Serikat Petani Kelapa Sawit Laporkan Dugaan Monopoli Industri Biodiesel

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Para petani sawit yang diwakili Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melaporkan tiga perusahaan besar terkait dugaan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat terhadap industri bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2022). Korporasi yang dilaporkan adalah PT WNI, PT S, dan PT MS.

Direktur Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Edy Sutrisno berharap, KPPU seharusnya bisa dengan mudah menelusuri pelanggaran di lapangan. Dia menyebut, KPPU memang memiliki banyak kajian yang mengindikasikan adanya monopoli dari segelintir perusahaan tersebut.

“Selain penguasaan lahan, yang melampaui regulasi pengelolaan sebesar 100 ribu hektare, perusahaan tersebut juga menguasai supplier buah, sehingga mereka dengan mudah mengatur harga tandan buah segara (TBS) di level petani,” kata Edy di Jakarta, Selasa (15/3/2022).

Anggota Dewan Nasional SPKS Gunawan berharap ke depan, kebijakan pemerintah di perkebunan sawit mampu mengubah petani untuk tidak hanya sebagai aktor budidaya, tetapi juga pengelola buah. Karena itu, ia mendesak KPPU untuk membongkar praktik tidak sehat yang dilakuan pelapor, hingga salah satu efeknya minyak goreng langka di pasaran.

“Laporan ini tidak hanya membongkar praktik oligopsoni dalam biodiesel, tetapi juga melihat ketidakadilan rantai pasok sawit secara keseluruhan, yang juga berimbas pada ketersediaan produk makanan, seperti krisis minyak goreng yang terjadi akhir-akhir ini,” ucap Gunawan.

Koordinator kuasa hukum pelapor Janses E Sihaloho menjelaskan, pelaporan ketiga perusahaan tersebut lantaran terkait dugaan praktik oligopsoni dan atau integrasi vertikal terhadap industri BBN. Dia juga menyebut, peningkatan lahan kelapa sawit setiap tahun milik para terlapor yang melampaui 100 ribu hektare berdasarkan aturan berlaku.

Peningkatan lahan itu menunjukkan adanya peningkatan permintaan pasar terhadap pasok TBS sawit. Janses menyebut, seharusnya kesejahteraan para pekebun swadaya dan kemitraan semakin meningkat, namun fakta di lapangan tidak demikian.

“Masih banyak pekebun swadaya dan pekebun kemitraan yang dirugikan atas harga jual TBS sawitnya. Hal tersebut diduga telah memenuhi unsur pada Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,” ucap Janses.

Menurut dia, pelapor juga menyoroti penggunaan dana kelapa sawit yang tidak sesuai dengan UU Perkebunan. Janses mengutip, total dana perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) periode 2015-2019 sebesar Rp 47,28 triliun. Mayoritas dana tersebut dialokasikan bukan untuk kepentingan petani, melainkan industri biodiesel.

“Ketimpangan alokasi itu tergambar jelas pada realisasi anggaran pada 2015-2019, di mana 89,86 persen dari total dana atau sebesar Rp 30,2 triliun dialokasikan untuk insentif biodiesel. Ironisnya, saat pandemi Covid-19 mulai merebak, pemerintah menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp 2,78 triliun untuk biodiesel,” kata Janses.

Dari penjelasan tersebut, sambung dia, laporan kepada KPPU cukup berdasar dan beralasan. Dia menilai, para terlapor diduga telah melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yakni oligopsoni. “Semoga KPPU dapat mengeluarkan denda yang optimal, bila perlu pencabutan usaha bagi perusahaan yang jelas-jelas melakukan praktik monopoli,” katanya.