BEIJING (Independensi.com) – China dan Vatikan, diprediksi kembali perpanjang perjanjian rahasia antar keduanya yang selalu diperpanjang tiap dua tahun sekali.
Perpanjangan dalam hal pengangkatan seorang Uskup yang terlebih dahulu, didasarkan komunikasi politik yang kondusif dan komprehensif antar kedua negara.
Perjanjian rahasia, membuat Taiwan resah, atas kekhawatiran Vatikan tidak akan berani bersuara keras lagi setiap kali China melakukan terror dan intimasi politik terhadap sebuah negara pulau itu.
Perjanjian dua tahun sekali, pertama kali tahun 2018, kemudian tahun 2020, dan untuk ketiga kalinya diprediksi akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022. Vatikan dan China diprediksi dengan mulus memperbaharui perjanjian, mengingat komunikasi politik antar keduanya, terus berjalan baik, karena sebelumnya sudah ditandai pertemuan tidak resmi
Menteri Luar Negeri China Wang Yi dan Menteri Luar Negeri Vatikan Uskup Agung Paul Gallagher bertemu di Munich, Jerman, Jumat , 14 Februari 2020. Ini merupakan pertemuan pertama pebajat tinggi dari kedua negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik.
China untuk pertama kali melakukan pemilihan Uskup Gereja Katolik dengan persetujuan Vatikan sesuai kesepakatan China -Vatikan yang ditandatangani pada September 2019.
Dengan kesepakatan ini, China secara resmi mengakhiri penunjukan Uskup Gereja Katolik tanpa persetujuan Vatikan. Kesepakatan ini juga sebagai pengakuan China untuk pertama kali terhadap Paus Fransiskus sebagai Kepala Gereja Katolik sedunia.
Tahun 1951, China memutuskan hubungan diplomatik dengan Vatikan, karena menolak campur tangan Paus sebagai Kepala Negara Vatikan, di dalam menentukan personil seorang Uskup Gereja Katolik.
Dalam perjanjian kontroversial tahun 2018, disepakati China dan Vatikan komunikasi terlebih dahulu tentang figur seorang Pastor yang diusulkan menjadi Uskup. Gereja Patriotik China di bawah kendali Pemerintah China, mengusulkan nama beberapa Pastor yang akan diusulkan.
Kemudian melalui diskusi komprehensif, Vatikan dan China, memutuskan salah satu nama Pastor yang diusulkan untuk ditetapkan menjadi Uskup. Sebelumnya, Vatikan merasa berhak memutuskan seorang Pastor untuk diangkat menjadi Uskup di China, tanpa koordinasi terlebih dahulu, sehingga China memutuskan hubungan diplomatik tahun 1951.
Perjanjian kontroversial dan sangat rahasia tahun 2018, membuat kalangan internasional kaget dan meresahkan Taiwan, karena begitu mudahnya Vatikan menjalin komunikasi dengan China yang dikenal, sangat tidak suka situasi di dalam negerinya dicampuri negara lain.
Hal penting di dalam perjanjian sementara rahasia tahun 2018, China memahami keberadaan Vatikan terus menjalin komunikasi kegerejaan dengan umat Katolik di China, tanpa dipersulit dan atau dicurigai.
Vatikan kemudian pula memahami, situasi beragama di China tetap diberi ruas gerak seluas-luasnya. Tapi doktrin kelembagaan agama tidak boleh dijadikan alat untuk memusuhi China, dan atau alat luar negeri untuk mencampuri urusan di dalam negara China.
South China Morning Post, Jumat, 29 Maret 2019, melaporkan, Keuskupan Wumeng atau yang dikenal sebagai Jining, di provinsi otonomi khusus Inner Mongolia sedang memfinalisasi proses pemilihan kandidat Uskup untuk diproses oleh Paus Fransiskus.
Menurut South China Morning Post, lebih dari setengah dari 97 keuskupan tidak memiliki uskup. Kesepakatan Cina-Vatican menjadikan masalah pengisian lowongan uskup sebagai prioritas.
Komunikasi lebih berlanjut. Uskup Suzhou, Mgr Joseph Xu Honggen dari wilayah Jiangsu, China, bertemu Sri Paus dalam audiensi umum di Dataran Santo Petrus, Vatikan, Rabu, 5 Oktober 2016.
Uskup Xu, yang pengangkatannya sebagai Uskup disetujui Vatikan dan Beijing, membawa sebuah kempulan penziarah dari China, melambaikan bendera bersama Paus Fransiskus.
Negara China memiliki wilayah seluas 9.596.961 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1,4 miliar yang berdiri pada 1 Januari 1912, bandingkan dengan Vatikan berpenduduk 842 orang, luas wilayah 0,44 kilometer persegi (44 hektar) yang menjadi sebuah negara enklave dikelilingi tembok di tengah Kota Roma, Italia, berdasarkan Perjanjian Lateran, 11 Februari 1929.
Kantor Berita Nasional Vatikan, Vaticannews.va, Sabtu, 22 September 2018, mengatakan, pada hari perjanjian sementara tentang pengangkatan para Uskup ditandatangani oleh Tahta Suci dan Cina, Paus Fransikus memutuskan untuk membacakan kembali ke dalam persekutuan gerejawi penuh.
Delapan Uskup Gereja Katolik di China ditahbiskan tanpa mandat Vatikan, dengan tujuan demi pewartaan Injil di China, Paus Fransiskus memutuskan untuk membacakan kembali ke persekutuan gerejawi penuh para Uskup “resmi” yang tersisa, ditahbiskan tanpa mandat Kepausan.
Para Uskup yang sebelumnya diangkat tanpa persetujuan Vatikan, yaitu H.E. Mgr Joseph Guo Jincai, H.E. Mgr Joseph Huang Bingzhang, H.E. Mgr Paul Lei Shiyin, H.E. Mgr Joseph Liu Xinhong, H.E. Mgr Joseph Ma Yinglin, H.E. Mgr Joseph Yue Fusheng, H.E. Mgr Vincent Zhan Silu dan H.E. Mgr Anthony Tu Shihua, OFM (yang sebelum kematiannya pada 4 Januari 2017, telah menyatakan sikapnya mengakui Vatikan).
Paus Fransiskus berharap dengan keputusan-keputusan ini, sebuah proses baru dapat dimulai yang akan memungkinkan luka masa lalu diatasi, yang mengarah pada persekutuan penuh dari semua umat Katolik di China.
“Komunitas Katolik di China dipanggil untuk hidup dalam kolaborasi yang lebih persaudaraan, untuk mempromosikan dengan komitmen baru proklamasi Injil. Bahkan, Gereja ada untuk memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dan Kasih Bapa yang pengampun dan menyelamatkan,” kata Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatikan, sebagaimana dikutip Kantor Berita Nasional Vatikan, Vaticannews.va.
Cable News Network (CNN), Kamis, 22 Oktober 2020, melaporkan kesepakatan itu “sangat bernilai gerejawi dan pastoral” dan mengatakan itu “bermaksud untuk mengupayakan dialog terbuka dan konstruktif untuk kepentingan kehidupan Gereja Katolik dan kebaikan rakyat China.”
Partai Komunis China yang berkuasa pernah menggambarkan institusi agama asing seperti Gereja Katolik sebagai kekuatan bermusuhan yang bertanggung jawab atas penderitaan dan penghinaan negara selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kesepakatan itu, yang merupakan bagian dari visi Paus Fransiskus, Kepala Negara Vatikan, untuk memperluas pengikut Gereja Katolik di seluruh dunia, akan membantu Vatikan mendapatkan akses kepada jutaan orang yang berpotensi bertobat di seluruh China, negara terpadat di dunia.
Tetapi para kritikus mempertanyakan mengapa Gereja Katolik, yang secara historis merupakan pembela hak asasi manusia dan nilai-nilai Kristiani, bersedia berkomunikasi dengan Pemerintah China yang semakin otoriter.
Pada Oktober 2020, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, dalam sebuah artikel di majalah Katolik konservatif bahwa perjanjian dengan China membahayakan otoritas moral Vatikan.
Pernyataan Vatikan mengatakan telah terjadi “komunikasi dan kerja sama yang baik” dengan China dan bahwa mereka bermaksud “untuk mengupayakan dialog yang terbuka dan konstruktif untuk kepentingan kehidupan Gereja Katolik dan kebaikan rakyat China.”
Perjanjian rahasia China dan Vatikan, dikhawatirkan Taiwan akan membuat Vatikan tidak berani lagi bersuara setiap kali terjadi terror dan intimidasi politik yang dilakukan China.
Kantor Berita Nasional Inggris, Reuters.com, Minggu, 25 Maret 2018, melaporkan, perjanjian rahasia China dan Vatikan, sudah barang tentu membuat Taiwan menjadi resah.
Saat Vatikan dan China semakin mendekati kesepakatan bersejarah tentang pengangkatan Uskup, yang akan menandakan pemanasan hubungan yang dulunya dingin, para diplomat dan cendekiawan mengatakan Taiwan akan paling dirugikan.
Berdasarkan kesepakatan 2018, Vatikan memiliki suara dalam negosiasi penunjukan uskup masa depan di China, yang umat Katoliknya terbagi antara Gereja “bawah tanah” yang setia kepada paus dan Gereja yang didukung pemerintah.
Bahkan penyelesaian sebagian dari masalah ini dapat membuka jalan bagi hubungan diplomatik antara Beijing dan Vatikan. Itu akan memberi Gereja kerangka hukum untuk meningkatkan kualitas pembinaan iman umat Katolik sebanyak 12 juta orang di China.
Vatikan adalah satu dari hanya 20 negara bagian yang masih mengakui Taiwan, yang secara resmi dikenal sebagai Republik Cina. Beijing menegaskan bahwa jika negara-negara menginginkan hubungan dengannya, mereka harus memutuskan hubungan dengan Taiwan.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan selalu tulus dalam upayanya untuk meningkatkan hubungan China-Vatikan.
Vatikan kemudian menyakinkan Taiwan. Namun seorang pejabat senior Vatikan mengatakan bahwa kesepakatan tentang para uskup “bukanlah kesepakatan politik,” yang menunjukkan bahwa itu tidak termasuk hubungan formal apa pun dengan hubungan diplomatik dan bahwa Vatikan tidak akan menjadi negara berikutnya yang mengalihkan hubungan ke China dari Taiwan.
“Mereka (Vatikan dan Beijing) tidak akan membangun hubungan diplomatik. Anda perlu berbagi nilai-nilai yang sama satu sama lain untuk membangun hubungan diplomatik, ”kata Uskup Agung John Hung dari Taipei kepada Reuters dalam sebuah wawancara di Taipei.
“Nilai-nilai yang dianut Vatikan berbeda dari nilai-nilai Partai Komunis China. Membangun hubungan dengan Vatikan membutuhkan nilai-nilai termasuk kebebasan dan demokrasi. ”
Reuters.com, menilai hubungan diplomatik antara Beijing dan Vatikan tidak bisa dihindari, bahkan jika mungkin tidak akan terjadi.
“Gereja tidak memiliki preferensi di antara anak-anaknya dan jelas bahwa Vatikan tidak ingin melakukan apa pun yang tidak menyenangkan umat Katolik di Taiwan,” kata Agostino Giovagnoli, seorang profesor sejarah di Universitas Katolik Hati Kudus Milan dan penulis dua buku tentang Katolik di Cina.
Kedutaan Taiwan untuk Vatikan dengan bangga mengibarkan bendera dari jendelanya, mengadakan acara budaya dan menerbitkan buletin, mitra Vatikan di Taipei adalah studi dalam diplomasi sederhana.
Sejak 1970-an, setelah pemungutan suara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakui China sebagai satu-satunya China yang sah, Vatikan belum menunjuk duta besar, untuk Taiwan. Itu telah mempertahankan status misi di tingkat yang lebih rendah.
Para diplomat mengatakan sikap Vatikan terhadap Taiwan selama empat dekade telah ditujukan untuk menenangkan Beijing, yang masih melihat Taiwan dan wilayah sucinya.
Pada tahun 1999, Kardinal Angelo Sodano, yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Negara di bawah Paus Yohanes Paulus, menempuh langkah tidak biasa melalui korps diplomatik Taiwan.
Angelo Sodano mengatakan Vatikan siap memindahkan kedutaannya dari Taipei ke China “bukan besok, tetapi malam ini jika otoritas China mengizinkannya”.
Dalam direktori dan daftar diplomatik Vatikan, duta besar dari Taiwan, saat ini Matthew Shieh-Ming Lee, terdaftar di bawah “China,” bukan “Republic of China,” yang merupakan nama resmi Taiwan sekarang, dan merupakan nama resmi China sebelum tahun 1949.
Ketidakjelasan ini bukan kebetulan, kata para diplomat. Dengan menjaga agar daftar itu tidak jelas dan umum, Vatikan telah menghindari tindakan yang lebih menjengkelkan Beijing karena berusaha mencari kesepakatan tentang umat Katolik di daratan.
Ini juga akan mempermudah Vatikan untuk memindahkan kedutaannya ke Beijing pada akhirnya sambil mengklaim bahwa mereka tidak benar-benar meninggalkan Taiwan, di mana kemungkinan akan meninggalkan perwakilan “apostolik” kepada Gereja lokal.
“Sangat menarik bahwa kedua belah pihak menempatkan pertanyaan tentang hubungan diplomatik di ujung jalan, di cakrawala,” kata Giovagnoli, profesor sejarah.
Giovagnoli mengatakan bahwa karena kekuatan diplomatik dan ekonomi China telah berkembang pesat selama beberapa dekade diplomatik Vatikan seperti yang terjadi di masa lalu, membuat pemulihan hubungan politik bertahap setelah kesepakatan tentang para uskup ditandatangani lebih mungkin daripada pengakuan cepat.
“Pengakuan diplomatik tidak lagi menjadi quid-pro-quo untuk kesepakatan penunjukan uskup seperti dulu,” kata Giovagnoli.
Mereka yang kemungkinan akan merasa paling terluka jika Vatikan akhirnya menyelaraskan kembali hubungan politiknya dengan Taiwan adalah 300.000 umat Katolik di Pulau Taiwan.
Meskipun jumlah mereka kurang dari 2 persen dari populasi pulau, pengaruh mereka tidak proporsional. Wakil Presiden Taiwan Chen Chien-jen adalah seorang Katolik yang taat dan mengunjungi Vatikan pada tahun 2016 untuk kanonisasi Bunda Teresa.
Universitas Katolik Fu Jen dianggap sangat bergengsi. Seminari Regional Katolik Taiwan melatih para imam dari banyak bagian Asia, termasuk Cina.(aju, dari berbagai sumber)