JAKARTA (Independensi.com)- Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan (Sobat KBB) mendesak Pemerintah untuk mengevaluasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tentang Pendirian Rumah Ibadah, atau yang secara resmi dikenal sebagai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Koordinator Divisi Advokasi Sobat KBB Usama Ahmad Rizal menyatakan perlu adanya perbaikan terhadap SKB dua tersebut terutama dalam muatan persyaratan yang membatasi hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
“Sejak awal PBM 2006 dinilai adanya pembatasan yang bersifat diskriminatif karena syarat-syaratnya yang bersifat subjektif. Karena bagi kelompok minoritas tidak mudah memperoleh IMB pendirian rumah ibadah,” ujar Rizal, baru-baru ini.
Diketahui, salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM No.8 dan 9 Tahun 2016 adanya daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Selain itu juga perlu adanya syarat dukungan dari masyarakat sekitar paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kantor departemen agama, dan rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
“Unsur 60-90 mungkin bagi kelompok agama mayoritas tidaklah sulit. Aturan ini membuka ruang adanya politisasi dan mengintervensi hak-hak orang lain untuk beribadah,” ujar Rizal.
Rizal pun mengungkapkan contoh mutakhir dari pemberangusan hak warga minoritas sebagai dampak SKB 2 Menteri ini, yakni penolakan pendirian Masjid Taqwa Muhammadiyah di Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh, baru-baru ini.
Penolakan tersebut berujung pada pembongkaran oleh Satpol PP, terhadap tiang Masjid Taqwa milik warga Muhammadiyah yang di wilayah itu merupakan minoritas. Ini imbas dari keluarnya surat putusan dari Pemerintah Kabupaten Bireuen tertanggal 16 Maret 2021 yang pada intinya menyatakan menunda pemberian IMB untuk Masjid Taqwa.
Rizal menegaskan, peristiwa ini menambah rentetan panjang kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di Aceh secara khusus dan di Indonesia secara umum. Dan sekaligus menunjukkan bahwa Peraturan Bersama Menteri No. 8 dan 9 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadah seringkali dijadikan alasan untuk menutup rumah ibadah yang minoritas.
“Memiliki rumah ibadah bagi umat beragama adalah hak warga negara yang harus dipenuhi, tidak boleh dibatasi dan dikurangi. Negara dengan berbagai instrumennya dari level pusat hingga desa sudah semestinya menjamin, melindungi dan memenuhi hak tersebut. Bukan sebaliknya, malah membiarkan bahkan menjadi aktor langsung yang melakukan tindak pelanggaran,” kata Rizal
Oleh karena itu Sobat KBB mendesak Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk segera mengkaji ulang pasal-pasal tentang persyaratan pendirian rumah ibadah di Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang seringkali digunakan untuk menghambat kelompok minoritas untuk membangun tempat ibadah.
Dalam konteks tersebut, Sobat KBB juga menilai rencana pemerintah untuk menaikkan status regeling tersebut dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tidak cukup. Lebih dari itu dibutuhkan kajian lebih dalam mengenai muatan PBM yang restriktif bagi minoritas.
“Ke depan, Sobat KBB juga akan mengintensifkan ruang-ruang perjumpaan lintas iman, dan antaridentitas untuk mencegah terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah,” ujar Rizal.
“Karena masalah pendirian rumah ibadah bukan hanya dipengaruhi faktor struktural seperti PBM 2 menteri, melainkan faktor kultural juga, dimana adanya relasi sosial yang belum selesai di tengah-tengah masyarakat. Semoga terbangunnnya inklusi sosial dapat meminimalisir permasalahan pembangunan rumah ibadah, ” pungkas Rizal. (Hiski Darmayana)