan terutama akibat kebijakan. Seperti yang sering terjadi di Mesuji, Lampung, masalah dua gereja di Bogor, sampai telanjang Ibu-ibu di Sigapiton pinggiran Danau Toba mempertahankan hak-hak atas hidup dan kehidupannya.
Dengan kehadiran Mahfud MD dan tito Karnavian hak ulayat masyarakat dan tanah masyarakat hukum adat tidak dengan mudah dikuasai pihak lain hanya dengan Surat Keputusan atau Peraturan Daerah.
Dan barangkali ada maksud lain dari Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin memilih ketiga tokoh di atas tidak dari partai politik sehingga terbebas dari beban :perintah partai” dalam mengevaluasi Perda-perda serta kebijakan-kebijakan Pemda-pemda yang telah kebablasan.
Kita juga menyambut baik, kalau benar, akan adanya Pusat Legislasi Nasional untuk mengevaluasi peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada, mana yang tumpang tindih di suatu daerah, antara pusat dan daerah dan satu daerah dengan tetangganya. Peraturan yang tidak sejalan antara sector apalagi yang menghambat perkembangan terutama peraturan-peraturan yang belum ada.
Sebab diakui atau tidak, berbagai perseteruan dan bentrok di tengah masyarakat adalah imbas dari peraturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau bahkan merugikan masyarakat.
Dalam periode Kabinet Indonesia Maju sekarang ini, seyogyanya tuntas evaluasi system politik, apakah multi partai atau terbatas, pemilihan langsung atau berjenjang.
Di masa bhakti kedua Presiden Jokowi harus menghilangkan rasa takut yang muncul setiap Pilpres, Pilleg dan Pilkada seperti selama ini. Dan yang paling terasa barangkali dengan kehadiran ketiga tokoh itu, pencegahan tindak pidana korupsi akan semakin efektif, tidak ada lagi kepala daerah dan menteri agama yang terkena OTT seperti sebelumnya. (Bch)