Presiden Indonesia Mesti Libatkan Dayak di IKN Baru

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), mesti melibatkan komunitas masyarakat Suku Dayak di dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Provinsi Kalimantan Timur, agar sebagai penduduk asli tidak termajinalkan di dalam penjabaran program pembangunan di berbagai strata kehidupan.

Hal itu dikemukakan Ketua Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Tobias Ranggie, dan praktisi hukum di Pontianak, Tambuk Bow, di tempat terpisah di Pontianak, Kamis petang, 16 Januari 2020.

Tobias Ranggie dan Tambuk Bow dimintai keterangan, sehubungan keputusan Presiden Joko Widodo, menempatkan Mohamed bin Sayed, Putera Mahkota Uni Emirate Arab, Chief Executir Officer (CEO) SoftBank, Mayasoshi Son dan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, di dalam pembangun IKN di Provinsi Kalimantan Timur.

“Mohamed bin Sayed, Mayasoshi Son dan Tony Blair, memiliki pengalaman yang baik di bidang pembangunan kota, punya pengalaman,” kata Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, usai membuka Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di The Ritz Carlton Pacific Place Sudirman, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.

Presiden Indonesia, Joko Widodo, mencontohkan Mohamed bin Zayed memiliki pengalaman saat membangun Kota Masdar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kota Masdar, mendapat reputasi baik dari dunia karena dianggap kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Adapun Masayoshi, kata Joko Widodo, memiliki reputasi baik di bidang teknologi dan keuangan. Tony Blair, menurut Presiden Indonesia, Joko Widodo, memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. “Saya kira memang ingin kita membangun trust internasional,” ucap Presiden Indonesia, Joko Widodo.

Mohammed bin Zayed, sebagai Ketua Dewan Pengarah pembangunan IKN di Provinsi Kalimantan Timur. Masayoshi dan Tony Blair menjadi anggota. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sebagai Penanggungjawab Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Republik Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada Senin, 26 Agustus 2019, mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Pulau Jawa, ke Provinsi Kalimanta Timur.

“Tidak ada yang salah dari langkah positif Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk melibatkan warga asing di dalam pembangunan IKN di Provinsi Kalimantan Timur, karena menyangkut simbol peradaban Negara Kesatuan Republik Indonesia di mata masyarakat luar negeri. Tapi jangan sampai mengabaikan kepentingan masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Kalimantan,” kata Tobias.

Menurut Tobias Ranggie, tidak hanya Suku Dayak di wilayah Republik Indonesia yang terkena dampak langsung dengan pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur, tapi juga dialami masyarakat Suku Dayak di Kerajaan Brunei Darussalam dan di Federasi Malaysia (Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak).

“Kami minta Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, untuk melakukan dialog langsung dengan Suku Dayak di Pulau Borneo, agar memperoleh masukan yang berimbang, sesuai kondisi sosial budaya masyarakat Suku Dayak, agar nantinya orang Dayak tidak seperti Suku Betawi, sebagai penduduk asli, kenyataannya tersisihkan selama pembangunan Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia,” kata Tobias Ranggie.

Tambuk Bow menambahkan, dialog secara khusus dengan kalangan masyarakat Suku Dayak, agar orang Dayak tidak menjadi asing di tanah sendiri, setelah Provinsi Kalimantan Timur, resmi menjadi lokasi Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

“Kami orang Dayak tidak anti pembangunan. Tapi jangan sampai pembangunan yang terapkan bertentangan dengan kebudayaan masyarakat Suku Dayak, sehingga hanya bertujuan memarjinalkan orang Dayak. Apalagi sekarang Kalimantan menjadi milik Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusssalam, dikelola dengan dengan prinsip ekonomi berkelanjutan melalui Program Heart ot Borneo atau HoB sejak 12 Februari 2007,” ujar Tambuk Bow.

Diungkapkan Tambuk Bow, “Pulau Borneo adalah paru-paru dunia. Jadi orang Dayak jangan sampai tidak dianggap sama sekali oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai sekarang orang Dayak belum pernah diajak dialog dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta, sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.” (Aju)