JAKARTA (Independensi com) – Hadfana Firdaus (34), tersangka penendang dan perusak sesajen di Gunung Semeru di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur, ternyata seorang ustadz.
Hal itu dikemukakan Mohammad Habib Al Qutbhi, kuasa hukum Hadfana Firdaus, Jumat malam, 14 Januari 2022.
Hadfana Firdanus diamankan di daerah Kabupaten Bantul, Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, pukul 22.30 WIB, Kamis, 13 Januari 2022, dan langsung dibawa ke Polisi Daerah Jawa Timur, dalam status tersangka, untuk dilakukan pemeriksaan.
Mohammad Habib Al Qutbhi menyampaikan, video aksi pembuangan sesajen yang dilakukan kliennya itu awalnya diunggah di grup WhatsApp yang berisi anggota kajian agama yang dikelolanya.
Sehari-hari, Hadfana Firdaus, memang kerap mengisi kajian agama bersama ibu-ibu.
“Karena Hadfana Firdanus adalah bisa, punya pemahaman agama yang lebih dari saya, kurang lebih seperti itu, memberikan kajian ke ibu-ibu,” ucap Mohammad Habib Al Qutbhi.
“Bahwa Hadfana Firdaus menyebarkan meng-upload ke grup pada kajian ini adalah untuk tujuannya untuk edukasi. Namanya, kajian untuk ibu-ibu. Bahwa semacam ini, menurut keterangan Hadfana Firdaus tidak dibenarkan. Tidak dibenarkan secara agama, lah,” ujar Mohammad Habib Al Qutbhi.
Kasus di Kalimantan Barat
Hal serupa pernah pula terjadi di kalangan Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat.
Nasuri Adam, lelaki asal Desa Sebadu, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, mendadak terkenal, namanya viral di media sosial, setelah postingan di akun facebook-nya, Senin siang, 23 Maret 2020.
Bunyi postingan Nasuri Adam, “Landak berduka sekarang diguyur hujan deras khusus kami di daerah Mandor Kecamatan Mandor “Balalak” pilu rasanya hati ini masih ada orang kita Dayak yang percaya ritual animismis yang meminta pertolongan kepada “batu keramat”, ke panyugu dan kak kadiaman” padahal ada Tuhan yang masa kuasa yaitu Tuhan Yesus yang bisa menolong, melindungi, dan menyelamatkan dari segala virus apapun..contohnya orang Israel tidak ada kebinasaan karena tanda darah di ambang pintu…”
Postingan Nasuri Adam, menanggapi inisiatif masyarakat Suku Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, menggelar ritual Balala’ Tamakng (atau nama dengan sebutan lainnya), Senin pagi, 23 Maret 2020.
Tujuan digelarnya ritual sesuai religi Dayak Kanayatn, ini, agar terhindar dari penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19), sebagai bentuk respons positif masyarakat Dayak.
Respon positif masyarakat Dayak Kanayatn, setelah Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengumumkan Status Darurat Covid-19 sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020.
Ritual Balala’ Tamakng, bertujuan agar masyarakat terbebas dari penularan Covid-19.
Usai ritual, masyarakat Suku Dayak Kanayatn mengurung diri, tidak berpergian ke luar rumah, sesuai anjuran Pemerintah Republik Indonesia, agar terhindar dari penularan Covid-19.
Istilah yang keren Balala’ Tamakng, adalah lockdown atau tetap tinggal di rumah, tidak boleh melakukan aktifitas di luar.
Akan tetapi, ritual adat Dayak Kanayatn, direspon negatif oleh Nasuri Adam, melalui postingan di akun facebooknya, Senin siang, 23 Maret 2020, sehingga mendapat reaksi dari berbagai lapisan masyarakat Suku Dayak.
Nasuri Adam, kemudian meminta maaf. “Saya secara pribadi minta maaf bukannya saya menghina atau tidak setuju balalak, cuma sebagai hamba Tuhan saya mengungkapkan perasaan saya saja sebagai hamba Tuhan saya merasa gagal memberi pemahaman yang benar tentang Tuhan itulah tujuan mulia saya,” demikian Nasuri Adam dalam akun facebook-nya pukul 16.25 WIB, Senin, 23 Maret 2020.
Kendati sudah minta maaf, tapi kemarahan warga Dayak meluas, sehingga Polisi Sektor Mandor, mengambil inisiatif, melakukan mediasi.
Keputusannya, Nasuri Adam dihukum adat Dayak di Kota Mandor, Ibu Kota Kecamatan Mandor, Selasa siang, 24 Maret 2020.
Dalam kesempatan itu, Nasuri Adam, sekaligus meminta maaf untuk kesekian kalinnya.
Ajang introspeksi
Ada beberapa catan sebagai introspeksi diri bagi masyarakat Suku Dayak, melalui postingan akun facebook Nasuri Adam tahun 2020. Karena Nasuri Adam, masih mengaku sebagai orang Dayak, tudingan Balala’ Tamakng sebagai praktik animisme, maka ada 6 aspek yang mesti menjadi catatan.
Pertama, pemahaman kita akan filsafat budaya dan anthropologi budaya, mesti diperkaya kembali. Karena masalah animisme, sudah tidak dikenal lagi sejak abad ke-13, setelah Filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274) dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Sejak abad ke-13 orang Dayak sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Sebelum agama samawi (Islam, Katolik, Protestan) masuk ke Indonesia, orang Dayak sudah memiliki agama sendiri.
Cuma kelemahan agama asli Dayak sehingga belum dikenal luas, karena jaringan insfrastrukturnya belum dirancang dengan baik.
Kedua, postingan menuding orang Dayak meminta pertolongan kepada “batu keramat”, ke panyugu, merupakan pengabaian atas pemahaman anthropologi budaya.
Sementara di dalam teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, menegaskan, sejak abad ke-13 orang Dayak memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, melalui sistem religinya. Tidak ada praktik animisme di dalam Kebudayaan Dayak.
Tempat keramat atau panyugu bukan tempat dan atau praktik menyembah berhala sebagaimana digambarkan di dalam aninimisme. Panyugu (tempat menggelar ritual adat di dalam istilah Dayak Kanayatn), adalah media untuk berkomunikasi kepada Tuhan.
Tempat keramat atau panyugu bukan disembah, tapi hanya media untuk berkomunikasi dengan Tuhan.
Aplikasi sistem religi Dayak yang akrab dengan alam, membuktikan kecerdasan berpikir dan kecerdasan bersikap orang Dayak, untuk selalu menjaga keseimbangan ekosistem dan alam sekitar.
Ketiga, sebagian dari kita belum cerdas akan pemahaman universal, bahwa karakter dan jatidiri sebuah suku bangsa di manapun di dunia, tidak terkecuali Suku Dayak, selalu bersumber dan atau berurat berakat dari sistem religi suku bangsa yang bersangkutan, yaitu legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.
Dengan demikian, menuding praktik animisme melalui ritual balala’ tamakng, mengindikasikan sebagai salah satu profil manusia Dayak yang sudah kehilangan karakter dan jatidirinya.
Karena bagi orang Dayak, dimanapun berada, selalu berprinsip, agama sebagai sumber keyakinan iman, dan sistem religi Dayak meliputi legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku. Bagi orang Dayak, keduanya harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda, supaya tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama.
Keempat, kita dihimbau untuk melihat realita rasionalitas kebudayaan Barat bertolak dengan kebudayaan masyarakat di Benua Asia.
Masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, termasuk orang Dayak di dalamnya, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Triologi peradaban kebudayaan masyarakat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, membentuk karakter dan identitas/jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi atau bersumber doktrin (legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak), dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban, terutama situs pemukiman dan situs pemujaan.
Kelima, kitapun mesti diingatkan lagi akan sejarah lahirnya ideologi Pancasila yang diilustrasikan Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Karena Suku Dayak bagian integral Bangsa Indonesia, maka kebudayaan Suku Dayak turut andil melahirkan ideologi Pancasila. Dengan demikian, melestarikan dan mencintai Kebudayaan Dayak, sebagai wujud nyata dari pengalaman ideologi Pancaila.
Dengan demikian, tudingan ritual balala’ tamakng sebagai praktik animisme, berpotensi sebagai indikasi awal dari pengingkaran terhadap ideologi Pancasila.
Menilai kebudayaan Dayak semata-mata dari sudut pandang sumber keyakinan iman (agama), merupakan titik awal dari kehancuran kebudayaan Dayak dan titik awal dari pengingkatan ideologi Pancasila.
Keenam, kita pula mesti pula diingatkan kembali akan kebudayaan melahirkan tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, ekonomi dan politik.
Supranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama, dan ada sistem religi, termasuk religi Dayak.
Jadi agama adalah produk budaya. Kebudayaan masyarakat pada sebuah kawasan, kemudian melahirkan agama, seperti di Timur Tengah, misalnya, melahirkan beberapa kelompok agama samawi, di antaranya Katolik, Islam dan Protestan.
DIO dan TPDI tentang Gunung Semeru
Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO), Dr Yulius Yohanes, M.Si dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH, menilai, merusak dan menendang sasajen di Gunung Semeru, bentuk penghinaan terhadap salah satu jenis agama asli di Indonesia.
“Masuk kategori penistaan dan atau penghinaan agama. Pelakunya mesti segera ditangkap dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Yulius Yohanes dan Petrus Selestinus, Selasa malam, 11 Januari 2022.
Keduanya menanggapi, video viral di media sosial, seseorang lelaki menendang sesajen di dalam tradisi agama asli Suku Jawa di kaki Gunung Semeru, agar tidakmeletus yang berimplikasi kerusakan terhadap kehidupan masyarakat di sekitar.
Di dalam tradisi agama asli Suku Jawa yang lahir dari Kebudayaan Suku Jawa, seseorang yang memahami religi Jawa, selalu dikategorikan sebagai jurukunci, penghubung manusia di alam nyata dengan arwah leluhur yang bersemadi di salah satu gunung atau bukit berapi, agar tidak meletus.
Sebagaimana di dalam tradisi agama asli lain yang lahir dari kebudayaan asli di Indonesia, gunung berapi meletus, karena bentuk ketidakseimbangan alam, sehingga arwah leluhur murka, dimana salah satu bentuk kemurkaan berupa letusan gunung berapi.
Hal ini sama dengan doktrin agama asli Shinto di Jepang yang lahir dari kebudayaan Jepang yang meyakini Gunung Fujiyama, gunung berapi, sebagai gunung suci bagi masyarakat di Jepang.
Sejumlah gunung di Pulau Kalimantan, diyakini pula sebagai kawasan suci dan sakral di dalam agama asli Suku Dayak yang lahir dari Kebudayaan Dayak, seperti Agama Kaharingan yang lahir dari kebudayaan asli Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Tengah.
Yulius Yohanes, mengatakan, implementasi doktrin semua agama asli di Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli di Indoensia, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Hal ini terjadinya karena agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat di Asia Timur, menganut trilogy peradaban, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
“Ini logika yang mesti dipahami bahwa pengrusakan terhadap sesajen di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, bentuk penghinaan terhadap agama asli Bangsa Indonesia. Pelakunya mesti segera ditangkap dan diproses secara hukum,” kata Yulius Yohanes.
Diungkapkan Yulius Yohanes, di dalam tatanan hidup bermasyarakat, pengrusakan sesajen di kaki Gunung Semeru, contoh bahwa sebagian warga di Indonesia, sudah kehilangan karakter dan jatidiri.
Itu sebabnya dibutuhkan keseriusan semua pihak di dalam mendukung Program Nawacita, yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkarakter secara budaya.
Dalam upaya kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, diterbitkan Undang-Undang Nomro 5 Tahun 2017, tentang: Pemajuan Kebudayaan.
Dimana ditegaskan, semua warga Indonesia, harus beretika dan berperilaku sesuai kebudayaan asli di Indonesia.
Doktrin dari sumber keyakinan iman dan kebudayaan asli bangsa Indonesi, mesti bersinergi di dalam pembentukan karakter dan jatidiri bangsa.
Kebudayaan itu sendiri melahirkan tiga pranata peradaban, yaitu sosial, ekonomi dan politik. Di subpranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan ada sistem relgi di dalamnya, dengan sumber doktrin mitos suci, legenda suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.
“Agama asli Suku Jawa yang lahir dari Kebudayaan Jawa, sumber doktrinnya legenda suci Jawa, mitos suci Jawa, adat istiadat Jawa dan hukum adat Jawa. Sesajen di Gunug Semeru, wujud dari doktrin agama asli Suku Jawa,” kata Yulius Yohanes.
Diungkapkan Yulius Yohanes, sesajen di dalam agama asli Suku Jawa, bukan bentuk menyembah berhala. Sesajen sebagai bentuk kepatuhan orang Jawa di dalam menjalankan doktrin agama asli Jawa yang patuh dan hormat kepada leluhur, alam sekitar, sesama dan negara.
“Karena filsut Thomas Aquinas, 1225 – 1274, dengan teologi naturalis alamiah, ditegaskan seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Itu artinya, semenjak abad ketiga belas, masyarakat di Indonesia, termasuk orang Jawa, sudah diakui mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya,” kata Yulius Yohanes.
“Sesajen di Gunung Semeru, media berkomunikasi dengan Tuhan (dalam istilah agama samawi), dimana di dalam doktrin agama asli di Indonesia dikenal dengan para leluhur,” tambah Yulius Yohanes.
Petrus Selestinus menilai, tindakan menendang dan membuang sesajen di kaki Gunung Semeru, merupakan tindakan intoleransi yang tidak bisa dibiarkan. Sebab jika perilaku intoleran tidak ditindak sejak dini, akan semakin merajalela. Aparat penegak hukum dan Pemerintah harus bertindak tegas.
Sebab, apa yang terjadi di Gunung Semeru itu merupakan upaya pihak intoleran yang ingin merusak toleransi, memancing konflik, serta memperkeruh suasana.
Padahal dalam konstitusi, negara menjamin hak-hak tradisi masyarakat dan menjalankan hak atas kewajiban beragama serta hak untuk mendapat perlakuan yang sama dan setara.
Jadi ketika kepercayaaan masyarakat untuk menghormati leluhurnya, dan turun temurun dilakoni, harus dihargai dan dihormati.
“Ketika dirusak, dilecehkan, diperlakukan secara tidak hormat oleh sekelompok orang itu merupakan penghinaan terhadap budaya, keyakinan, kecerdasan dan kearifan Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur nilai budaya yang pada saat ini negara sedang berusaha sekuat tenaga untuk merawat kebhinekaan,” kata Petrus Selestinus. (Aju)