Perwakilan Jurnalis Kreatif), Bachtiar (kiri) dan Wakil Rektor Universitas Trilogi Jakarta, Dr. Anies Lastiati (tengah) dan Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas Nasional, Deka Kurniawan mengangkat jari kelingking sebagai simbol inklusi, usai seminar “Inklusi Prima, Indonesia Tangguh” di Universitas Trilogi, Jakarta, Rabu (11/09/2024). (Istimewa)

Penyandang Disabilitas Jangan Dikasihani

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Seluruh elemen masyarakat diharapkan tidak lagi mengasihani penyandang disabilitas hingga memberikan previlage yang justru membatasi hak mereka. Pasalnya, Hukum internasional saat ini telah mengubah paradigma terhadap disabilitas dari sebelumnya charity base atau berbasis belas kasih menjadi right base, yaitu pemenuhan hak.

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas Nasional (KND), Deka Kurniawan dalam seminar “Kita Inklusi, Kita Berprestasi” yang diselenggarakan Universitas Trilogi, Jakarta berkolaborasi dengan Jurnalis Kreatif dan lembaga riset IDP-LP di Atrium Universitas Trilogi, Jakarta, Rabu (11/09/2024).

Deka menjelaskan, paradigma chartity membuat penyandang disabilitas seakan-akan sosok tidak berdaya. “Tidak mampu, sehingga diberikan previlage tapi justru merugikan. Nggak boleh ngapa-ngapain, gak boleh dikasih kesempatan, karena memandang disabilitas, padahal punya hak yang sama,” papar Deka

Di hadapan sekitar 800 mahasiswa baru Universitas Trilogi yang mengikuti seminar tersebut, Deka menekankan charity base berdasarkan belas kasih dan kemampuan. Sedangkan right base mewajibkan pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam kondisi apapun.

“Kalau charity base itu bisa membantu ya membantu. Sama kayak sedekah, kalau kita punya uang bis sedekah, itu charity base. Tapi kalau right base, kita punya uang, kita gak punya uang, kita mampu atau gak mampu, kita harus memberikan apa yang menjadi haknya. Harus disediakan apa yang menjadi kebutuhannya. Harus diatasi apa yang menjadi hambatan dan kendalanya,” ungkap pria yang sempat menjadi jurnalis dan aktif sebagai founder Rumah Autis di tahun 2004.

Di lingkungan pendidikan tinggi misalnya kata Deka, sejumlah aspek harus terpenuhi. Poin-poin yang harus dicatat, baik oleh kampus maupun mahasiswa, nomor satu adalah berkaitan dengan regulasi. Kampus tukasnya, harus membuat kebijakan-kebijakan, termasuk program anggaran yang bisa betul-betul  memenuhi hak penyandang disabilitas. Termasuk pula penyediaan aksebilitas untuk disabilitas, salah satunya keberadaan toilet khusus disabilitas.

Berpotensi Disabilitas

Lebih jauh lulusan magister pendidikan Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA) ini menyampaikan, Indonesia sudah memiliki perangkat hukum internasional dengan meratifikasi UN CRPD (United Nation Convention of Rights for People with Disabilities) dan bahkan telah membuat UU no 8 tahun 2016 tentang disabilitas dan beberapa peraturan turunannya. Namun diakuinya kondisi untuk pemenuhan hak disabilitas di Indonesia saat ini masih terbilang jauh dari maksimal. Atas dasar itulah dibentuk Komisi Nasional Disabilitas untuk dapat melakukan percepatan sehingga pemenuhan hak disabilitas dapat terwujud dengan baik.

Berdasarkan UU No 8 Tahun 2016 hak penyandang disabilitas terbagi atas 22 hak penyandang disabilitas, 4 hak spesifik perempuan dengan disabilitas, dan 7 hak spesifik anak dengan disabilitas. Dari puluhan hak tersebut, KND mengelompokkannya menjadi enam isu strategis, yaitu penghapusan stigma, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, pekerjaan, dan pendataan.

Stigma negatif dicontohkannya masih banyak disematkan terhadap penyandang disabilitas, bahkan ketika mampu menunjukkan prestasi. Di akhir, Deka berharap para mahasiswa menjadi “agent of change” yang dapat memunculkan awareness masyarakat terhadap disabilitas. Ia mengingatkan tak ada seorang pun yang ingin menjadi disabilitas dan siapapun berpotensi menjadi penyandang disabilitas.

“Masih banyak stgma negatif dengan kata-kata yang merendahkan disabilitas, bahkan ketika kita menyampaikan disabilitas berprestasi. Misalnya Putri Ariani, dia netra, kita mengomentari dia saja mampu meraih prestsi (America’s Got Talent), kita yang sempurna masa tidak bisa. Ingat, itu stigma megatif, berarti mereka (penyandang disabilitas) tidak sempurna. Hati-hati mengatakan sempurna tidak sempurna,” Deka mengingatkan.

Wakil Rektor Bidang Pembelajaran dan Kemahasiswaan Universitas Trilogi Jakarta, Dr. Anies Lastiati, MHRM., M.Ed. St., CA. menyambut baik penyelenggaraan seminar mengangkat isu inklusi di dunia pendidikan. Kegiatan ini menurutnya menunjukkan kepedulian atas pemenuhan hak disabilitas di lingkungan pendidikan, khususnya Universitas Trilogi. Diketahui sejak beberapa tahun terakhir, Universitas telah menerima mahasiswa disabilitas sebagai peserta didik.

Sementara Bachtiar, perwakilan Jurnalis Kreatif berharap kegiatan serupa dapat dilakukan di berbagai lingkungan akademis lainnya, baik di tingkatan pendidikan tinggi ataupun tingkat sekolah. “Kita berharap kesadaran yang muncul di lingkungan pendidikan dapat menular ke berbagai aspek di maskarakat. Sehingga semua pihak menyadari pemenuhan hak disabilitas dan pentingnya inklusi untuk membuat Indonesia sebagai negara maju yang tangguh dengan sumber daya manusia hebat dan menghargai satu sama lain atas dasar kesetaraan,” ungkap Bachtiar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *