Oleh: H Muhammad Tempel Tarigan
IBU kami itu wanita tangguh, walaupun tubuhnya terlihat rapuh. Perawakannya tidaklah terbilang tinggi, kurus seperti kurang gizi.
Hari itu di tahun 1957, saya melihatnya meratap di depan tubuh kaku laki-laki yang dicintainya, itulah ayah kami.
“Uga nge ningku ngata ku anakta, e, Bapa Ngantar (Bagaimana aku mengatakan pada anak-anak kita ini, Bapa Ngantar …. “ jerit ibu seolah kehabisan kata-kata demi melihat kami anak-anaknya, seraya merentang tangan di atas sosok lelaki yang telah 19 tahun mendampinginya itu.
Jerit itu sekaligus menyiratkan rasa tak percaya. Syok. Usia muda telah menipunya. Ya, ayah kami memang terbilang masih cukup muda saat meninggal dunia, baru 37 tahun, dan usia ibu berkisar 36 tahun.
“Meganjang kal pagi sisekolahken anakta, e, nindu mbarenda, enca elokkendu kal aku sisada. Entah mbere manca pe anak si waluh enda labo pagi aku ngasup,” lanjutnya lagi dengan pilu sambil terus menyusut matanya dengan kain tudung penutup kepala. ( “Kita akan menyekolahkan anak-anak sampai tinggi, itu janjimu, tapi sekarang engkau tinggalkan aku sendiri. Entah memberi makan anak yang delapan inipun nanti aku takkan sanggup. – Ind )
Saya ikut menangis. Kakak- kakak pun ikut menangis. Bahkan adik-adik ada yang menjerit-jerit. Semua kami berhimpun dalam suasana hati nelangsa.
Saat itu orang-orang belum begitu banyak yang datang melayat, baru beberapa kerabat terdekat.
Ibu kami terus melantunkan tangisan berikut kegundahan hati yang menyesakkan dada. Mungkin dia sadar, bahwa mulai saat itu, akan sendirian membesarkan kami anak-anaknya.
Ada cemas, sedih, dan sepi seketika, sebab perjalanan mengantarkan anak-anak dalam meraih cita-cita masih sangat panjang.
Lalu, bagaimana ia memikul beban itu sendirian? Ah, jangankan untuk sekolah tinggi seperti impian mereka saat sedang mengobrol di tepi ladang di kala siang, bahkan untuk memberi makan layak saja, ibu jadi tak yakin. Terlalu berat. Lalu, ratapan itu makin menyayat-nyayat.
“Sudah, Mak, jangan bersedih. Berhenti saja aku sekolah. Aku bantu Mamak ke sawah, biar sekolah adik-adik tak berhenti.” Tiba-tiba kakak kami yang paling tua, Ngantar br Tarigan angkat bicara.
Dia yang saat itu telah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri di Medan mencoba menenangkan hati ibu sekalipun hatinya sendiri sedang berduka.
Kata-kata itu semakin membuat kami terharu, tak kuasa menahan tangis. Kami berpelukan, mencoba saling menguatkan.
Tiga hari kemudian, tangisan ibu kembali terulang. Saat itu kami baru saja pulang mengantar bunga dari makam.
Dalam tradisi suku Karo, memang ada prosesi tersendiri menabur bunga setelah tiga hari pemakaman jenazah, dengan harapan dapat memulihkan duka keluarga setelah berkabung.
Saat itu, suasana batin memang menjadi sedikit lebih tenang. Dan, dalam suasana hati yang tenang itu kami masing-masing berikrar, bahwa bagaimana pun susahnya nanti hidup ke depannya, kami semua harus sekolah sampai jenjang yang tinggi. Itulah tekad kami.
Tekad seperti itu sesungguhnya adalah lompatan berpikir luar biasa untuk ukuran anak masa itu.
Ibu kami memang buta huruf namun ia tetap memegang teguh amanah suaminya.
Harus saya akui, apa yang dulu sempat dikhawatirkannya memang kerap kami alami setelahnya. Jangankan untuk makan layak, makan cukup saja sering terlewat.
Menahan lapar hingga perut perih sudah terlalu sering kami alami. Lumbeen, istilah orang Karo. Kadang meminjam beras dulu, baru bisa memasak. Hidup benar-benar pahit.
Kakak tertua sungguh telah memenuhi nazar-nya, membantu ibu untuk meringankan beban keluarga. Bertahun-tahun dia banting tulang sampai nyaris melupakan dirinya sendiri.
Teman-teman sebayanya hampir semua sudah berumahtangga, namun dia seperti tak punya pilihan lain, dibebani tanggung jawab.
Tetapi, membiayai semua adik-adiknya dengan bermodalkan cangkul “Cap Buaya” saja tentu bukan hal yang mudah. Keteteran.
Telat bayar buku dan uang sekolah, sudah jadi langganan bagi kami.
Ibu kami, meski buta huruf dan bahasa Indonesia-nya pun belepotan perlahan mulai menyebar jala rejeki dengan berdagang.
Berniaga tomat, cabai, kentang, alpukat dari partai kecil awalnya, lalu berkeranjang-keranjang hingga berton-ton, dia lakoni dengan gigih dan ulet.
Melanglang buana ke tempat-tempat yang tak pernah dia kunjungi sebelumnya seperti Medan, Binjai, Brandan, Belawan hingga berhari-hari lamanya tak membuat hatinya gentar. Kadang saya tak habis pikir, di mana dia tidur? Apakah di emperan pasar atau pertokoan?
Atau bagaimana dia menyimpan uang hasil dagangannya yang tidak sedikit? Apakah dia tidak takut dijahati orang?
Ah, tetapi begitulah ibu kami, si Beru Ribu. Keadaan telah mengajarkan dia untuk berani melawan rasa takut serta gigih dalam perjuangan demi anak-anak. Ibu kami adalah gambaran umum ibu-ibu dari suku Karo, perempuan yang tetap setia mengayomi anak-anak walaupun sendirian.
Ya, pada umumnya ibu-ibu dari suku Karo memang demikian. Mereka nyaris tak pernah terbersit hati untuk menyenangkan dirinya sendiri, walau usianya masih relatif muda saat ditinggal pergi.
Dan, kerja keras ibu sebagai orang tua tunggal perlahan bisa mengantarkan kami untuk mengenyam pendidikan dan satu persatu berumahtangga.
Tetapi, hidup tentu saja tidak selalu riak-riak yang gemercik. Kadang angin menghempaskan gemuruh gelombang.
Seperti juga keluarga kami, saat saya masih kuliah di Jakarta, kakak nomor tiga yang sudah berumahtangga divonis dokter mengidap kanker payudara.
Penyakit yang cukup asing bagi orang awam kala itu. Ibu saya sudah habis-habisan membantu pengobatannya sampai beberapa harta peninggalan ayah ikut tergadai demi bertahan hidup anak-anaknya.
Di saat yang sama saya mulai terlunta-lunta di Jakarta karena diskors dari kampus akibat imbas perpolitikan. Menyadari keadaan keluarga itu pula maka saya tidak pernah berani berterus terang dengan kondisi yang sebenarnya. Khawatir menambah beban pikiran ibu.
Begitulah seuntai kisah pahit ibu dalam kenangan saya.
Namun, kenangan yang cukup mencengangkan pernah juga terjadi sehubungan dengan tindak keberanian beliau itu.
Saat itu, beberapa dari kami anak-anaknya sudah berdomisili di Jakarta. Dengan bermodalkan alamat kantor anaknya, beliau datang jauh-jauh dari Medan naik kapal laut guna mengantar salah seorang cucunya, Rospida br Kaban, untuk kami sekolahkan di Jakarta. Tak ada kabar sebelumnya.
Tiba di Jakarta, mereka langsung menuju alamat kantor yang tertera. Celakanya, hari itu bertepatan hari Minggu, kantor pun sepi. Namun kuasa Allah rupanya bekerja di sana. Entah kenapa pada hari itu si anak tiba-tiba terbetik hati untuk singgah di kantor guna mengambil sesuatu yang tertinggal.
Dan betapa terkejutnya dia tatkala mendapati ibunya di sana sedang duduk santai mencari kutu cucunya tanpa rasa khawatir apalagi rasa bersalah. Si anak tentu saja tercengang.
Dia tak bisa membayangkan, bagaimana seandainya hari itu dia tak mampir? Ibu dan keponakannya pasti meringkuk sampai pagi di emperan kantor.
Di sinilah terkadang sulit bagi manusia memahami cara kerja Allah. Dan begitulah cara Allah mempertemukan anak beranak itu dalam kondisi teknologi komunikasi yang masih terbatas.
Si anak sebenarnya ingin marah dengan kekonyolan ini, tapi rasa harunya melebihi semuanya. Ibu dan keponakannya kemudian dibawa pulang dan keluarga pun tercengang dan menangis manakala mengetahui kejadian itu.
Begitulah ibu kami, Ibu Pengalon br Singarimbun. Kami sangat sayang dan bangga padanya, sebab dalam dekapan kasih sayang dialah kami tumbuh, besar dan mandiri satu demi satu. Apapun yang kami berikan selama hidupnya tak akan pernah sepadan dengan pengorbanannya. Tidak seujung kuku pun!
Hanya saja saya sebagai anak merasa cukup bersyukur karena masih bisa menyaksikan beliau tersenyum bahagia melihat cucu-cucunya tumbuh dan berhasil dalam kehidupan mereka.
Atau saya yang masih diberi kesempatan memenuhi beberapa permintaannya, seperti menebus kembali sawah ladang yang tergadai, utang-utang yang berserakan, hingga memberi perawatan yang layak saat beliau sakit. Bahkan ketika beliau wafat 20 Februari 1993, Allah masih memberi rezeki yang cukup hingga saya bisa mengongkosi kakak dan adik adik dengan pesawat pulang pergi Jakarta – Medan, agar kami semua bisa berkumpul saat pesta adat pemakaman beliau.
Pesta adat pemakaman yang layak dia dapatkan. Namun sekali lagi … semua itu tidaklah sepadan ….
Penulis adalah wartawan senior, penulis novel Jandi La Surong dan pemerhati sosial budaya, tinggal di Jakarta.
Mengharukan dan menggugah rasa kekeluargaan kita, patut diteladani