Independensi.com – Publik terhentak mendengar ucapan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin SH di Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI yang menyatakan “sakit hati” karena terpidana buronan Djoko Soegiarto Tjandra keluar masuk Indonesia.
Banyak spekulasi muncul, kok buronan bisa keluar masuk tanpa terdeteksi aparat penegak hukum dan imigrasi. Pihak yang menunggu “bola muntah” menggunakannya menuding pemerintah.
Memang benar sang buronan sudah “berkuasa” dikawal seorang Brigadir Jenderal Polisi dari Jakarta ke Pontianak. Ajudan Presiden saja hanya berpangkat Kolonel.
Ternyata strategi jitu sang buronan sudah merangsek ke berbagai intansi pemerintah seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Kemendagri dengan Dukcapil serta KemenkumHAM dengan Drektorat Jenderal Imigrasi dalam pembuatan paspor.
Tidak hanya itu kukunya sudah menancap menuju Mahkamah Agung yang akan menangani Peninjauan Kembali, sekaligus mengusahakan Fatwa agar menganulir Putusan Peninjauan Kembali tahun 2009 yang sudah inkracht diharapkan tidak dapat dieksekusi.
Dapat dibayangkan kalau strategi jitu Djoko Tjandra itu tidak gagal, bangsa apa kita ini karena ulah para penghianat. Banyak pihak terperangah mendengar Anita Dewi Kolopaking bahwa Djoko S. Tjandra merasa dizolimi pemerintah dan kelompok tertentu.
Kalau tidak ada Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boiman Saiman yang memiliki bukti-bukti valid tentang Djoko Tjandra, kepercayaan publik akan merosot terhadap pemerintah. Demikian juga keterangan Otto Hasibuan yang dalam pandangannya, terdapat sejumlah ketidak adilan yang terjadi pada Djoko Tjandra. Penahanan Djoko Tjandra tidak sah karena dalam amar putusan tidak tertulis perintah agar Djoko Tjandra ditahan.
Makin terkuak “strategi jitu” sang buronan, dengan informasi Boiman Saiman, Djoko Tjandra mendapat KTP, mendaftarkan permohonan PK di PN Jaksel, memperoleh surat jalan dan surat bebas Covid-19 dari Mabes Polri, dan foto-foto Jaksa Pinangki Sirna Malasari bertebaran di media yang kemudian adalah tokoh yang mengurusi berbagai hal dengan bayaran Rp. 7,4 miliar.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi tersangka, dan menyusul Anita Kolopaking, Brigjen Prasetyo Utomo dengan Surat Jalan dan terseret pula Irjen Napoleon Bonaparte dengan penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai buronan dari red notice Interpol.
Setelah Jaksa Pinangki menjadi Tersangka 4 Agustus 2020, dengan segala “tsunaminya”, seorang Advokat senior yang dekat dengan Kejaksaan dan dunia intelijen menyebutkan bahwa Djoko Tjandra menggunakan strategi perang ala Sun Tzu, seorang jenderal ahli strategi militer dan perang Tiongkok kuno.
Menurut literatur Sun Tzu jenderal pengarang buku “The Art Of War” yang secara luas banyak berpengaruh terhadap filosofi Barat dan Timur, dan bahkan Sun Tzu adalah seorang jenderal perang terbaik sepanjang sejarah umat manusia.
Kalau dilihat langkah Djoko Sugiarto Tjandra yang hampir mampu menghipnotis para pejabat mulai dari RT-Lurah, Mabes Polri, Kejagung bahkan terakhir urusan Fatwa dan PK dari MA, betapa jitunya strateginya, untung gagal.
Hampir dilumpuhkan peraturan dan tatanan hukum di Indonesia setelah “membutakan mata hati” segelintir oknum pejabat Pemerintah.
Pertanyaannya, apakah Polri dan Kejagung akan mengungkap apa dan bagaimana kasus yang mempermalukan ketahanan nasional kita termasuk keterkaitan Jaksa Agung dan Mahkamah Agung sesuai dengan pengakuan Pinangki sebagaimana dalam BAP yang dipertontonkan media?
Polri dengan tegas dan lugas menindak jajarannya yang terlibat, beda dengan Kejagung masih berlindung dengan aturan normatif. Apakah ada kaitannya dengan isu bahwa Pinangki plesiran ke luar negeri menemui Djoko Tjandra atas seijin dan sepengatahuan Jaksa Agung?
Publik sudah tidak sabar menunggu bagaimana Presiden Djoko Widodo akan “menggigit” para pihak yang bermain-main dengan hidup dan keberlangsungan bangsa ini. Kepercayaan masyarakat terhadap pihak-pihak dan pejabat tertentu sudah mendekati sirna.
Mungkin sudah waktunya Presiden berbicara tentang kasus Djoko Tjandra yang telah mencoreng wajah penegakan hukum ini, apalagi ada tudingan bahwa adik sang buronan menemui Presiden saat berkunjung ke Papua Niugini.
Kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Agung agar tidak semakin hancur, ada baiknya menjelaskan tentang upaya pengurusan Fatwa atas kasus Djoko Tjandra. Tidak cukup hanya bantahan Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro yang hanya normatif-prosedural.
Sudah tidak eranya lagi berlindung di balik kata-kata manis, tetapi sudah harus terbuka dengan jujur dengan mengatakan ya di atas ya, dan tidak di atas yang tidak, dan lebih dari itu “berasal dari si jahat”. (Bch)