Terpidana dua tahun penjara kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra atau Joko Soegiarto Tjandra.(ist)

Kejagung Eksekusi Djoko Tjandra untuk Melaksanakan Putusan PK MA yang Sudah “Inkrach”

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Kejaksaan Agung menegaskan pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana dua tahun penjara kasus cessie Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra atau Joko Seoegiarto Tjandra untuk melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap atau inkrach van gewijsde pada tingkat Peninjauan Kembali (PK).

“Pelaksanaan eksekusi tersebut adalah untuk eksekusi hukuman badan dan bukan penahanan,” kata Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono, Senin (3/8) malam. Hal ini terkait  pernyataan kuasa hukum Djoko Tjandra, Otto Hasibuan bahwa dalam putusan PK MA tidak ada perintah untuk menahan kliennya.

Hari menyebutkan eksekusi terhadap seorang terpidana adalah merupakan hal yang berbeda dengan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa.

“Karena eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ucapnya.

Sedangkan pengertian Penahanan, ucap Hari, yaitu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya.

“Jadi haruslah dibedakan pengertian antara penahanan untuk tersangka atau terdakwa selama proses pemeriksaan berlangsung yang merupakan instrumen untuk mencegah tersangka atau terdakwa,” ucap juru bicara Kejagung ini.

Sedang hukuman atau pidana, tuturnya, adalah penderaan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang diatur oleh undang-undang sebagai konsekuensi atas perbuatan yang menurut proses peradilan dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh terdakwa.

Selain itu, katanya lagi, perintah penahanan juga dibatasi secara limitative dalam pasal 26, 27 dan 28 Kitab Undang-Undang Hhukum Acara Pidana (KUHAP) sesuai tingkatannya.

“Dimana penahanan dapat dilakukan terhadap putusan yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Mulai dari putusan tingkat pertama, putusan banding dan putusan kasasi,” ucapnya.

Sedangkan dalam upaya hukum PK, kata Hari, tidak ada aturan yang dapat digunakan untuk melakukan penahanan, karena perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Oleh karena itu, kata Hari, Apa yang dilakukan Jaksa setelah Djoko Tjandra ditangkap adalah melakukan eksekusi hukuman badan untuk menjalankan putusan PK Mahkamah Agung Nomor : 12K/Pid.Sus/2008 tanggal 11 Juni 2009 berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: Print-693/M.1.14/fd.1/05/2020 tanggal 20 Mei 2020. 

Dengan cara memasukan terpidana ke Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat untuk menjalani pidana penjara selama dua tahun dan pidana denda sebesar Rp15 juta dengan ketentuan jika denda tidak dibayardiganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Sedangkan terhadap eksekusi selebihnya termasuk uang sebesar yang ada dalam rekening penampungan atau escrow account di Bank Bali sebesar Rp546 miliar telah dilaksanakan oleh Jaksa pada tahun 2009.

“Jadi bukan melakukan penahanan. Hakim PK tidak akan memberikan penetapan mengenai status terdakwa seperti dalam pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP karena memang tidak terdapat kewenangan hakim PK untuk melakukan penahanan, apabila disebutkan maka justru merupakan hal yang melawan hukum,” ucapnya.

Disebutkannya dengan telah dilaksanakannya eksekusi tersebut sesuai dengan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang ditanda tangan oleh Terpidana Joko Soegiarto Tjandra, Jaksa Eksekutor dan Kepala Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat maka tugas Jaksa telah selesai.

“Sedangkan untuk penempatan terpidana menjalani pidananya adalah menjadi kewenangan Dirjen Pemasyarakatan pada Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia,” kata Hari.(muj)