Oleh : Abdul Fickar Hadjar
Menjadi pembela koruptor, bahkan menjadi koruptor itu sendiri adalah pilihan, ya bahkan mungkin itu HAM. Jadi bebas saja mau berpikiran atau beropini apapun sama sebangun derajatnya dengan penegak hukum pemberantas korupsi atau aktivis anti korupsi. Begitulah hukum keseimbangan terjadi, keduanya dilandasi baik dasar sosiologis maupun yuridis.
Bahwa kehendak rakyat pasca reformasi (keliru jika disebut penyelenggara negara era reformasi, karena UU adalah produk rakyat / DPR dan Presiden yang dipilih rakyat juga) membentuk lembaga baru penegakan hukum korupsi bernama KPK dan Pengadilan Tipikor adalah sebuah komitmen menciptakan Indonesia yang bersih dari korupsi sebagai upaya pencapaian tujuan mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan konsiderasi sosiologis bahwa lembaga penegak hukum korupsi yang ada tidak berfungsi optimal justru menjadi indikator bahwa bidang inilah yang secara sadar dipilih karena merupakan bidang yang paling signifikan diperbaiki the best among the worst.
Dan seharusnya sebagai bangsa Indonesia kita berbangga justru langkah ini (2002) diadopsi oleh convensi badan anti korupsi dunia (UNCAC 2003) menjadi kewajiban negara penanda tangan convensi untuk membentuk organisasi semacam KPK di negaranya masing masing.
Triger Mechanism dan Kegagalan Sang Pengikut
Menarik untuk menanggapi penanggap tulisan saya terdahulu yang antara lain menyatakan hasil pengamatan yang tidak proporsional, sehingga tendensius dan menjadi hater. Pernyataan ini kesimpulan yang tanpa dasar karena sama sekali tidak mengaitkan dengan dasar hukum atau fakta-fakta sosiologis.
Karenanya seolah-olah menempatkan diri sebagai pihak yang berposisi mau obyektif, tapi ternyata terjebak dalam pemihakan yang berlebihan pada KPK NEW NORMAL saat ini, meskipun berusaha menutupinya dengan sebisa mungkin namun tetap gagal.
Soal perspektif, mari kita lihat tentang cerita sukses sebuah projek ada kalimat bijak yang bisa dijadikan pedoman: serahkanlah pada ahlinya (Hadist Nabi). Ini apa artinya jika dibawa ke ruang perspektif?
Focus pada satu perspektif akan bisa menggali masalah sampai pada yang terdalam dan melahirkan akurasi solusi. Ya spesialisasi orang sering menyebutnya, dan itulah profesionalitas. Jadi bukanlah sebuah kesalahan mengamati dari sebuah perspektif, justru menghasilkan kedalaman.
Pertanyaan tentang sibuknya KPK sebelum new normal membangun citra internasional, justru menunjukan kekurang fahaman penanya pada objek pertanyaannya, sehingga memang sangat penting untuk diberi penjelasan. Anggapan KPK dulu (sebelum New Normal) lebih kerja untuk konsumsi internasional sesungguhnya adalah tidak tepat dan merupakan prasangka yang tidak berdasar.
Yang terjadi justru karena keberhasilan di dalam negeri lah KPK tempo dulu diundang ke dan dihargai di level internasional. Jadi bukan jualan ke internasional dan itu seharusnya dilihat sebagai kebanggaan bangsa Indonesia.
KPK lahir karena kebutuhan zamannya. Secara hukum sudah sangat jelas dasar pijakannya. Namun secara moral KPK adalah fenomena global dari sebuah negara demokrasi. Yang selalu berusaha mereproduksi mekanisme kontrol agar demokrasi bisa berjalan dengan baik. Sebab korupsi akan menghancurkan sistem demokrasi dari dalam dirinya sendiri.
Secara historikal justru lembaga penegak hukum selain KPK lah “seharusnya” yang mempunyai lebih banyak jam terbang menangani pekerjaan memberantas korupsi, sehingga diksi “triger mechanism” seharusnya dipahami sebagai self awareness. Meski sebenarnya trigger mecahnism itu memiliki kaitan dengan sifat “kesementaraan KPK” sehingga diharapkan KPK memberikannya pada lembaga lain.
Namun faktanya apakah demikian? Apakah lembaga lain berubah dengan trigger mechanism itu? Sepertinya tidak ada perubahan secara struktural, hanya gradual saja. Jadi yang gagal itu bukan KPK, tetapi lembaga kembaga yang seharusnya mengikutinya gagal menjalankan suri tauladan yang diberikan dan ditunjukan KPK masa normal.
Demikian halnya soal fungsi supervisi, yang dalam ranah yuridis secara jelas ditentukan sebagai salah satu syarat supervisi itu “ada korupsi dalam penanganan kasus korupsi”. Fenomen ini masih hidup subur sampai saat ini, karena korupsi nyaris melembaga melekat pada kekuasaan.
Coba perhatikan “teriakan saksi Miftahul Ulum” dalam korupsi hibah KONI, atau yang terjadi secara sistemik melalui TP4 (Tim Pengawal Pengananan Pemerintah & Pembangunan) yang dibubarkan karena tidak jarang menjadi locus delicti korupsi juga.
Arah mata angin KPK itu jelas, penegakan hukum pemberantasan korupsi, karena ia independent maka ia bisa dan berani “menyikat” korupsi lintas kekuasaan, korupsi lintas lembaga negara tak terkecuali para anggota DPR yang memilihnya.
Paradigma inilah yang dirubah, KPK disudutkan dibawah sebuah kekuasaan eksekutif yang potensial menjadi komisi peredam korupsi, KPK New Normal. Seperti kata Margaret Mead sang antropolog:”suara dan tindakan seseorang tergantung dimana dia sedang berdiri.” wallahu alamu bishawab.(*)
Abdul Fickar Hadjar, Penulis adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi Jakarta