JAKARTA (Independensi.com) – Mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk keduakalinya mangkir dari panggilan sidang kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya dari Januari 2021 hingga Maret 2022 yang diperiksa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (18/10/2022)
Lutfi yang dipanggil guna dimintai keterangan sebagai saksi untuk lima terdakwa yaitu Indrasari Wisnu Wardhana dan kawan-kawan, kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan masih menemani istrinya berobat di luar negeri yaitu Jerman.
Atas sikap Lutfi tersebut majelis hakim diketuai Liliek Prisbawono memerintahkan tim jaksa penuntut umum (JPU) diketuai Emilwan Ridwan untuk memanggil Lutfi secara paksa untuk dihadirkan pada sidang mendatang hari Selasa 25 Oktober 2022.
Lutfi sebelumnya dipanggil pihak pengadilan melalui tim JPU pertama kali untuk didengar keterangannya pada Selasa 11 Oktober 2022. Selanjutnya panggilan yang kedua untuk hadir pada hari ini 18 Oktober 2022.
“Tapi karena saksi sudah dua kali tidak hadir, maka kami perintahkan kepada JPU untuk memanggil saksi secara paksa untuk dihadirkan dalam sidang dengan surat penetapan dari majelis hakim,” kata Liliek.
Dalam persidangan hari ini Tim JPU sebenarnya memanggil enam orang sebagai saksi, termasuk mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Namun yang hadir dalam sidang hanya dua orang.
Keduanya yaitu saksi Tirta Hidayat selaku Ketua Tim Asistensi dari kantor Kemenko Perekonomian dan Mira Riyanti Kurniasih selaku Direktur Penanganan Fakir Miskin Wilayah I Kementerian Sosial.
Dalam persidangan terungkap Tim Asistensi ternyata mendapat gaji Rp60 juta setiap bulan setelah salah satu terdakwa yaitu Lin Che Wei membongkarnya di depan majelis hakim. Padahal sebelumnya saksi Tirta Hidayat selaku Ketua Tim Asistensi saat dicecar Tim JPU menyatakan tidak ada biaya opersional dan gaji diterima Tim Asistensi.
Adapun para terdakwa selain Indrasari Wisnu Wardhana mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri pada Kementerian Perdagangan juga Lin Che Wei alias Weibinanto Halim. anggota Tim Asistensi pada Kemenko Perekonomian dan Penasihat Kebijakan Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI).
Sedangkan lainnya yaitu Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia terdakwa Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group terdakwaStanley MA dan General Manager PT Musim Mas terdakwa Togar Sitanggang.
Dalam kasus ini ke lima terdakwa didakwa Tim JPU memanipulasi pemenuhan persyaratan domestic market obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). DMO merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit memenuhi stok dalam negeri.
Akibat perbuatan para terdakwa, ungkap Tim JPU, telah menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 18,3 triliun yang berasal dari kerugian keuangan negara sebesar Rp6 triliun lebih dan dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12,3 triliun lebih.(muj).