JAKARTA (Independensi.com) – Anggota DPR RI Dapil NTT II Yohanis Fransiskus Lema (Ansy Lema) mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut dan menindak tegas para pelaku kasus tindak pidana korupsi benih Bawang Merah di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ansy menegaskan korupsi termasuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena itu kasus korupsi di Malaka harus mendapat perhatian khusus dan penindakan serius yang berbeda dari jenis kejahatan lainnya.
“Korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena itu aparat kepolisian harus memberi perhatian penuh terhadap kasus korupsi benih bawang merah di Kabupaten Malaka. Jika terbukti melakukan korupsi, para pelaku korupsi tersebut harus dihukum dengan seberat-beratnya demi rasa keadilan dan tuntutan kesejahteraan masyarakat Malaka,” tegas Ansy baru-baru ini.
Menurut anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, lingkungan hidup, kehutanan dan kelautan ini, kasus korupsi di Malaka tidak hanya merugikan negara akibat penyelewengan anggaran. Korupsi benih bawang merah termasuk korupsi sektor pangan yang sangat merugikan petani.
Apalagi mayoritas penduduk miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur, termasuk Kabupaten Malaka bekerja sebagai petani. Angka kemiskinan di NTT pada September 2019 tercatat 20,62 persen, yakni sebesar 1.129,46 ribu orang. Sebanyak 1.020,84 ribu orang tinggal di pedesaan, dan mayoritasnya bekerja sebagai petani.
“Kemiskinan NTT adalah kemiskinan petani, termasuk para petani di Malaka. Sebagai anggota DPR RI Komisi IV yang membidangi pertanian, saya prihatin menyaksikan kasus korupsi bawang merah. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, anggaran untuk pengentasan kemiskinan petani malah dimark-up untuk kepentingan elit pejabat Malaka dan pengusaha. Mereka bergembira ria di atas penderitaan dan kemiskinan petani. Maka tidak hanya melanggar hukum, kasus ini juga merupakan kejahatan kemanusiaan,” imbuh politisi PDI Perjuangan tersebut.
Polisi kini menetapkan dan menahan delapan tersangka korupsi benih bawang merah. Kedelapan tersangka tersebut berasal dari pejabat teras dinas kabupaten, pegawai negeri gologan bawah, dan pihak swasta (pengusaha).
Perhitungan dari BPKP NTT tertanggal 25 November 2019 menemukan kerugian negara dalam kasus korupsi bawang merah mencapai Rp 4,9 miliar dari total nilai kontrak Rp 9,68 miliar. Angka Rp 4,9 milliar sangat fantastis.
Artinya, oknum pejabat daerah di Malaka dan pengusaha sengaja mencuri lebih dari setengah anggaran. Rakyat hanya mendapat sisa dari anggaran pengadaan tersebut.
“Ini memperkuat temuan bahwa kemiskinan petani di NTT bukan karena faktor sosio-antropologis. Artinya, mayoritas petani miskin bukan karena faktor kemalasan. Kemiskinan petani NTT adalah kemiskinan struktural; dibiarkan tetap miskin oleh struktur-struktur kekuasaan. Petani tidak berdaya karena belum ada kebijakan tepat sasar yang memihak mereka dan mirisnya lagi dana untuk perbaikan hajat ekonomi dan pengentasan kemiskinan mereka dikorupsi,” papar Juru Bicara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilgub DKI 2017 itu.
Ansy meminta aparat hukum dalam hal ini polisi, kejaksaan dan kehakiman untuk mengusut dan menindak tegas para pelaku korupsi. Korupsi Rp. 4,5 miliar di daerah tergolong sangat besar, sehingga patut diduga melibatkan lebih banyak pelaku dari pemerintah daerah dan pengusaha.
Komoditas bawang merah termasuk program unggulan Bupati Malaka Stefanus Bria Seran (SBS). Polisi harus berani menyelidiki pola-pola relasi kekuasaan dan kewenangan yang terkait pengadaan benih bawang merah ini.
“Siapapun yang terlibat harus diusut dan ditindak tegas tanpa pandang bulu agar ada efek jera,” tambahnya.
Korupsi pengadaan benih bukan satu-satunya masalah berkenaan program unggulan bawang merah yang diusung Bupati SBS. Mantan Dosen ini telah mendengar aspirasi (keluhan) petani bawang merah tentang banyaknya benih bawang merah yang buruk/membusuk (50 persen), ketiadaan tempat penyimpanan dan pengolahan bawang pasca panen.
Namun, persoalan utama yang dikeluhkan petani bawang di Malaka adalah tidak ada pasar untuk menjual bawang merah. Panen bawang merah melimpah, tetapi tidak ada pasarnya.
“Banyak petani putus asa sehingga menjual eceran ke pasar tradisional dengan harga yang sangat murah, yakni Rp. 5000-10.000 per/kg. Ini membuka pintu kepada para tengkulak untuk membeli dengan harga sangat murah. Pertanyaannya, di mana intervensi atau kehadiran pemerintah Kabupaten Malaka untuk mencari pasar bagi para petani? Mengapa para petani dibiarkan mencari sendiri pasarnya? Pemerintah daerah Malaka seharusnya berinisiatif untuk menghubungkan petani dengan distributor bawang,” tandas Ansy.
Mengantisipasi korupsi pangan agar tidak terjadi lagi, Ansy meminta aparat penegak hukum untuk memperketat pengawasan di sektor pertanian. Selain berdampak pada kesejahteraan petani, sektor pangan atau pertanian harus diawasi karena terkait hajat hidup banyak orang.
Celah korupsi pada sektor pangan bisa disebabkan dari panjangnya rangkaian hasil produksi dari petani kepada konsumen di lapangan, yang memungkinkan adanya penyelewengan harga oleh oknum-oknum tertentu.
“Demikian juga bantuan atau subsidi dari pemerintah seperti benih, alat mesin pertanian ataupun pupuk yang rangkaiannya panjang dan rumit dapat membuka celah terjadinya korupsi. Korupsi benih bawang merah di Malaka adalah salah satu contoh nyata,” bebernya.
Ansy berharap, penegakkan hukum terhadap kejahatan korupsi perlu dilakukan secara simultan-sinergis, antara penegakan hukum yang diterapkan secara konsisten dan komprehensif dengan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah di bidang pertanian. Jadi bukan hanya penindakan, tetapi terutama pencegahan korupsi.
“Kerja sama lintas sektor antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif di daerah hingga pusat sangat penting untuk mengawasi dan menutup celah-celah potensial korupsi di sektor pertanian,” pungkasnya.