GMNI : Takut Beli Minyak Rusia, Pemerintah Didikte Amerika

Loading

JAKARTA (Independensi)- Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP-GMNI) menilai Pemerintah tidak melakukan politik subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan strategis. Menurut GMNI, politik energi nasional seharusnya bersinergi dengan politik luar negeri dan diplomasi ekonomi.

DPP GMNI menilai politik energi nasional belum berdaulat, karena Indonesia masih bisa didikte oleh asing.

“Seperti dalam kasus rencana pembelian minyak mentah dari Rusia. Seperti diketahui, Rusia menawarkan harga minyak yang 30 persen lebih murah dibandingkan harga pasar global. Namun, pemerintah masih khawatir dengan konsekuensi embargo ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya,” tegas Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi dalam siaran persnya, Kamis (8/9/2022).

Padahal, lanjut Imanuel, cukup banyak negara yang “berani” membeli minyak Rusia, seperti India (Bharat Petro, Hindustan Petro, Indian Oil Co., Mangalore Refinery and Petrochemicals dll), China (Sinopec),dan Jerman (Leuna, Miro, PCK Schwedt).

Bahkan, data dari The Center for Research on Energy and Clean Air -lembaga think tank Finlandia menyebutkan bahwa selama periode Februari-Juli 2020, Jepang “masih” membeli minyak mentah dan gas Rusia sebesar 2,6 miliar dollar AS.

“Disusul Korea Selatan (1,7 miliar dollar AS) dan Taiwan (1,2 miliar dollar AS),” ujar Imamuel.

GMNI pun menilai selama ini politik energi nasional masih berjalan parsial dan memiliki banyak kelemahan.

GMNI menilai gejolak harga minyak global bisa ditekan di sisi hulu (upstream), apabila pemerintah mendorong Pertamina untuk lebih giat melakukan eksploitasi ladang-ladang migas baru. Termasuk menarik investor potensial untuk menanamkan modal di infrastruktur kilang minyak.

Menurut GMNI, peningkatan kapasitas kilang adalah esensial untuk mengurangi risiko kenaikan biaya pengadaan BBM impor dan volatilitas nilai tukar rupiah.

Peningkatan kapasitas kilang minyak, tidak hanya untuk menghasilkan BBM, tetapi juga kilang yang lebih kompleks di sektor petrokimia (petrochemical).

“Dengan kata lain, peningkatan kapasitas kilang dapat meningkatkan nilai tambah bagi Pertamina dan berdampak positif juga untuk APBN,” ujar Imanuel. (Hiski)