JAKARTA (Independensi.com) – Wakil Ketua Fraksi PKS (F-PKS) DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menyesalkan sikap PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang terkesan mengabaikan kewajiban pembangunan smelter sebagai syarat mendapatkan perpanjangan izin operasional dan izin ekspor konsentrat tembaga.
Menurut Mulyanto, kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang adalah amanat UU yang harus dipatuhi bersama. Jadi sangat tidak pantas jika pihak PTFI mencoba menawar ketentuan UU yang sudah disahkan dan diberlakukan.
“Tekait kewajiban pembangunan smelter yang diatur dalam UU No. 3/2020 tentang Minerba bagi perusahaan tambang tembaga, sepantasnya tidak ditawar-tawar lagi,” kata Mulyanto kepada para awak media, Senin (2/11/2020)
Mulyanto menilai, proses pembentukan dan pengesahan UU tersebut sudah lewat.
“Kini saatnya kita melaksanakan UU tersebut secara konsekuen dan bertanggung-jawab,” lanjutnya.
Menurut Mulyanto, Pemerintah harus tegas mengingatkan PTFI tentang kewajiban pembangunan smelter tersebut.
Mulyanto pun mengingatkan, pembangunan smelter ini adalah kewajiban UU, obligasi bagi setiap elemen masyarakat kepada negara, bukan tawar menawar bisnis yang bersifat horizontal.
“Ini adalah soal hubungan vertikal-struktural antara unsur-unsur masyarakat dengan Negara, sebagai wujud pelaksanaan konstitusi kita. Karenanya harus dimengerti, bahwa itu tidak bersifat tawar-menawar, namun mengikat (binding) dan memaksa (compulsary),” jelasnya.
Mulyanto menegaskan, Indonesia merupakan negara hukum, oleh sebab itu seharusnya PTFI menghormati UU yang berlaku di negeri ini.
“Jangan menganggap semua hal sebagai urusan dagang yang bisa dinegosiasikan. Ini adalah fakta, rule of the game, bila ingin hidup di Indonesia,” tegas anggota Komisi VII DPR RI ini.
Apalagi, sambung Mulyanto, sejak akhir tahun 2018, mayoritas saham PTFI sebanyak 51 persen adalah milik Pemerintah Indonesia.
“Jadi secara teoritis ini adalah BUMN kita. Karenanya menjadi tidak masuk akal kalau BUMN ingin menabrak UU. Ini preseden buruk, bagi tatakelola pengusahaan sumber daya alam di Indonesia,” terangnya.
Mulyanto berpendapat, hal ini sudah kelewatan. Dirinya pun protes keras terhadap hal ini.
“Sebab UU dibuat untuk dipatuhi oleh kita bersama, bukan dianggap sebagai angin lalu. Ini benar-benar melecehkan Indonesia sebagai negara hukum,” tuturnya.
“Menko Luhut Panjaitan juga terkesan hanya galak pada smelter nikel. Tidak terdengar suaranya terkait dengan smelter tembaga PTFI ini,” lanjut Mulyanto.
Mulyanto pun menyoroti kemajuan proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru PTFI yang hingga bulan Juli 2020 baru mencapai 5,86 persen dari target seharusnya 10,5 persen.
“Pemerintah seharusnya konsisten dengan aturan yang dibuat yakni bersikap tegas dan menjatuhkan sanksi kepada PTFI karena lalai mematuhi target kemajuan pembangunan smelter,” ingatnya.
Mulyanto juga menyoroti pelaksanaan Surat Keputusan Menteri ESDM No.154 K/30/ MEM/2019, tentang ketentuan kemajuan fisik pembangunan smelter yang paling sedikit 90 persen dari target yang ada.
“Bila tidak tercapai maka Pemerintah berhak menjatuhkan sanksi penghentian sementara persetujuan ekspor konsentrat. Selain itu, perusahaan smelter wajib membayar denda administratif sebesar 20 persen dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri selama enam bulan terakhir. Serta beberapa sanksi administratif lainnya,” papar Mulyanto.
Mulyanto mengungkapkan, hitungan kasar pencapaian kemajuan fisik smelter Freeport masih di bawah 50 persen. Karenanya sanksi itu harus segera diputuskan Pemerintah.
“Ini penting. Kalau Pemerintah bersikap lembek dan tidak konsisten terhadap aturan yang ada, jangan heran kalau pengusaha tambang, ogah-ogahan dalam membangun fasilitas ini dan menuntut untuk dapat mengekspor konsentrat,” tukasnya.
Bahkan, tambah Mulyanto, Freeport secara berani dan terang-terangan melempar wacana untuk melanggar UU No. 3/2020, dengan mengusulkan penundaan target pembangunan smelter melebihi batas waktu yang ditetapkan UU, yakni tahun 2023.
Sebelumnya, ujar Mulyanto, pelanggaran UU ini diajukan dengan alasan musibah Covid-19.
“Kemudian muncul alasan baru, bahwa pembangunan smelter adalah proyek rugi. Inikan sungguh lugas secara terbuka melawan UU,” sesalnya.
Sebagai wakil rakyat, Mulyanto mengaku dirinya sudah hapal dengan gaya ini. Karena sudah ada preseden sebelumnya.
“Pelanggaran UU No. 4/2009 pertama kali dilakukan PTFI tahun 2014 dengan tetap mengekspor konsentrat dan itu berlanjut sampai tahun 2018, padahal amanat UU No. 4/2009, smelter harus beroperasi tahun 2014,” paparnya.
Pada tahun 2018, sebut Mulyanto, salah satu syarat bagi PTFI untuk mendapatkan perpanjangan dan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) adalah pembangunan smelter.
“Kenyataanya, hingga hari ini syarat juga tidak dipenuhi. Sekarang PTFI minta relaksasi kembali untuk melanggar UU No. 3/2020,” imbuhnya.
Karenanya, Mulyanto pun mendesak Pemerintah untuk tegas melaksanakan dan mengawal amanat UU No. 3/2020 sebagai perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Minerba, khususnya pasal 170A.
“Pemerintah jangan lembek, apalagi ikut melanggar UU tersebut,” imbau legislator asal Dapil Banten 3 ini mengakhiri pembicaraan. (Ronald)