JAKARTA (IndependensI.com) – Program Kartu Prakerja didesain dan dieksekusi sebagai sebuah inovasi layanan publik pemerintah yang responsif dan adaptif menjawab kebutuhan masyarakat.
Program yang merupakan janji kampanye Presiden Joko Widodo ini ditujukan untuk memberikan pelatihan praktis bagi angkatan kerja Indonesia dalam skala dan kecepatan yang luar biasa, sebelum bonus demografi mulai menurun 2030 nanti.
Agar Prakerja tidak menjadi ‘produk gagal’, pendekatan ala swasta-startup banyak digunakan dalam implementasinya, mulai dari identifikasi persoalan di masyarakat dan solusi apa yang bisa diberikan lewat Program Kartu Prakerja.
Visi ‘produk’ yang hebat dan tim yang hebat menjadi kunci sukses Prakerja, yang dalam waktu 1,5 tahun mampu melatih 11,4 juta orang dimana 87 persen diantaranya belum pernah ikut pelatihan sepanjang hidup mereka.
Mindset ‘customer-centric’ diterapkan dengan teknologi 4.0 mulai dari onboarding peserta, pelatihan, pembayaran, monitoring-evaluasi, iterasi produk, marketing-komunikasi, hingga customer relation management.
Penegasan itu disampaikan Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana (PMO) Program Kartu Prakerja Denni Purbasari saat menjadi narasumber kuliah tamu Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, bertema ‘Sharing Pengelolaan Peluncuran Sebuah Program Kerja Pemerintah’, Sabtu 13 November 2021.
“Kami berkomitmen untuk membuat perbedaan dengan ‘produk-produk’ pendidikan dan pelatihan yang sudah ada dan melakukannya dengan cara yang berbeda karena skala dan kecepatan yang dituntut beda,” kata Denni.
Doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder, Amerika Serikat, ini mengutip, membuat rencana atau ide apakah itu blueprint, roadmap, rencana aksi itu mudah, tetapi mengimplementasikannya di lapangan itu semesta yang berbeda.
“Sejak awal kami bertekad agar Kartu Prakerja tidak menjadi produk gagal. Ada dua ciri produk gagal. Pertama, orang tidak banyak mengetahui tentang produk itu. Kedua, kalaupun tahu, publik tidak mudah menikmati produk itu, dan kalau bisa, mereka tidak puas,” urainya.
Deputi Ekonomi Kepala Staf Kepresidenan 2015-2020 ini menerangkan, Program Kartu Prakerja hadir untuk menjawab problem ketenagakerjaan Indonesia. Ada dua masalah besar di dunia ketenagakerjaan kita, yakni minimnya lowongan kerja serta rendahnya skill angkatan kerja.
“Kartu Prakerja menjawab tantangan yang kedua, menjadi komplemen dari program pelatihan yang sudah ada, supaya kompetensi dan kewirausahaan angkatan kerja kita meningkat,” jelasnya.
Program Kartu Prakerja secara nyata merupakan ‘the first government startup’. Berbagai pihak telah mengapresiasi Program Kartu Prakerja yang tidak hanya memberikan uang di masa pandemi namun juga pelatihan untuk meningkatkan human capital. Caranya yang ‘end to end digital’ membuat program menjadi efisien, efektif dan transparan. Tak heran pimpinan KPK mengatakan Program Kartu Prakerja bisa menjadi best practice dan contoh bagi program berskala besar lainnya.
“Kami berorientasi pada solusi dan berupaya memenuhi tuntutan konsumen di tengah prosedur penggunaan APBN yang sangat rigid dan konservatif,” tegasnya.
Dengan postur angkatan kerja yang bertambah sekitar 2,5 juta orang setiap tahunnya, Kartu Prakerja menyasar anak muda sebagai target utamanya. Di sinilah, komunikasi dilakukan dengan bahasa non formal, namun menghasilkan pencapaian nyata. Misalnya, Instagram @prakerja.go.id memiliki 3,5 juta followers serta website www.prakerja.go.id menjadi situs pemerintah yang paling banyak dibuka namun memiliki tingkat keamanan dan stabilitas terjamin. Selain itu, kata ‘Kartu Prakerja’ menjadi kata yang paling dicari dan menduduki peringkat pertama dalam ‘Google Trend’ 2020.
“Kami berusaha ‘’user friendly’, melihat segmen yang dibidik, lalu berkomunikasi dalam gaya bahasa mereka. Jangan membuat jarak dengan stakeholder yang dilayani. Karena program itu sesungguhnya diciptakan untuk mereka. Humility dan empati ini ada pada tim Prakerja termasuk tim Pak Menko Perekonomian, yang ditugasi Presiden untuk mengkoordinir Program,” terang Denni.
Untuk mengelola program senilai Rp41,2 triliun, Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja adalah organisasi yang sangat ramping. Total stafnya hanya 105 orang mulai dari Direktur Eksekutif hingga pramubakti, yang mayoritasnya anak muda di bawah usia 35 tahun yang sebelumnya bekerja di startup, perbankan, konsultan komunikasi, firma hukum, dan lain-lain.
“Kalau kita mau lari secepat Porsche, ya mesinnya harus kompatibel. Tidak boleh pelit dan jangan kelebihan beban yang tak perlu” katanya.
Denni menjabarkan, jika pemerintah ingin melakukan sesuatu dengan gaya berbeda dan menimbulkan hasil signifikan, harus berani merekrut orang-orang dari industri yang sesuai, dalam konteks ini dari dunia startup.
“Di sinilah pentingnya merekrut orang-orang yang ‘agile’, kuat dan share the same vision. Meskipun gajinya tidak sebesar di industri, tapi juga tidak rendah banget, mereka tetap loyal karena purpose yang jelas,” tegasnya.
Selaku pucuk pimpinan Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja, Denni Purbasari tak jemu menekankan pentingnya sering-sering mengingatkan ‘purpose’ organisasi ini kepada tim kerjanya.
“Bahwa bekerja di Program Kartu Prakerja tujuannya mulia, untuk membuat saudara-saudara kita di berbagai pelosok Indonesia yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu, yang sebelumnya tidak bisa, menjadi bisa,” paparnya.
Ekonom yang pernah menjadi asisten Staf Khusus Wakil Presiden Boediono ini menggarisbawahi, ada empat nilai utama dari tim Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja.
Pertama, ‘Above and beyond’. Bahwa bekerja itu bukan ala kadarnya.
Kedua, ‘Passionately curious’. Jangan berasumsi, terus belajar.
Ketiga, ‘Together, we create impact’. Jangan kerja sendiri-sendiri. Kesuksesan hanya bisa diraih lewat teamwork.
Keempat, ‘Integrity above all’. Bahwa yang diucapkan, itulah yang harus dilakukan. Mengelola uang negara begitu banyak harus punya integritas tinggi.
“Bekerja di program pemerintah dengan tantangan besar seperti ini, tidak cukup hanya dibutuhkan kepintaran atau kecakapan kognitif, namun juga kecakapan emosional. Karena high performing team dengan diversity tinggi di satu sisi dan di sisi lain lingkungan eksternal berubah dan challenging menyebabkan constant chaos dan tarik-ulur. Turnover tinggi. Jadi, mengimplementasikan Program di lapangan itu tidak mudah,” pungkasnya. (Chs)