JAKARTA (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, menilai, Polisi Republik Indonesia (Polri) diperalat PT Sawit Mandiri Lestari (SML), melibatkan diri dalam praktik pelecehan dan penghinaan terhadap jenis, simbol dan sistem religi Dayak di Hutan Adat Dayak Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.
Karena itu, posisi Polri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam menengahi konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat Dayak di Kalimantan, harus mampu menempatkan diri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, sehingga jangan sampai terkesan berpihak kepada kepentingan investor dan mengorbankan kepentingan masyarakat adat.
“Dalam sejarah benturan peradaban di Kalimantan, pelecehan dan penghinaan terhadap religi Dayak, selalu menimbulkan kerusuhan rasial yang tidak bisa diredam, seperti kerusuhan Dayak – Tionghoa di perbatasan dan pedalaman Provinsi Kalimantan Barat, September – Desember 1967 dan terakhir konflik Dayak – Madura di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, 19 – 21 Februari 2001,” ujar Yulius Yohanes, Jumat pagi, 28 Agustus 2020.
Yulius Yohanes, menanggapi penangguhan penahan terhadap Efendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Dayak di Desa Laman Kinipan, bersama 5 orang lainnya (Riswan, Yefli, Yusa, Teki dan Embang), terkait konflik masyarakat Adat Dayak Tomun dalam mempertahankan Tanah Adat Dayak yang dirampas PT SML.
Efendy Buhing, Ketua Komunitas Adat Dayak Tomun Desa Laman Kinipan dan kawan-kawan, ditangguhkan penahanannya pada Kamis siang, 27 Agustus 2020, setelah sebelumnya ditangkap belasan anggota Brigade Mobile Polisi Republik Indonesia (Brimob Polri) Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, bagaikan seorang teroris di Desa Laman Kinipan, Rabu siang, 26 Agustus 2020.
Riswan, Yefli, Yusa, Teki dan Embang, ditangkap pada 22 Juni 2020, atas tudingan PT SML melakukan pencurian 1 unit mesin chainsaw. Tapi masyarakat berdalih, hanya melakukan penyitaan, sebagai barang bukti penjarahan Hutan Adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan.
Penyidik Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, melakukan penangguhan penahanan berdasarkan surat permohonan dari Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah, Kamis, 27 Agustus 2020.
Saat bersamaan, Kamis, 27 Agustus 2020, DAD Provinsi Kalimantan Tengah, menugaskan Prof Dr Danes Jaya Negara, M.Sc, Yuandrias Dipl. PSC, MA, Dr Mambang I Tubil SH, M.AP, Parada LKDR, S.Ag, M.Si, H Muhmad Rizal SH dan Letambunan SH, mendampingi masyarakat Adat Dayak Tomun di dalam sengketa kepemilkan lahan di Desa Laman Kinipan dengan PT SML.
Pendeta Mediorapano S.Th, M.Min dan Alipius Patananan sebagai Ketua dan Sekretaris Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Provinsi Kalimantan Tengah, dalam siaran pers Kamis pagi, 27 Agustus 2020, mengecam keras kriminalisasi dilakukan Polri terhadap para tokoh Adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan.
“Kasus pencaplokan Tanah Adat Dayak Tomun yang sudah dideklarasikan sesuai religi Suku Dayak Tomun pada Sabtu, 16 April 2016 di Desa Laman Kinipan, hanya bisa diselesaikan sesuai religi Dayak Tomun,” ujar Yulius Yohanes.
“Maka DAD Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kabupaten Lamandau dan Polri, idealnya harus bersikap rendah hati, memiliki pemahaman memadai akan anthropologi budaya.”
Anthropologi Budaya
Yulius Yohanes, mengatakan, kekuatan supranatural orang Dayak setelah raganya dimasuki arwah roh leluhur Dayak dalam setiap kerusuhan terjadi, berdampak kejadian sangat mengerikan seperti di Kalimantan Barat, September – Desember 1967 dan di Sampit, 19 – 21 Februari 2001, hanya bisa dilihat dari aspek anthropologi budaya dengan memahami dan mengerti aplikasi serta implikasi religi dari berbagai agama asli Suku Dayak.
“Polri dan TNI selaku instansi vertikal jangan terkesan bersikap sombong dan angkuh sebagai alat keamanan dan pertahanan negara. TNI dan Polri jangan mudah diperalat investor di dalam menindas rakyat,” ujar Yulius Yohanes, Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak.
“Tidak akan ada yang pihak, termasuk instansi TNI dan Polri yang akan mampu meredam aksi kemarahan massal Suku Dayak di Kalimantan, sebagai akibat dari berbagai jenis, sistem dan simbol religinya dilecehkan dan dihina, seperti kerusuhan di Kalimantan Barat, September – Desember 1967 dan di Sampit, 19 – 21 Februari 2001,” ujar Yulius Yohanes.
“Kalau gerakan massal Dayak yang sudah dirasuki arwah leluhur sudah bergerak, musuh dengan sendirinya bisa diidentifikasi, mulai dari jenis, kebiasan dan seragamnya. Ini fakta, bukan menakut-nakuti,” tambah Yulius Yohanes.
Dalam perspektif pemahaman akan anthropologi budaya, membuat instansi vertikal seperti Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), tidak mudah diperalat para investor nakal, seperti kesannya tidak lebih sebagai centeng PT SML dalam perebutan lahan hutan adat di Desa Laman Kinipan dengan Dayak Tomun.
Dari aspek antropologi budaya, sebagai bagian dari masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, Suku Dayak menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, telah membentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Menurut Yulius Yohanes, faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksudkan di atas, lahir dari sistem religi (agama) asli Suku Dayak bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
Masyarakat Suku Dayak Tomun meyakini hutan adat Dayak Tomun dan bukit-bukit di di Desa Laman Kinipan di samping sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sosial, sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur, sehingga selalu dijadikan salah satu lokasi menggelar berbagai jenis ritual sesuai religi Suku Dayak Tomun.
Bagi masyarakat Suku Dayak secara keseluruhan, termasuk Suku Dayak Tomun, agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, tapi religi Dayak (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), sebagai filosofi etika berperilaku.
Dengan demikian, antara keduanya (agama sebagai sumber keyakinan iman dan religi Dayak sebagai filosofi etika berperilaku), harus dimaknai dalam konteks yang berbeda.
“Karena orang Dayak yang memeluk Agama Katolik sebagai sumber keyakinan imannya, misalnya, bukan semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik berurat-berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi, sementara status kedayakan seorang manusia Suku Dayak, akan melekat di dalam diri Suku Dayak, sampai akhir hayat,” ujar Yulius Yohanes.
Sumber Keyakinan Iman
Itulah yang menyebabkan, ketika PT SML mencaplok hutan adat di Desa Laman Kinipan, semata-mata mengendalkan azas legalitas perizinan dari Pemerintah Republik Indonesia, langsung mendapat protes keras dari kalangan Suku Dayak Tomun. Sehingga berujung pada kriminalisasi dilakukan kelembagaan Polri terhadap Efendi Buhing bersama 5 warga Desa Laman Kinipan lainnya.
Yulius Yohanes meningatkkan, supaya jangan sampai di dalam menyelesaikan konflik lahan di atas tanah adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, semata-mata mengandalkan aplikasi dan sudut pandang hukum positif.
Kemudian, lanjut Yulius Yohanes, jangan samai pula memaksa melihat permasalahan konflik hutan adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, dari sumber keyakinan iman para penentu kebijakan yang berurat-berakar dari kebudayaan luar, karena ujung-ujungnya nanti praktik religi Dayak hanya akan dicap sebagai praktik menyembah berhala, musyrik dan lain-lain.
Filsuf Thomas Aquinas, 1225 – 1274, dengan teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Jadi, semenjak abad ke-13, orang Dayak sudah diakui memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Sementara peralatan religi di dalam agama asli Dayak, hanya media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
“Efendi Buhing dan kawan-kawan, tidak boleh hanya ditangguhkan penahannya, tapi harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Karena apa yang dilakukan kalangan masyarakat Suku Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, adalah sepenuhnya mendukung program Pemerintah Republik Indoensia dalam melakukan gerakan nasional secara masif untuk segera kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, di dalam mengamalkan ideologi Pancasila,” kata Yulius Yohanes.
Ada empat langkah dan putusan strategis telah telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia di dalam melakukan gerakan kembali pada karakter dan jatidiri di dalam mengamalkan ideologi Pancasila, yaitu mencintai dan merawat berbagai kebudayaan asli dari berbagia suku bangsa di Indonesia.
Pertama, hasil seminar diselenggarakan Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 14 April 2017, dengan menegaskan, pembangunan nasional di masa mendatang harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan nasional di dalam pembangunan, meningat hal serupa menjadi kunci kemajuan ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang dan Korea Selatan.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan undang-undang tentang pemajuan kemudian. Kemudian dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tanggal 24 Mei 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.
Ketiga, putusah hakim Mahkamah Konstitusi Republi Indonesia, Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan aliran kepercayaan yang dimaknai sebagai pengakuan terhadap keberadaan agama asli dari berbagai suku bangsa di Indonesia.
Keempat, Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, menerima naskah kajian akademis strategis pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.
Diungkapkan Yulius Yohanes, ideologi Pancasila dilahirkan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia. Dengan mencintai dan merawat kebudayaan sendiri sebagai filosofi etika berlaku segenap lapisan masyarakat di Indonesia, sebagai wujud nyata dalam pengalaman ideologi Pancasila.
“Ironis sekali ketika Suku Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, melakukan gerakan kembali kepada karakter dan jatidiri Bangsa Indonesia, dengan mempertahankan tanah adat sebagai simbol dan sumber peradaban di dalam beretika dan berperilaku, malah ditangkap bagaikan teoris oleh Polisi Republik Indonesia, Senin, 22 Juni 2020 dan Rabu, 26 Agustus 2020,” ungkap Yulius Yohanes.
Keberadaan Masyarakat Adat
Yulius Yohanes, mengatakan, sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, masyarakat adat Dayak, dengan hukum adat Dayat dan tanah adat Dayak, sudah ada di Kalimantan.
Selama pemerintahan kolonial Belanda, Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul: “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, wilayah hukum adat di Hindia Belanda (Indonesia), dibagi menjadi 19 wilayah, termasuk di wilayah hukum adat Suku Dayak di Pulau Kalimantan.
Kedudukan Hukum Adat Dayak, lanjut Yulius Yohanes, dalam takaran tertentu mengisi ruang kosong di dalam Hukum Negara, sehingga antara keduanya saling mengisi satu sama lain. Aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam hukum adat.
Karena hukum adat adalah sumber dari segala sumber hukum negara, dengan tujuan menciptakan rasa keadilan bagi semua orang.
Sehubungan dengan itu, Dayak International Organization (DIO) memprotes keras pernyataan Bupati Lamandau, Hendra Lesmana yang juga sebagai Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Lamandau di Nanga Bulik, Rabu, 8 Januari 2020, bahwa tidak ada masyarakat adat Dayak di Desa Laman Kinipan, karena belum mengantongi pengakuan tertulis dari otoritas yang berwenang di Indonesia.
“Karena keberadaan masyarakat adat, termasuk masyarakat Adat Dayak, paling penting dan sangat prinsip, adalah masih terpeliharanya nilai-nilai religi sebagai aktualitasi dari Kebudayaan Dayak yang masih hidup di tengah masyarakat Suku Dayak itu sendiri,” ungkap Yulius Yohanes. (Aju)