Denpasar (Independensi.com) – Single Bar maupun Multi Bar sudah dijalankan oleh berbagai negara di dunia. Dicontohkan, Jepang menganut sistem Multi Bar yang tentunya berbeda dengan Thailand dengan sistem Single Bar. Namun, hal tersebut tidak masalah, baik Single Bar atau Multi Bar, tapi intinya segala peraturan yang dibuat bernilai positif, sepanjang demi kesejahteraan masyarakat Advokat.
Namun, jika Advokat tenteram menjalankan profesi, hal tersebut akan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Demikian disampaikan Ketua Umum DPP Asosiasi Advokat Indonesia Officium Nobile atau AAI ON, Dr. Palmer Situmorang, usai acara Penutupan Munaslub AAI ON di Prime Plaza Sanur, Denpasar, Jumat, 13 Desember 2024.
“Jika Advokat itu tidak bisa bebas atau tidak ada perlindungan hukum dalam menjalankan profesi, itu yang rugi khan klien. Sebab Advokat hanya wakil bukan dia yang berperkara,” kata Dr. Palmer Situmorang.
Oleh karena itu, lanjutnya Advokat harus diberikan perlindungan hukum, lantaran Advokat sebagai agen independen, meski berpihak pada kliennya, dikarenakan ada kuasa.
Mengenai Single Bar, lanjutnya pernah dicoba untuk dipraktekkan, tapi kemudian ternyata gagal. Awalnya, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dirancang guna membuat Single Bar.
Untuk itu, diberikan waktu 2 tahun maksimal agar harus terbentuknya Wadah Tunggal. Namun, ternyata PERADI tidak juga berdiri dalam kurun waktu 2 tahun.
“Tapi, diklaim oleh pak Menteri Prof. Yusril kemarin bahwa State organ adalah PERADI itu keliru. PERADI disebut State organ, yang lain itu cuma ORMAS,” paparnya.
Perlu dikatakan, bahwa dulunya PERADI itu juga saling menggugat di Pengadilan PTUN, karena PERADI terdaftar sebagai organisasi perkumpulan, yang didaftarkan di Depkumham melalui sarana Undang-Undang ORMAS, sehingga suka tidak suka, PERADI juga harus menundukkan diri kepada Undang-Undang ORMAS.
“Jadi, PERADI itu juga ORMAS. Jangan masyarakat dibuat tersesat. Gelar Profesor itu bolehlah tetapi khusus ahli di bidang itu, namun tidak di semua bidang atau menjadi Master segala ilmu. Jadi, kita mesti jelaskan sejarah Advokat, karena pak Yusril bukan berbasis Advokat awalnya,” kata Dr. Palmer Situmorang.
Disebutkan, bahwa sejarah Advokat dimulai dari tahun 1962 sehingga diperlukan Undang-Undang Advokat sesuai dengan cita-cita awalnya membentuk Wadah Tunggal atau Single Bar.
“Tapi, justru Pemerintah yang gagal. Ketika dilahirkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat seharusnya dalam waktu 2 tahun terbentuk Wadah Tunggal. Saya berani katakan belum ada Single Bar,” urainya.
Pada kenyataannya, Wadah Tunggal (Single Bar) belum terbentuk, yang kemudian dibarengi dengan banyaknya bermunculan Organisasi Advokat, yang ternyata terdaftar sebagai Badan Hukum.
Bahkan, Pemerintah dilarang membubarkan Organisasi Advokat, karena Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul.
“Itu terdaftar sebagai Badan Hukum, siapa yang bisa bubarkan, Presiden sekalipun tidak bisa bubarkan harus ada Putusan Pengadilan yang menyatakan, bahwa Badan Hukum ini harus dibubarkan, karena misalnya mengkhianati perjuangan negara, membahayakan negara atau mengkhianati Pancasila,” tegasnya.
Jika normal-normal saja, lanjutnya tidak bisa yang mengatur hal tersebut. Apalagi, Hak Beracara disebutkan tidak ada gunanya Peraturan Pemerintah terkait Undang-Undang apapun, yang dibuktikan dengan satu Peraturan berupa Surat Edaran Mahkamah Agung atau SE MA Nomor 73 tahun 2015, bahwa semua Organisasi Advokat diperbolehkan untuk melakukan Pendidikan dan Pelantikan sendiri tanpa pandang bulu terkait Organisasi Advokat, yang diperbolehkan mendidik menjadi Advokat hingga mengeluarkan Kartu Advokat, yang juga berhak meminta kepada Pengadilan Tinggi untuk disumpah.
“Hanya dengan satu Surat Edaran saja, ngak ada itu Wadah Tunggal atau Single Bar. Itu namanya Produk Hukum juga, tidak bisa dikesampingkan, bahwa itu disebut Produk Hukum, itu hukum positif,” tandasnya.
Meski demikian, salah satu Rekomendasi MUNASLUB AAI ON supaya AAI ON mempersiapkan suatu Draft Undang-Undang yang sangat perlu direvisi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003, karena menyangkut dua hal meliputi imunitas Advokat dan juga dibahas masalah Single Bar atau Wadah Tunggal dan Multi Bar.
“Jadi, kita ada suatu kajian hukum, nanti ada satu Draft, itu yang akan kita limpahkan ke DPRD untuk dikaji sebagai Perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat,” paparnya.
Mengenai Surat Edaran Mahkamah Agung atau SE MA nomor 73 tahun 2015 semestinya diatur secara menyeluruh, sekaligus Advokat diberikan perlindungan hukum secara komprehensif.
Untuk itu, lanjutnya harus ada kejelasan antara kewenangan Mahkamah Agung (MA) dengan kewenangan Pemerintah.
“Jadi, lebih kuat SE MA daripada apapun juga. Itu harus ada sinergitas antara MA dengan Pemerintah. Jangan seperti semua orang ngatur, tetapi apapun diatur dalam Undang-Undang, selama MA tidak mewajibkan dan Hakim mengontrol dengan caranya Hakim, yang itu ngak ada gunanya,” kata Palmer Situmorang. (hd)