JAKARTA (Independensi)- Bukan rahasia lagi, apabila setelah reformasi, bangsa ini kian jauh dari Pancasila. Terjadi de-ideologisasi yang menyebabkan bangsa Indonesia tak akrab lagi dengan Pancasila, ideologi yang digali oleh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Sukarno.
Semua berawal pada tanggal 13 November 1998, 6 bulan pasca lahirnya era reformasi. Kala itu, melalui Sidang Istimewa, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor 18 Tahun 1998 (TAP MPR no XVIII/MPR/1998) yang mencabut Ketetapan tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4.
Alasan MPR pimpinan Harmoko mencabut Ketetapan MPR tentang P4, adalah karena materi muatan dan pelaksanaan P4 dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.
Tak hanya P4 yang dicabut. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) sebagai lembaga yang bertugas melakukan sosialisasi dan pemantapan ideologi Pancasila juga dibubarkan.
Proses de-ideologisasi pun dimulai secara masif, terstruktur dan sistematis di negeri ini. Pancasila, perlahan tapi pasti, dijauhkan dari otak dan hati anak-anak negeri.
Proses de-ideologisasi dilanjutkan dengan lebih dahsyat oleh Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003. Dalam UU produk DPR pimpinan Akbar Tandjung yang merupakan hasil pemilu 1999 itu, Pancasila tak lagi menjadi mata pelajaran wajib di pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Sebagai ganti mata pelajaran Pancasila, Pasal 37 UU Sisdiknas mewajibkan kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi memuat pendidikan kewarganegaraan. Jadi, Pancasila hanya ‘dititipkan’ pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dan de-ideologisasi melalui UU Sisdiknas ini disetujui oleh hampir semua fraksi di DPR kala itu. Hanya Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia yang menolak pengesahan UU Sisdiknas.
Pancasila pun seakan ‘hilang’ dari bangku-bangku sekolah maupun kelas-kelas perkuliahan. Negara tak hadir dalam proses ideologisasi generasi penerus negeri.
Tafsir Pancasila terkesan diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, ketika setiap orang maupun kelompok bebas menafsirkan sila-sila Pancasila sesuai selera dan kepentingannya masing-masing.
Walhasil, nilai-nilai luhur dalam sila-sila Pancasila kian hari terus tergerus oleh ideologi fundamentalisme pasar yang perwujudannya adalah ekonomi liberal-kapitalistik, serta fundamentalisme agama yang termanifestasi dalam ideologi Khilafah, radikalisme dan terorisme.
Buahnya, Pancasila kian tak ‘bertaji’ di mata warga bangsa ini, khususnya generasi muda. Survei Komunitas Pancasila Muda yang dilakukan pada akhir Mei 2020 mencatat hanya 61 persen responden yang merasa yakin dan setuju bahwa nilai-nilai Pancasila sangat penting dan relevan dengan kehidupan mereka. Sementara, 19,5 persen di antaranya menganggap Pancasila hanya sekedar istilah, yang tidak mereka pahami maknanya.
Sebelumnya, survei LSI Tahun 2018 juga mencatat bahwa dalam kurun waktu 13 tahun masyarakat yang pro terhadap Pancasila telah mengalami penurunan sekitar 10 persen, dari 85,2 persen pada tahun 2005 menjadi 75,3 persen pada tahun 2018.
Yang lebih menyedihkan, de-ideologisasi Pancasila juga berpengaruh pada pandangan para pendidik. Hasil survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan opini radikalisme yang tinggi di kalangan guru di berbagai tingkatan sejak TK hingga SMA. Untuk para guru di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, sebanyak 59,38 persen guru memiliki opini yang mendukung berdirinya negara Islam.
Demikianlah dahsyatnya dampak poses de-ideologisasi di negeri ini, sebagai buah dari pencabutan P4 pada Sidang Istimewa MPR 1998. De-ideologisasi yang berakibat pada kian jauhnya anak-anak bangsa ini dari ideologi yang diwariskan para pendiri negeri.
Di periode kedua Pemerintahan Presiden Jokowi ini, ada sedikit upaya membendung de-ideologisasi tersebut. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pemerintah telah mewajibkan pendidikan Pancasila, baik sebagai mata pelajaran maupun mata kuliah.
Langkah ini merupakan upaya awal mewajibkan pendidikan Pancasila sebelum revisi UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dilakukan.
Maka, mulai tahun ajaran 2022/2023, mata pelajaran Pendidikan Pancasila ditetapkan dalam Kurikulum Merdeka yang merupakan kreasi dari Kemendikbudristek. Pendidikan Pancasila akan diterapkan pada 140 ribu sekolah/madrasah yang mengimplementasikan kurikulum tersebut, mulai dari satuan pendidikan jenjang PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, hingga Pendidikan Tinggi.
Ini adalah langkah maju, meski belum bisa dipastikan kesuksesannya. Tapi, yang harus dicatat oleh seluruh petinggi negeri, adalah dasar hukum bagi penyelenggaraan pendidikan, yakni UU Sisdiknas Nomor 20/2003 belum direvisi. Padahal, regulasi ini adalah ‘biang kerok’ peminggiran Pancasila dalam dunia pendidikan.
Selain itu, yang juga harus menjadi perhatian serius adalah TAP MPR no XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan tentang P4 tak akan pernah bisa ditinjau ulang, apalagi dicabut.
Sebab, sejak Sidang Tahunan MPR 2003 menerbitkan TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, maka seluruh TAP MPR yang terbit dalam kurun waktu tersebut tidak bisa diganggu gugat.
Jadi, secara hukum, dua regulasi tersebut masih mungkin ‘merongrong’ proses ideologisasi Pancasila yang baru dimulai secara sistematis dan terstruktur. Maka, kewaspadaan seluruh pihak yang berkhidmat pada Pancasila tetap dibutuhkan, agar proses peminggiran Pancasila sejak 13 November 1998 tak berlanjut.
(Hiski Darmayana)
Njfhsjdwkdjwfh jiwkdwidwhidjwi jiwkdowfiehgejikdoswfiw https://gehddijiwfugwdjaidheufeduhwdwhduhdwudw.com/fjhdjwksdehfjhejdsdefhe