JAKARTA (Independensi.com) – Pemerintah melancarkan vaksinasi massal untuk memerangi penularan virus covid-19 di masyarakat. Namun sebagian masyarakat masih meragukan efektivitas vaksinasi tersebut karena, kenaikan angka kasus covid 19 justru terjadi setelah program vaksinasi dilancarkan besar-besaran. Diluar negeri, seperti di Amerika Serikat dan Eropa, vaksinasi dilakukan secara sukarela, bukan diwajibkan pada masyarakat. Hal ini disampaikan oleh dr.Zulkifli S. Ekomei, dokter yang selalu aktif dalam advokasi masyarakat dan kebangsaan.
“Masyarakat dan pemerintah harus tahu bahwa vaksinasi adalah hak, bukan kewajiban. Jadi tidak bisa pemerintah memaksakan vaksinasi secara represif seperti yang dilakukan di Bali barusan,” tegas Kordinator Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia ini kepada pers di Jakarta, Sabtu (24/7).
Kekuatiran orang yang tidak divaksin akan menyebarkan penularan Covid 19 menurutnya merupakan ketakutan yang berlebihan, karena penularan akan terjadi pada orang yang sedang sakit karena virus tertentu ke orang yang sehat.
“Walau masih perdebatan, tapi orang tanpa gejala (OTG) tapi positif tidak akan bisa menularkan pada orang lain. Karena virus kalah menghadapi antibodi si OTG, tidak mungkin bisa keluar dari tubuh orang tersebut menular pada orang lain,” ujarnya.
Menurutnya, ini sama saja dengan vaksin yang berisi virus yang dilemahkan, ketika dalam tubuh manusia, tidak mungkin menular. Karena sama dengan OTG, orang tersebut pembawa virus yang sudah dikalahkan oleh antibodi sehinga tidak mungkin bisa menular ke orang lain.
“Dalam tubuh kita ada banyak virus. Ada yang masuk lewat vaksinasi seperti cacar, polio, BCG dan lainnya. Tapi dia tidak menular. Orang yang pernah kena malaria dan sembuh, malarianya tidak hilang. Demikian juga yang pernah flu, HIV atau TBC dan sembuh, virusnya tidak hilang. Tapi saat mereka sehat, sama seperti OTG, mereka tidak akan bisa menularkan,” jelasnya.
Jadi menurutnya seharusnya pemerintah jangan kuatir dengan naiknya angka kasus, karena 80% kenaikan adalah hasil tracing yang menemukan OTG yang positif tapi tidak sakit.
“Sehingga fokus pemerintah seharusnya pada 20% yang sakit baik yang di rumah sakit maupun Isoman. Mereka harus sembuh jangan sampai fatal. Sekarang sebagian besar yang di rumah sakit fatal karena nakes dan kapasitas rumah sakit menurun kemampuannya,” ujarnya.
Vaskinasi juga menurutnya seharusnya dilakukan secara persuasif bukan represif. Artinya harus menjadi kesadaran masyarakat yang mau vaksinasi.
“Namun yang terpenting adalah sebelum dilakukan vaksinasi, petugas mengisi inform concern, sehingga kalau ada KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) pada pasien, ada yang bertanggung jawab. Jangan seperti saat ini, gak ada yang tanggung jawab, semua pada ngeles,” ujarnya.
Dokter Zulkifli mengingatkan bahwa dalam pembukaan alenia ke empat UUD’45 memerintahkan negara melindungi segenap rakyat Indonesia.
“Jangan sampai bukannya melindungi tapi justru menteror mewajibkan vaksinasi kemudian kalau ada kejadian petugas lepas tangan,” ujarnya.
Razia Wajib Vaksinasi
Sebelumya diberitakan, puluhan warga yang melintasi di Jalan Gusti Ngurah Rai tepatnya di depan Makodim 1617/Jembrana, Bali, Jumat (23/7) terjaring razia vaksinasi Covid-19.
Dalam kegiatan sidak tersebut, petugas gabungan langsung memeriksa surat vaksin atau sertifikat vaksin setiap warga yang melintas.
Warga yang tidak bisa menunjukkan sertifikat vaksin tahap 1 maupun tahap 2 langsung diarahkan ke dalam Makodim untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
“Sidak seperti ini akan sering dilakukan sebagai langkah alternatif guna upaya percepatan vaksinasi di wilayah Kabupaten Jembrana,” kata Dandim 1617/Jembrana Letkol Inf Hasrifuddin Haruna dalam siaran pers yang diterima di Denpasar, Bali, Jumat (23/7).
Inspeksi mendadak tersebut dilakukan untuk mendukung program pemerintah dalam percepatan vaksinasi nasional dengan tujuan tercapai 70 persen masyarakat yang mendapatkan vaksin sehingga terjadi mempercepat terwujudnya kekebalan kelompok atau herd immunity.