GPS : Replik JPU Sangat Subjektif dan Inkonsistensi

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Tim Penasehat hukum (PH) Prof Antara menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya cenderung sangat mengarah ke subyektif dan terkesan inkonsistensi (tidak konsisten) dalam Repliknya. Bahkan JPU telah berupaya melakukan proses persidangan menuju peradilan yang sesat (dark justice) yang merugikan hak warga negara dalam hal ini Terdakwa.

Hal tersebut menjadi salah satu kesimpulan dari pembacaan Jawaban (Duplik) Atas Replik Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Badung dengan Surat Tuntutan Tindak Pidana Korupsi Nomor Reg. Perk: PDS- 04/N.1.18/Ft.1/10/2023. dalam Perkara Nomor : 23/Pid.SUS-TPK/2023/PN DPS. dalam Sidang dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang menjerat mantan Rektor Universitas Udayana Prof I Nyoman Gde Antara di PN Denpasar, Selasa (13/2/2024).

“Sangat berbahaya dan nantinya kita semua akan tersesat, tangan pikiran dan hati kita telah merampas hak kemerdekaan seseorang yang tidak bersalah dipaksakan menjadi orang bersalah. Dari orang yang bermanfaat karena kemampuan dan kecerdasannya untuk memajukan SDM di bidang Pendidikan harus kemudian diubah menjadi beban negara untuk dihidupi dalam penjara yang pengap hanya karena politik “nabok nyilih tangan” seperti ini,” kata Pengacar Gede Pasek Suardika (GPS).

Karena pada awal mulanya kasus ini dijadikan kasus korupsi, namun terbukti JPU kini telah melepaskan aspek penting dari korupsi yaitu unsur kerugian keuangan negara yang dulu telah dihebohkannya di peradilan opini maupun saat dakwaan, namun kini beralih fokus mengenakan Pasal 12 e di dakwaan kedua,” terang GPS.

Tetapi ternyata, di dakwaan kedua juga JPU tidak mampu menghadirkan fakta perbuatan mana yang dilakukan langsung oleh Terdakwa sehingga harus disebutkan melakukan pidana pungli. Bahkan argumentasi Tim PH agar ditanggapi JPU malah hanya mengambil kesimpulan umum saja dengan kalimat yang tersirat tidak menanggapi. Ini preseden yang buruk untuk proses uji materi hukum yang disajikan secara terukur dengan prinsip dan kaidah ilmu hukum dikaitkan dengan fakta hukum di persidangan.

Berdasarkan fakta dan jalannya persidangan, bahwa tidak ada Pungli yang dilakukan, tidak ada keuntungan yang dinikmati Terdakwa atau orang lain. Tidak ada pemaksaan apapun kepada siapapun terkait dana SPI di Unud yang dilakukan Terdakwa. Jika kaitan dengan penerimaan dana SPI maka posisi Terdakwa tidak bisa mengakses langsung dana tersebut, jika terkait dengan penempatan di bank mitra maka proses itu adalah proses lembaga yang melibatkan adanya Tim “Beauty Contest” terkait upaya pengadaan kendaraan operasional sejak Rektor yang lama hingga ke Terdakwa. Keputusan juga berdasarkan hasil keputusan Tim Beauty Contest yang transparan dan akuntabel.

Selain itu dari proses itu justru ada penambahan kekayaan negara berupa asset dan bunga serta manfaat kendaraan operasional yang sebagian besar kemudian menjadi BMN (Barang Milik Negara). Menjadi membingungkan ketika kemudian Terdakwa harus bertanggung jawab ketika negara bertambah kaya sebagai institusi Unud lalu malah Terdakwa dikenakan dugaan pidana Pungli.

JPU selalu berkilah kalau Tim PH berusaha mengaburkan fakta dan seterusnya, padahal justru JPU yang terbukti kabur serta bukan lagi sekadar mengaburkan fakta, tetapi telah kabur dari dakwaannya sendiri. Dimana antara Dakwaan dan tuntutan telah terjadi perbedaan yang sangat menjolok padahal esensi persidangan ini adalah bagaimana Dakwaan bisa dibuktikan di persidangan. Bukan malah membangun konstruksi baru dengan menggeser titik tekan peristiwa pidananya dari fokus dugaan pidana di penerimaan kemudian malah berubah menjadi perbuatan pidana di penggunaannnya.

Melihat fakta persidangan dan mengacu pada asas “In dubio pro reo” yaitu jika terdapat keragu-raguan tentang apakah seorang terdakwa itu bersalah atau tidak, maka haruslah diputuskan secara yang menguntungkan terdakwa, maka sudah selayaknya asas ini dikedepankan.

Atas tanggapan (Duplik) Tim Penasehat Hukum Terdakwa terhadap jawaban (replik) Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya ingin terdakwa tetap dihukum bersalah, walaupun pada kenyataannya seharusnya demi hukum dan keadilan JPU lebih layak menuntut bebas Terdakwa sebagai bentuk pertangguingjawaban moral dan juga jabatan untuk tercapainya keadilan hukum. Karena sejatinya sudah terpenuhi dasar-dasar yang meniadakan tuntutan (vervolgings uitsluitingsgronden). (hd)