JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian melalui Badan Karantina Pertanian (Barantan) menjamin masuknya produk pertanian segar baik asal hewan maupun tumbuhan impor asal Jepang sehat dan aman di konsumsi.
Seperti diketahui, pada 11 Maret 2011 yang lalu paska terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang telah menyebabkan bocornya reaktor nuklir di Fukushima. Hal ini menimbulkan kekhawatiran negara-negara yang mengimpor pangan dari Jepang, termasuk Indonesia.
Oleh karenanya, sejak saat itu Barantan selaku instansi yang bertugas melakukan pengawasan dan pengendalian keamanan pangan asal luar negeri mewajibkan persyaratan sertifikat bebas radioaktif.
Dan ini berlaku untuk semua produk segar asal hewan (PSAH) dan jufa produk segar asal tumbuhan (PSAT) yang berasal dari seluruh prefektur (propinsi) di Jepang.
“Sebanyak 47 prefektur yang kami awasi. Kami melalukan analisa resiko dan saat ini terpetakan tingkat kontaminoasi radioaktif masing-masing 7 prefektur memiliki risiko tinggi, 8 prefektur berpotensi dan 32 prefektur tidak berpotensi,” kata Ihsan Nugroho, Kepala Bidang Keamanan Hayati Nabati, Barantan saat memberikan penjelasan melalui pertemuan dalam daring (daring), Kamis (16/4) di Jakarta.
Menurutnya, berdasarkan catatan data sertifikasi Barantan PSAH dan PSAT asal Jepang yang masuk ke tanah air tahun 2019 masing-masing asal hewan berupa daging sapi beku sebanyak 7,1 ton dan daging sapi segar sebanyak 5,4 ton. Sementara untuk tumbuhan pada periode yang sama masing-masing adalah Teh 83,8 ton, Apel 57,5 ton, Kacang Kedelai 48,4 tob dan Kopi Biji 22,6 ton.
Sebagaimana Undang-Undang No. 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, maka Barantan bertugas untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi, jelas Ihsan.
Cemaran yang Diawasi
Permentan Nomor 05/2020 tentang Pengawasan Keamanan PSAH dan PSAT dari Negara Jepang terhadap Kontaminasi Zat Radiokatif menggantikan perundangan yang lama dengan hal sama ini telah diundangkan pada tanggal 20 Februari 2020 dan berlaku efektif mulai tanggal 20 Mei 2020 nanti.
Pemerintah Jepang sendiri, sejak tahun 2011 hingga 2019, telah melakukan monitoring berkala terhadap cemaran radioaktif (Cs-134 dan Cs-137) dan hasilnya menunjukkan penurunan kontaminasi cemaran radioaktif.
Namun, masih ditemukan ketidaksesuaian pada sampel-sampel dari beberapa prefektur. Olehkarenanya berdasarkan hasil kajian risiko Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) bersama instansi terkait lainnya, dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan mempertimbangkan potensi cemaran yang ada, masih diperlukan pengawasan berbasis risiko terhadap kontaminasi cemaran radioaktif pada pangan segar asal Jepang ini.
Jenis radioaktif yang diatur dalam Permentan ini adalah radionuklida Cesium-137. Paparan Cesium-137 melalui konsumsi dapat meningkatkan risiko kanker dan dalam jumlah besar dapat menyebabkan kematian. Waktu paro untuk Cesium-137 ini pun cukup panjang, yaitu 30 tahun.
Oleh karena itu, dibutuhkan aturan untuk menjamin PSAH dan PSAT asal Jepang tidak mengandung cemaran Cesium-137 di atas ambang batas sehingga memenuhi persyaratan keamanan pangan.
Barantan sendiri dalam melakukan upaya pencegahan sesuai dalam aturan Permentan ini mempersyaratkan Sertifikat Radioaktivitas Pangan (SRP) bagi produk segar yang berasal dari prefektur yang memiliki risiko kontaminasi radioaktif tinggi.
Jika tidak ada SRP, maka akan dilakukan pengambilan sampel untuk diuji di PTKMR, jelas Ichsan.
Turut hadir sebagai moderator drh. Agus Sunanto, Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Barantan dan narasumber dari Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Untara, Kepala Bidang Radioekologi.
Secara terpisah, Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Barantan, Dr. AM Adnan menyampaikan bahwa tugas pengawasan dan keamanan pangan menjadi penting. Karena masyarakat membutuhkan jaminan atas keamanan pangan, termasuk pangan asal impor.
“Jadi, jika hasil uji yang dilakukan oleh petugas kami dilapangan menunjukkan cemaran radioaktif melebihi batas maksimun, sudah pasti akan ditolak atau dimusnahkan,” tegas Adnan.(wst)