JAKARTA (Independensi.com) – Penggunaan simbol Kebudayaan Arab yang melahirkan Agama Islam yang berujung pemaksaan siswa non Islam menggunakan jilbab di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2, Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), secara tidak langsung mesti dilihat dari keberadaan jaringan The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Penyesalan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Adib Al Fikri, Jumat, 22 Januari 2021, dan berjanji hal tersebut tidak akan terulang kembali di masa mendatang, tidak lebih dari langkah cuci tangan, setelah mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat luas di Indonesia. Apalagi kebijakan dimaksud, didasarkan keputusan Wali Kota Padang sejak tahun 2015.
Para politisi asal Provinsi Sumatera Barat, ikut mengecam tindakan pemaksaan penggunaan jilbab bagi siswi non Islam di SMK Negeri 2, Padang, tidak lebih dari langkah cari panggung, agar tidak dituding bagian dari kelompok ekstrimis, intoleran dan radikal.
Insiden yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat, membuktikan radikalisme, intolerans dan ekstrimisme yang kemudian menghasilkan aksi terorisme, tengah tumbuh marak. Ini lantaran tidak menutup kemungkinan Kebudayaan Minang seakan-akan diidentikkan dengan kebudayaan Arab. Patut diduga hal ini sebagai salah satu indikasi mulai adanya praktik arabisasi Kebudayaan Minang di Provinsi Sumatera Barat.
Dampaknya masyarakat terlalu asyik tinggal di kediaman paling dalam, yaitu etnisitas dan religiusitas, dengan selalu mengedepankan kesalehan indivudu, menganggap diri dan kelomponya saja paling benar, sehingga orang lain dianggap musuh.
Padahal sesungguhnya kebudayaan Suku Minang, sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, dalam aplikasinya kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Kebudayaan Suku Minang, pada dasarnya selalu mengedepankan kesalehan sosial, dengan menghargai keberagamaan dan kebersamaan, dengan tidak memaksakan simbol-simbol keyakinan iman kepada pihak lain.
Kecaman para politisi asal Provinsi Sumatera Barat terhadap pemakaian jilbab bagi siswi SMK Negeri 2, Padang, lantaran terbitnya langkah politik yang tegas dari pemerintahan Presiden Indonesia, Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), di dalam memberantas sikap intoleran, radikalism, ekstrimisme dan terorisme.
Di antaranya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tanggal 10 Juli 2017, sebagai payung hukum pembubaran Organisasi Kemasyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), karena terbukti melalui deklarasi di Jakarta, Minggu, 2 Juni 2013, bertekad mengganti ideology Pancasila menjadi paham kekhilafahan, dan kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017, tentang Ormas.
Dalam perjalannya lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, tentang: Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan di dalam penjabaran teknis Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021, tanggal 6 Januari 2021, tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020 – 2024.
Sebelumnya, terbit Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kepala Polisi Republik Indonesia, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rabu, 30 Desember 2020, berupa larangan berbagai bentuk aktifitas Front Pembela Islam (FPI).
Dugaan arabisasi dari Kebudayaan Minang di Provinsi Kalimantan Barat, bisa dilihat dari hasil penelitian The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) atau The Institut Analisis Kebijakan Konflik, memperingatkan Pemerintah Republik Indonesia, untuk mewaspadai jaringan The Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) yang memiliki hubungan dengan jaringan teroris Afganistan di wilayah Provinsi Sumbar.
Hal itu terungkap dalam rilis IPAC berjudul: “Learning From Extremists in West Sumatra” atau “Belajar Dari Ekstremis di Sumatra Barat”, Jakarta, Jumat, 28 Februari 2020.
Dampak dugaan arabisasi, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi salah satu pemicu praktik intoleran di Provinsi Sumbar. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, dalam takaran tertentu, bisa menenggelamkan nama-nama tokoh nasionalis lintas generasi asal Provinsi Sumbar yang sudah berjasa di dalam pembangunan di Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia, mesti memahami atau mewaspadai, bagaimana kelompok studi lingkungan di Indonesia berubah menjadi sel pro-ISIS dengan tautan ke Afghanistan dapat menawarkan petunjuk tentang strategi yang efektif untuk melawan ekstremisme.
Direktur IPAC, Sydney Jones, menyebutkan, pihaknya telah meneliti bagaimana dua kelompok di kota Padang dan Bukittinggi memperluas jaringan mereka selama satu dekade melalui jaringan perdagangan dan migrasi, paparan langsung ke ulama radikal, dan proses melarikan diri ke daerah baru untuk menghindari polisi.
“Studi di Sumatera Barat mempertanyakan kebijaksanaan pendekatan Pemerintah Indonesia dalam memperlakukan radikalisme sebagai masalah kurangnya nasionalisme, dapat disembuhkan dengan indoktrinasi dalam ideologi negara, Pancasila,” kata Sidney Jones, Direktur IPAC.
“Masalahnya di sini lebih konkret: sebuah masjid yang menjadi tempat diskusi ekstrimis selama lebih dari satu dekade tanpa perhatian dari otoritas lokal dan orang-orang yang dideportasi dari Turki yang kembali ke rumah tanpa pengawasan yang memadai.”
Laporan ini melacak bagaimana kedua kelompok berevolusi secara berbeda dari asal yang sama. Keduanya bermula sebagai cabang dari kelompok advokasi pro-syari’ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Keduanya, menurut Sydney Jones, memiliki anggota yang pindah ke Jakarta untuk melakukan bisnis di pasar kain terbesar di Asia Tenggara di Tanah Abang, Jakarta, di mana mereka berhubungan dengan ulama terkemuka hari itu dan mengundang mereka kembali ke Sumatera Barat.
Namun, para pemimpin individu mengarahkan kelompok-kelompok itu ke arah yang berbeda, dan perselisihan sering terjadi, yang mengakibatkan keretakan. Kelompok Padang ingin melakukan serangan, kelompok Bukittnggi kurang tertarik pada kekerasan di rumah.
Seorang pria di Bukittinggi memiliki kontak di al-Qaeda, jadi meskipun anggota ingin bergabung dengan ISIS, mereka menemukan diri mereka di Idlib, Suriah dengan Front al-Nusra. Seorang lelaki Padang pada tahun 2017 menjadi penghubung ISIS di Khorasan, “provinsi” ISIS di Afghanistan, mendorong orang Indonesia lainnya untuk bergabung dengannya.
Orang yang dideportasi memainkan peran utama dalam cerita ini. Sebuah rumah perlindungan di Turki untuk orang Indonesia yang menunggu untuk menyeberang ke Suriah menjadi simpul penting yang menghubungkan Sumatra Barat ke lingkaran yang lebih luas dari para ekstremis.
“Program rehabilitasi, reintegrasi dan pemantauan yang efektif untuk orang yang dideportasi, sekarang berjumlah lebih dari 550, masih kurang di Indonesia,” kata Jones.
“Mengetahui bagaimana orang-orang yang dideportasi telah bernasib kurang baik, bahkan beberapa tahun setelah kepulangan, mereka dapat membantu dalam pengembangan program-program untuk para migran yang kembali di masa depan,” tambah Sydney Jones.
Kasus yang terjadi di Padang, Provinsi Sumbar, mengingatkan kita semua, untuk segera kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa Indonesia, sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.
Di dalam konteks pengamalan ideologi Pancasila, setiap warga masyarakat mesti melihat agama sebagai sumber keyakinan iman, alat komunikasi manusia dengan Tuhan, sementara kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai sumber pembentuk karakter dan jatidiri Bangsa.
Keduanya (agama dan kebudayaan asli Indonesia), bersinergi di dalam pembentukan karakter dan jatidiri bangsa. Tidak boleh yang satu menghilangkan yang lain. Antar keduanya saling melengkapi, sehingga orang Indonesia, harus berkebudayaan asli Indonesia.(Aju)