Pj Gubernur Kaltim Dinilai Lakukan Pembohongan Publik Terkait Mutasi Arih Frananta

Loading

Samarinda- Penjabat (Pj) Gubernur Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) Akmal Malik telah melakukan pembohongan publik terkait dengan mutasi terhadap Arih Frananta Filifus Sembiring yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala
Satuan Polisi Pamong Praja sejak tanggal 03 Agustus 2022, menjadi Staf Ahli Bidang I yang membidangi Polhukam sejak tanggal 21 Maret 2024.

Demikian dikatakan Kuasa hukum Arih Frananta Filifus Sembiring Nason Nadeak SH.,M.H, dalam keterangan tertulisnya, baru-baru ini.

Menurut Nason, berdasarkan pemberitaan berbagai media, alasan mutasi terhadap Arih Frananta didasarkan atas alasan strategi akselerasi atau percepatan pencapaian kinerja.

“Terhadap alasan ini kami selaku kuasa
hukum Penggugat (Arih) sangat meragukan kebenarannya, sebab sejak Pj Gubernur menduduki jabatan
Gubernur Kalimantan Timur, bulan Oktober 2023, Pj Gubernur tidak pernah memberi nilai buruk kepada klien kami. Bahkan berdasarkan penilaian terakhir, Pj Gubernur memberi nilai baik kepada klien kami,” ujar Nason.

Artinya, sambung Nason, kliennya telah melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, sesuai dengan pencapaian kinerja yang sudah ditetapkan.

Nason melanjutkan, penyebab lain pihaknya meragukan kebenaran alasan mutasi tersebut adalah karena alasan mutasi itu tidak disebutkan dalam Surat Keputusan No. 800.1.3.3/7500/BKD/III, tentang Pegangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur, tanggal 21 Maret 2024.

“Sehingga alasan mutasi yakni karena menghendaki, percepatan pencapaian kinerja, kami anggap sebagai tindakan perbuatan pembohongan publik, sebab apabila alasan tersebut adalah alasan yang didasarkan atas kebenaran, maka seharusnya alasan, percepatan pencapaian kinerja tersebut, harus dituangkan dalam surat keputusan atau objek sengketa,” paparnya.

“Karena berdasarkan pasal 55 Undang-Undang No. 30 tahun 2014, tentang Adminstrasi Pemerintahan, sebuah Keputusan harus diberi alasan pertimbangan Yuridis, Sosiologis dan Filosofis. Namun dalam keputusan mutasi atau objek sengketa, pertimbangan sebagaimana diharuskan oleh pasal 55 Undang-Undang tersebut sama sekali tidak terdapat,” sambung Nason.

Nason juga menilai tindakan PJ. Gubernur Kalimantan Timur melakukan mutasi terhadap kliennya banyak melanggar peraturan perundang-undangan. Diantaranya melanggar Pasal 116 Undang-Undang No. 5 tahun 2014, Pasal 2 ayat (4) Peraturan Badan Kepegawaian Negara RI. No. 5 tahun 2019, Pasal 131 ayat (2) huruf (c) serta Pasal 190 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 tahun 2017.

“Mutasi itu juga melanggar pasal 15 ayat (2) Permendagri No. 4 tahun 2023, yang melarang PJ Gubernur melakukan mutasi kepada ASN. Kemudian melanggar juga Pasal 4 huruf (e), huruf (m) Peraturan Badan Kepegawaian Negara RI, No. 5 tahun 2019, dengan tidak memberikan persetujuan mutasi dan surat keputusan
mutasi kepada Klien kami,” ungkap Nason.

Nason melanjutkan, peraturan lain yang dilanggar oleh mutasi tersebut adalah Pasal 61 ayat (1) dan pasal 62 ayat (2) Undang-Undang No. 30 tahun
2014, yang mengharuskan setiap Keputusan wajib disampaikan terhadap pihak yang disebut dalam keputusan, paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak ditetapkan.

Kemudian, mutasi itu melanggar juga pasal 9 ayat (3) Undang-Undang No. 30 tahun 2014, karena Pj Gubernur tidak memberi dasar kewenangan dan dasar dalam menetapkan atau melakukan keputusan dalam putusan mutasi atau objek sengketa.

“Pelanggaran lainnya adalah terhadap Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2014 yang mengamanatkan syarat sahnya keputusan adalah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan dibuat sesuai
prosedur. Karena berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Pj Gubernur baru dapat melakukan mutasi apabila klien kami telah menduduki jabatannya minimal selama 2 tahun, namun klien kami baru menjabat selama 1 tahun 7 bulan, maka menurut peraturan perundang-undangan,
PJ. Gubernur tidak berwenang melakukan mutasi terhadap klien kami,” papar Nason.

Nason juga menyinggung pasal 61 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang No. 30 tahun 2014, Jo. Pasal 4 huruf ( e ) dan huruf (m) Peraturan Badan Kepegawaian
Negara RI No. 5 tahun 2019, yang mengharuskan pemberian persetujuan mutasi kepada kliennya, dan surat keputusan mutasi, harus diberikan paling lambat 5 hari kerja sejak ditetapkan.

“Namun kenyataannya, persetujuan mutasi dan surat mutasi tidak pernah diberikan dan klien kami baru memperoleh objek sengketa pada tangal 18 April 2024 dari BKD,” ungkapnya.

Dengan demikian, sambung Nason, berdasarkan pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2014, objek sengketa yang diterbitkan oleh PJ. Gubernur yang melakukan mutasi kepada kliennya adalah objek sengketa yang tidak sah.

Dan berdasarkan pasal 80 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2014, tindakan Pj Gubernur Kaltim yang tidak memberikan surat keputusan No. 800.1.3.3/7500/BKD/III, tentang Pegangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur tanggal 21 Maret 2024, harus mendapat
sanksi administratif.

“Dari berbagai pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan Pj Gubernur dalam melakukan mutasi kepada klien kami, serta alasan mutasi yang sangat diragukan kebenarannnya, maka Pj Gubernur harus mendapat sanksi adminstratif. Karena ini membuktikan Pj Gubernur tidak melaksanakan fungsinya mengatur, melayani, membangun, memberdayakan, dan mengadakan perlindungan kepada masyarakat, “tegas Nason.

“Oleh karenanya berhentilah melakukan mutasi yang tidak berdasar mengingat masa jabatan Pj tinggal kurang lebih 4 bulan lagi, sebab sangat dikhawatirkan sepeninggalnya Pj Gubernur akan menimbulkan kesemrawutan penataan para pejabat dijajaran pemerintahan provinsi Kalimantan Timur,” pungkasnya.