Oleh: Henry Sitanggang
HUKUM bukanlah sekedar apa yang tertulis di dalam Undang-undang. Isinya bagaikan kata-kata kering itu hanyalah kristalisasi dari sosiologi, antropologi, filsafat, ekonomi, psikologi dan faktor lain.
Semula hukum itu sebelum tahun 1919 di Belanda, diartikan sebagai apa yang tertulis saja.
Alkisah ada dua orang bertetangga, seorang Mister in de rechten (MR-Sarjana Hukum) bertetangga dengan seorang Insiniur (Ir).
Agaknya sang Ir ini gagal faham atau angkuh. Ia menjemur pakaian gombal dan CD persis di depan pintu dan jendela sang MR itu.
Si MR buka buku Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)-nya, tidak ketemu pasalnya. Buka Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tak ada juga pasal yang mengaturnya.
Hatinya dongkol ke tetangganya Ir yang tidak tahu sopan dan angkuh itu.
Lalu si MR mencoba menggugat Ir bahwa, Ir itu telah melanggar Kepatutan bertetangga.
Persidangan pun masuk ke tahap kesimpulan. Tergugat Ir ngotot, ia tidak langgar UU. “Ayo mana ada pasal Undang undang ku langgar? Katanya kesal”.
Si MR ngotot bahwa hukum bukan apa saja yang tertulis. Akhirnya tibalah Hakim pada keputusan.
Mahkamah Agung Belanda (Hooge Raad) memutuskan bahwa walau tidak ada tertulis Tergugat Ir dianggap melanggar kepatutan. Oleh karenanya ia dihukum.
Jadi melanggar hukum itu bukan hanya melanggar Undang-undang saja. Dari situlah berakhir abad legisme (di mana hakim hanya sebagai corong Undang-undang).
Perluasan penafsiran
Kasus lain, ada seorang Belanda degil, sebut saja Abunawas.
Ia belajar hukum pidana.
Pada pasal 365 tentang pencurian menentukan: “Barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.
Si Abunawas ini pergi ke perbatasan Jerman- Belanda.
Ada kuda Jerman di perbatasan itu.
Abunawas agar tidak dituduh mencuri atau mengambil kuda milik orang Jerman itu, dia membuat siasat.
Lalu ia menaruh rumput segar di wilayah Belanda. Kuda ngiler melihat rumput lalu berjalan melintas batas Jerman ke Belanda.
Wow rejeki ini, kata Abunawas. Ia pernah belajar dalam hukum perdata Romawi yang kemudian turun ke Jerman lalu ke Belanda tentang konsep “res nullus”.
Artinya siapa menemukan pertama kali barang tak bertuan, misal rusa atau layang-layang, dialah ( si penemulah) pemiliknya.
Abunawas senang. Eh…ternyata ia dituduh mencuri kuda, akhirnya disidangkan.
Abunawas membuat pleidoi (pembelaan):
Unsur pasal 365 KUHP itu adalah:
1. Barang siapa
2. mengambil
3. Milik orang lain
4. Tanpa izin
Si Abunawas mengatakan “saya tidak ada mengambil kuda milik orang lain. Kuda itu di Belanda, tidak ada yang punya
Itu termasuk Res Nullus, katanya.
Lalu ia jelaskan arti res nullus yaitu tidak adanya kepemilikan atas suatu benda.
Oleh karenanya, Abunawas memohon kepada Majelis untuk membebaskannya (vrijspraak) karena unsur mengambil barang orang lain tidak terpenuhi.
Hakim mulai naik dan mengernyit jidatnya mengkaji unsur “mengambil” dan unsur “barang orang lain” sebagaimana dalil Abunawas.
Fakta hukum: kuda yang jalan sendiri melewati batas Jerman ke Negeri Belanda. Kuda itu bukan milik orang Belanda.
Unsur Res nullus kembali mengemuka..
Lalu dikaji
Kapan unsur res nullus berlaku? Misalnya seseorang memiliki seekor anjing bernama Movi.
Anjing tersebut dilepaskan dan jalan jalan sampai ke Bekasi sedang si movi bersama pemiliknya tinggal di Jakarta Timur.
Anjing Movi menelusuri jalan hingga ke apartemen Meikarta-Kabupaten Bekasi.
Apakah anjing ini sudah boleh dimiliki orang lain sebagai hewan tak bertuan atau res nullus?
Berapa kilo meter anjing di berjalan baru dianggap sudah tidak ada pemiliknya atau res nullus?
Sang hakimpun membuka sejarah hukum Romawi… Dia baca perdebatan tentang res nullus.
Rupanya panjang juga
Harus dibedakan antara wild dog dengan domesticated dog (anjing yang dijinakkan) dan seberapa jauh hewan pergi baru dianggap kembali ke alam bebas.
Jidatnya sang hakim makin licin dan botak memikirkan asas hak milik.
Ia berpikir…lebih baik melepaskan 100 yang bersalah ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah.
Indubio proreo (jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa), pikirnya. Jika kau ragu, berilah keputusan memenangkan orang yang dirugikan.
Pusing Hakim sampai tidak nyenyak tidur .
Lalu ia buka Ilmu Tafsir..
Setelah melumat buku Teori Interpretasi, lalu hakim berteriak:
Eureka, katanya, artinya aku sudah tahu jawabnya.
Ia berteriak sama seperti Archimedes ketika pertama kali menemukan rumus Berat Jenis (dulu Berat Djenis –BD).
Lalu sang hakim membuat pemafsiran analogi…Dan akhirnya menghukum si Abunawas juga.
*Penulis adalah praktisi hukum lulusan UGM sejak tahun 1986, ahli Hukum Maritim dan Bisnis, Arbitrasi dan Penerjemah.