JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan mengatakan kondisi kedelai saat ini disebabkan juga kondisi perubahan iklim dunia yang mempengaruhi harga pasar internasional. Memang kedelai saat ini terbatas kondisi produksinya, sehingga pemasukan kedelai asal luar negeri menjadi alternatif.
‘’Negara-negara yang selama ini memasok kedelai ke Indonesia, seperti Brasil dan negara Amerika latin lainnya sedang mengalami anomali cuaca sehingga gagal panen. Kondisi itu diperparah oleh terjadinya inflasi di Amerika Serikat yang menyebabkan harga kedelai mengalami lonjakan,’’ jelas Yuris Tiyanto, Direktur Aneka Kacang dan Umbi.
Yuris mengatakan Kementerian Pertanian sedang melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan kedelai nasional, supaya petani kembali tertarik menanam kedelai. Sebagai informasi tahun 2022 Kementerian Pertanian memfasilitasi pengembangan kedelai seluas 52 ribu ha, dengan anggaran yang terbatas ini diharapkan selebihnya bisa dengan peran berbagai pihak termasuk off taker.
Strateginya, salah satunya dengan menggandeng off taker sebagai avalis pembiayaan. Dengan menggandeng offtaker, maka dimungkinkan untuk menjadi penjamin untuk pembiayaan KUR. Seperti halnya yang dilaksanakan di Solo hari Senin (14/2) lalu, Kementerian Pertanian bersama Dinas Pertanian di 14 Provinsi lokasi Pengembangan Kedelai Non APBN/KUR, memfasilitasi kegiatan penandatanganan MoU antara Perbankan Himbara dengan pihak perusahaan off taker sebagai langkah pemenuhan target pengembangan kedelai dengan dana KUR tahun 2022.
Lahan pertanaman kedelai tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa lahan tersebut akan berada antara lain di Provinsi Sulawesi Selatan, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi dan Banten. “Kita akan tanam di sentra yang sudah ada, Kita harapkan produktivitas bisa ditingkatkan, selama ini kuncinya ada di ketersediaan benih. Dengan pengawalan ketat akan dilakukan tanam di lahan kering, sebagian tumpang sisip dengan jagung, tebu dan kelapa sawit sebelum 4 tahun,” jelas Yuris.
Mengenai hal ini, Pakar Pangan dari Universitas Brawijaya, Sujarwo mendukung upaya kementan dalam meningkatkan produksi lokal untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. Terutama yang berkaitan dengan optimalisasi perwilayahan komoditas kedelai dan supporting sistemnya.
“Saya mendukung lebih ditingkatkan program-program pemerintah yang membangun optimalisasi perwilayahan komoditas kedelai dan supporting systemnya. Saya berharap hal Ini menjadi real sebgai buah dari semakin baiknya kelembagaan/korporasi petani,” ujar Sujarwo, Jumat, 18 Februari 2022.
Meski demikian, Sujarwo mengatakan perlu adanya analisis yang presisi terkait lahan dan juga pasarnya. Jangan sampai, kata dia, pasar kedelai tidak dijaga, sehingga nantinya akan memiliki efek terhadap ketidakpastian harga yang tinggi.
“Dalam hal ini, petani kedelai butuh bantuan pemerintah untuk mengawal produksinya dan membutuhkan lembaga penelitian untuk menghasilkan varietas yang lebih cocok adaptif dengan iklim tropis. Terutama untuk meningkatkan produktivitasnya,” katanya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan harga tahu dan tempe di dalam negeri akan naik karena melonjaknya harga kedelai internasional.
Hal ini terjadi karena kedelai menjadi bahan baku utama dalam memproduksi dua makanan kegemaran masyarakat Indonesia tersebut. “Kondisi kedelai di dunia saat ini terjadi gangguan suplai,” katanya.
Oke mengatakan Brazil terjadi penurunan produksi kedelai, di mana awalnya diprediksi mampu memproduksi 140 juta ton pada Januari, menurun menjadi 125 juta ton. Penurunan produksi ini berdampak pada kenaikan harga kedelai dunia.
Penyebab lainnya menurut Oke yakni inflasi di Amerika Serikat yang mencapai 7 persen, yang berdampak pada kenaikan harga daripada input produk kedelai. Selain itu, terjadi pengurangan tenaga kerja, kenaikan biaya sewa lahan, serta ketidakpastian cuaca di negara produsen kedelai juga mengakibatkan petani kedelai di Amerika Serikat menaikkan harga.
“Dari data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai pada minggu pertama Februari 2022 mencapai 15,77 dolar AS per bushel atau angkanya sekitar Rp11.240 per kilogram (kg) kalau ditingkat importir dalam negeri,” kata Oke.
Dalam hal ini, diperkirakan harganya akan terus mengalami kenaikan hingga Mei 2022 yang bisa mencapai 15,79 dolar AS per bushel. Selanjutnya, akan terjadi penurunan pada Juli 2022 ke angka 15,74 dolar AS per bushel di tingkat importir. Untuk itu, Oke mengatakan kenaikan harga kedelai dunia itu akan berdampak pada kenaikan harga kedelai di tingkat perajin tahu dan tempe di dalam negeri. “Dan hal ini akan mempengaruhi ujungnya adalah harga produk turunan dari kedelai, yang utama di sini adalah harga tempe dan tahu,” ujar Oke.(wst)