PONTIANAK (Independensi.com) – Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat Dayak Dewan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional, Tobias Ranggie SH, mengatakan, bisnis hukum adat oleh sejumlah oknum elit Dayak maupun preman Dayak, merupakan bentuk kejahatan kebudayaan Dayak yang dilakukan orang Dayak.
Hal itu dikemukakan Tobias Ranggie, Kamis, 3 Desember 2020, menanggapi semakin banyaknya keluhan masyarakat, terutama kalangan pelaku usaha, akan praktik hukum adat Suku Dayak yang cenderung dikomersialisasikan, dan patut diduga sering dilakukan sejumlah pihak orang Dayak yang tidak kompeten.
“Pihak-pihak yang merasa dirugikan, harus berani menolak jenis hukum adat yang digelar tidak sesuai ketentuan. Karena sistem peradilan adat Dayak, sifatnya terbuka, dan pihak yang diperkarakan, teradu, berhak membela diri di dalam forum sidang peradilan adat Dayak. Pihak-pihak yang menyalahgunakan peradilan Adat Dayak, wajib dihukum adat Dayak kembali karena telah menunjukkan pribadi manusia Dayak yang tidak beradat,” kata Tobias Ranggie.
Tobias Ranggie, mengatakan, argumentasi kejahatan terhadap kebudayaan Dayak, karena kebudayaan Dayak berkarakter religus, di antaranya melahirkan Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak di Pulau Borneo.
Sumber doktrin agama asli Dayak, meliputi legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
Itulah sebabnya, kata Tobias, di dalam religi Dayak dengan sebutan berbeda pada setiap rumpun Suku Dayak, sumber resapan air, bukit, gunung dan hutan belantara, sebagai areal disakralkan dan disucikan, lantaran sebagai tempat bersemadi arwah para leluhur.
Menurut Tobias Ranggie, dalam pertemuan tokoh Adat Dayak se Pulau Borneo di Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 1894, musyawarah besar Temenggung Adat Dayak se Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, 2008, dan rekomendasi seminar nasional Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, menegaskan hal-hal penting dan prinsip.
Di antaranya, menurut Tobias, pihak yang berwenang menggelar peradilan adat Dayak adalah para Hakim Adat Dayak (sebutan berbeda di setiap rumpun Suku Dayak, seperti Damang di Kalimantan Tengah, Temenggung di Kalimantan Barat, Pemanca di Sarawak, Anak Negeri di Sabah) yang mendapat legitimasi dari rumpun Suku Dayak yang bersangkutan, dikukuhkan sesuai religi rumpun Suku Dayak yang bersangkutan, dengan masa jabatan 5 tahun, dan setelah itu dapat dipilih kembali.
Karena itu, personil pengurus kelembagaan adat Dayak dan atau elit Dayak, jika tidak berstatus sebagai Hakim Adat Dayak (Damang, Temenggung, Anak Negeri, Pamanca, dan sebutan lain), tidak berwenang menggelar peradilan adat Dayak. Pihak yang melanggar, wajib dihukum adat Dayak kembali, karena melakukan pelanggaran terhadap salah satu sumber doktrin di dalam religi Dayak.
“Para hakim Adat Dayak yang menggelar Peradilan Adat Dayak di luar yurisdiksinya adalah pelanggaran sehingga harus dipula dihukum adat Dayak kembali. Lokasi peradilan adat Dayak, harus sesuai locus delicti, dan mesti berdasarkan hukum adat dari rumpun Suku Dayak teradu, dan hakim adatnya pula harus dari personil Hakim adat Dayak dari rumpun Suku Dayak teradu yang bersangkutan.”
“Apabila belum ada personil hakim adat dari rumpun Suku Dayak teradu, atau ada faktor lain mesti diperhitungkan untuk memindahkan lokasi persidangan adat, maka harus sesuai kesepakatan tertulis dari teradu dan otoritas yang berwenang dari kelembagaan adat dari rumpun Suku Dayak yang bersangkutan.”
“Misalnya, seorang teradu berasal dari Suku Dayak Ibanic, tapi perangkat hukum adat Dayak Ibanic belum tersedia di lokasi teradu melakukan pelanggaran adat, maka persidangan adat Dayak baru bisa digelar sesuai hukum adat Dayak setempat,” ujar Tobias Ranggie.
Masyarakat di luar Suku Dayak yang terbukti melakukan pelanggaran adat, maka peradilan adat mesti berdasarkan hukum adat di lokasi teradu melakukan pelanggaran adat.
Di era modern, maka sistem peradilan adat Dayak, dilakukan modernisasi, tapi tidak menghilangkan prinsip-prinsip religi di dalam Kebudayaan Suku Dayak itu sendiri. Modernisasi, meliputi pembukaan sidang, dijelaskan maksud dan tujuan sidang, pembahasan materi sidang, penutupan sidang yang didahului pembacaan berita acara hasil sidang, berupa menerima dan atau banding dari teradu.
Karena itu, DPP MHADN telah menyusun tata cara peradilan adat Dayak, didasarkan surat keputusan Nomor: 01/IX/SK-MHADN/2020, tanggal 1 Oktober 2020, tentang: Yurisdiksi Para Hakim Adat Dayak, Tata Cara Menggelar Peradilan Adat, dan Mekanisme Registrasi Tanah Adat Dayak, dan sekarang dalam tahapan sosialisasi yang terus digalakkan pada tahun 2021 mendatang.
Diungkapkan Tobias, penerbitan tatacara peradilan adat Dayak, sama sekali bukan bertujuan menyeragamkan sistem peradilan adat Dayak, tapi sifatnya sebagai panduan umum, dengan tetap menjaga independensi sistem peradilan adat dari masing-masing rumpun Suku Dayak. Nama para hakim adat Dayak, pun, harus didasarkan sebutan yang sudah lazim di dalam tiap-tiap rumpun Suku Dayak yang bersangkutan.
Menurut Tobias, bahwa Hakim Adat Dayak bersifat berdaulat, mandiri, atas dasar kesamaan kegiatan, profesi di bidang modernisasi, melalui revitalisasi dan reposisi Kebudayaan Dayak dengan menganut trilogi peradaban kebudayaan mayarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Bahwa trilogi peradaban masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia dimaksud, sebagai pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Bahwa pembentuk karakter dan jatidiri manusia Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi Dayak dengan sumber doktrin atau berurat berakar kepada legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Diungkapkan Tobias, bahwa sistem religi Dayak sebagai jantung peradaban Kebudayan Dayak, dalam aplikasinya, kaya akan substansi nilai-nilai kehidupan, jalan menuju kedamaian di dalam hati, keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Bahwa sebagai masyarakat agraris, doktrin agama asli Suku Dayak dengan tanaman padi, sangat erat dalam aturan ritualnya, dan hampir semua jenis ritual Dayak, selalu ada hubungannya dengan pertanian dan tanaman padi.
Bahwa sebagian besar jenis religi Dayak, digelar saat tahapan perladangan berlangsung, mulai dari menebas, menebang, membakar, menugal, merumput, hingga memanen, dan berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak membangun jaringan infrastruktur kebudayaannya, berladang dengan cara bakar, masyarakat Suku Dayak melaksanakan peribadatannya.
Bahwa sebelum Kerajaan Hindu, Budha, Islam, Belanda, Inggris, Jepang, Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam hadir di Kalimantan/Borneo, para Hakim Adat Dayak yang disebut Temenggung di Provinsi Kalimantan Barat, Damang di Provinsi Kalimantan Tengah, Pemanca di Negara Bagian Sarawak, Anak Negeri di Negara Bagian Sabah, dan sebutan lainnya di wilayah lain di Kalimantan/Borneo, sebagai tokoh sentral, karena memiliki empat peran sekaligus, yaitu (a) Pewarta Agama Dayak, (b) Panglima Perang, (c) Kepala Wilayah dan (d) Hakim Adat yang memutus sengketa perdata dan pidana antar anggota komunitasnya.
Bahwa Hakim Adat Dayak pada masanya yang berfungsi menganyomi masyarakat Adat Dayak sebagai sekelompok individu masyarakat pribumi Pulau Borneo yang bersekutu membentuk community (Kampong, Lewu, Tumpuk, Banua, Betang, Rumah Panjang) atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti.
Bahwa komunitas-komunitas masyarakat pribumi Suku Dayak kemudian membentuk kelompok yang lebih besar yang disebut masyarakat Adat Dayak, karena satu asal-usul nenek moyang, kesamaan bahasa, dan tinggal di satu wilayah yang sama, ada sejarah asal mula, sejarah perpindahan desa, sejarah para tokoh Desa.
Bahwa seorang Hakim Adat Dayak dipercaya dan dipilih oleh masyarakat Adat Dayak dengan pemahaman primus inter pares: yang terkemuka dari semua, memiliki kelebihan dari yang lain, seperti memiliki kelebihan memahami, mengerti Hukum Adat Dayak dengan baik, berani, pandai bicara, berhikmat dan bijaksana, bisa merangkul semua orang, berjiwa pemimpin, sehat jasmani dan rohani.
Bahwa Hakim Adat Dayak merupakan Panggilan Illahi, bukan jatah atau quota atau warisan, dan siap hidup terkutuk apabila terbukti berbuat salah.
Bahwa Hakim Adat Dayak berkeyakinan di dalam religi Suku Dayak, situs pemukiman (bekas pemukiman, kuburan tua) dan situs pemujaan (tempat menggelar berbagai jenis religi Dayak, tempat keramat) seperti sumber resapan air, gunung, bukit, lembah, sebagai kawasan paling disucikan dan disakralkan, karena tempat bersemadi arwah para leluhur.
Bahwa Hakim Adat Dayak sebagai figur penghubung komunikasi antara manusia Suku Dayak di alam nyata dengan arwah para leluhur, terutama apabila terjadi ketidaksiembangan antar sesama manusia dan alam semesta, sebagai dampak dari berbagai jenis, sistem, simbol dan tempat religi Dayak yang tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya.
Bahwa konflik sosial yang sering terjadi di Kalimantan/Borneo antara orang Dayak dengan pihak luar, selalu bermuara dari tindak pelecehan dan penistaan terhadap berbagai jenis, sistem, simbol dan tempat religi Dayak, yaitu situs pemukiman dan situs pemujaan.
Bahwa bagi masyarakat Suku Dayak, religi Dayak sebagai filosofi etika berperilaku, yaitu pembentuk karakter dan jatidiri Dayak, sementara agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, sehingga antara keduanya mesti dimaknai di dalam konteks yang berbeda.
Bahwa sebelum negara Republik Indonesia Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam hadir, hukum adat Dayak, diberlakukan di Kalimantan/Borneo, dimana Cornelis van Vollenhoven, dalam bukunya berjudul: “Het Adatrecht van Nederlandch-Indie”, Wilayah Hukum Adat di Hindia Belanda, dibagi menjadi 19 (sembilan belas) wilayah, termasuk di Wilayah Hukum Adat Suku Dayak di Pulau Kalimantan/Borneo.
Bahwa kedudukan Hukum Adat Dayak, mengisi ruang kosong di dalam hukum negara, sehingga antara keduanya saling mengisi satu sama lain, sehingga aplikasi dari hukum negara tidak boleh mengesampingkan filosofi yang ada di dalam Hukum Adat Dayak.
Dijelaskan Tobias, bahwa dalam negara hukum keberadaan perundangan-undangan yang tercipta, harus berisi nilai-nilai keadilan bagi semua orang, maka makna penerapan Hukum Adat Dayak, agar di dalam melihat sebuah persoalan hukum, tidak boleh semata-mata mengedepankan kebenaran formal (hitam putih, tex book), tapi harus pula memperhitungkan kebenaran materiil, berupa sejarah, adat istiadat, hatinurani, kesaksian masyarakat yang berlangsung secara turun-temurun di kalangan Suku Dayak di wilayah itu.
Bahwa melalui peran Hakim Adat Dayak, maka perlu perubahan paradigma hukum di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, untuk mengakomodir dan meresepsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, untuk meminimalisir fenomena legal gap yang merupakan dasar problematika substansif hukum.
Bahwa oleh karena itu, mengkaji dan mempertimbangkan keberlakuan dari hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat (living law), termasuk kaidah-kaidah kearifan lokal ataupun Hukum Adat Dayak, merupakan keharusan dalam pengembangan hukum.
Bahwa Hukum Adat Dayak, adalah produk hukum asli di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam asli di Kalimantan/Borneo, dan merupakan aspek kebudayaan yang hidup dalam kedinamisan, dimana dengan Hukum Adat Dayak, masyarakat Hukum Adat Dayak, hidup tertib, rukun dan damai.
Bahwa kedudukan Hukum Adat Dayak setara dengan hukum negara, karena merupakan salah satu dasar persatuan Bangsa, dan sebagai mitra aturan perundangan sekaligus pula sebagai sumber utama pembentukan Hukum Nasional; Hukum Adat Dayak, sebagai aspek kebudayaan, tidak akan hapus di bumi ini kecuali tidak ada lagi masyarakat Adat Dayak.
Bahwa Peradilan Hukum Adat Dayak adalah tawaran solutif, logis dan rasional di tengah-tengah segala kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembangan hukum, guna terciptanya sebuah hukum di Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Brunei Darussalam di Kalimantan/Borneo yang lebih baik, yaitu Hukum Nasional yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat di Kalimantan/Borneo.
“Bahwa Hakim Adat Dayak sebagai benteng terakhir peradaban Kebudayaan Dayak, maka keberadaan para Hakim Adat Dayak perlu diatur tata cara menggelar Peradilan Adat Dayak dan yurisdiksi para Hakim Adat Dayak,” kata Tobias Ranggie. (Aju)