MELAWI (Independensi.com) – Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas periode 2013-2015, Lidya Natalia Sartono menyoroti beragam kasus kerusakan lingkungan yang dialami oleh masyarakat Kalimantan Barat dalam rentan waktu dua tahun terakhir. Hal ini ditegaskan Lidya dalam agenda Konferensi Studi Regional (KSR) PMKRI regio Kalbar yang digelar di Pendopo Bupati Melawi.
Kejadian pengrusakan lingkungan yang tidak terkendali tersebut kemudian berkontribusi pada banjir yang melanda beberapa wilayah di Kalbar, salah satu kasus terparah adalah banjir yang menghantam Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu dan Melawi pada dua bulan terakir.
Berkaca dari krisis ekologi yang menimpa Kalbar tersebut, Lidya mengajak peran para pemuda khususnya PMKRI di region Kalbar untuk berpartisipasi dalam mengedukasi dan mengkampanyekan hal-hal yang terkait persoalan lingkungan.
“Pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini maupun masa datang. Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Maka konsekuensi logisnya, pemuda tidak hanya berdiam diri dalam pusaran krisis ekologi, tetapi menjadi motor penggerak untuk memberikan kontribusi pemikiran, menyoroti, mengadvokasi, mengedukasi masyarakat terhadap pelbagai persoalan kejahatan lingkungan, dan PMKRI harus andil dalam persoalan ini,” tegas Lidya dalam seminar bertema “Peran Pemuda dalam menjaga stabilitas ekologi hutan dan lahan di kalimantan barat,” tersebut, Senin (6/12).
Menurut Sekjen Vox Poin Indonesia tersebut, sesuai SK Menteri Kehutanan No.733/ KPTS-II/2014 tanggal 2 September 2014, luas kawasan hutan di provinsi Kalimantan Barat sebesar 8.389.601 hektar. Dalam kawasan lindung, hutan lindung memiliki luas terbesar yaitu 2.310.873 ha, setelah itu adalah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 1.621.046 ha.
Selanjutnya dalam kawasan budidaya sebagian besar adalah untuk hutan produksi terbatas sebesar 2.132.398 ha dan 2.127.366 ha merupakan hutan produksi biasa. Adapun Hutan produksi konversi hanya mencapai 197.918 ha. Produksi kayu bulat pada tahun 2019 mencapai 1,07 juta m3 . Produksi kayu olahan di Kalimantan Barat terdiri dari kayu gergajian, kayu lapis, bubur kayu, serpih kayu, dan veneer. Produksi kayu apis mengalami penurunan terus selama 5 tahun terakhir.
“Pada tahun 2019, produksi kayu lapis sebanyak 200 ribu m3 . Realisasi produksi kayu bulat yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sebanyak 105 ribu m3 , non HPH 23,16 ribu m3, dan hutan tanaman industri sebanyak 715,83 ribu m3,” ungkapnya.
Selain itu, dalam dua dekade terakhir, sebanyak 69 konflik terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan sawit di Kalimantan Barat.
“Dari 69 kasus tersebut, sebanyak 32 kasus telah diteliti oleh tim riset Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia [POCAJI]. Penelitian ini mempelajari bagaimana efektifitas mekanisme resolusi konflik sawit di Kalimantan Barat,” katanya.
Hasil riset ini dipublikasi dalam laporan riset dan diskusi publik bertema: “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi Konflik” pada Selasa (19/1/2021).
“Di Kalimantan Barat, dalam 66% dari 32 konflik yang diteliti, masyarakat tidak [atau hampir tidak] berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan pun, prosesnya sangat lama, yaitu rata-rata 5 tahun,” terangnya.
Dari ragam persoalan kasus dan konflik lingkungan ini, Lidya mengatakan bahwa adanya temuan, yakni konflik menimbulkan 58 aksi demonstrasi, 48 audiensi -yang sebagian besar dilakukan dengan politisi dan birokrat lokal di Kalimantan Barat-, ada 18 kasus pendudukan lahan dan blokade, serta 14 penyerangan terhadap aset perusahaan dan panen paksa.
Rentetan Konflik Lahan di Kalbar tahun 2020–2021
Lidya menjelaskan, awalnya, masyarakat mencoba bernegosiasi langsung dengan perusahaan. Namun, perusahaan seringkali tidak merespon. Masyarakat kemudian lebih sering melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor pemerintah kabupaten atau DPRD.
“Unjuk rasa ditanggapi pemerintah daerah dengan menggelar rapat dengar pendapat guna membahas permasalahan tersebut. “Pada 21 kasus yang kami teliti, 66 persen dari seluruh kasus menempuh jalur audiensi dengan anggota DPRD, bupati, atau gubernur,” terangnya.
Menurutnya, strategi masyarakat yang paling umum adalah mencoba mempertanyakan keputusan pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin perkebunan, meminta dukungan pemerintah untuk menyelesaikan konflik, dan agar memberi tekanan kepada perusahaan. Sebanyak 21 kasus merupakan skema plasma, sementara 15 kasus terkait penyerobotan lahan.
“Ward Berenschot, dari Koninklijk Instituut voor Taal –, Land – en Volkenkunde [KITLV] menemukan bahwa keluhan pelaksanaan skema bagi hasil [plasma] seringkali berujung konflik. Hal ini dipicu, ada perusahaan tidak merealisasikan lahan seperti yang sudah dijanjikan; keuntungan yang dibagikan terlalu kecil; koperasi yang dibentuk tidak berfungsi sebagaimana mestinya,” katanya.
Sementara penyerobotan lahan, keluhan terbanyak berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan [atau tidak mendapatkan] persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan.
Selanjutnya, di beberapa kasus, perusahaan cenderung mengandalkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak mewakili anggotanya, menggunakan intimidasi preman, atau kurangnya transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat.
“Melihat rentetan kasus yang kian marak dan akan menimbulkan potensi bencana ekologi ini, PMKRI dan elemen pemuda lain harus dapat mengambil peran serta dalam menjaga kestabilan ekologi di Kalimantan Barat,” ujarnya.
Dikatakan Lidya, Kalbar terkenal dengan beragam SDA: Emas, Timah, dan Batubara, dan Uranium. Untuk hutan produksi dan penggunaan areal lain seperti, Produksi kayu dan perkebunan sawit menjadi trending dalam produksi di Kalbar.
“Yang paling penting menjadi perhatian bersama adalah memperhatikan hal yang kecil dalam kelestarian lingkungan, menghindari konflik sosial dan Memberi pendampingan bagi korban diskriminasi,” tutupnya.
Hadir dalam pembukaan KSR PMKRI region Kalbar tersebut yakni, perwakilan dari PP PMRI, Bupati Kabupaten Melawi, H. Dadi Sunarya Uspa Yursa, Kabid Humas Polres Melayu, Kepala unit pelaksana teknis kesatuan hutan Wilayah Sintang Timur, Niko Dimus, Organ Cipayung dan BEM, BLM Kampus STKIP Melawi, WKRI Kabupaten Melawi.