Saya Sungguh Mencemaskan Bali

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Judul tema Forum group discussion (FGD) Prajaniti Bali ini senada dengan ungkapan SAYA SUNGGUH MENCINTAI BALI. Layaknya orang tua kepada anaknya, kecemasan yang muncul adalah manifestasi dari rasa cinta yang mendalam. Dengan analogi relasi orang tua dan anak, kecemasan ini juga mengindikasikan keraguan akan kemampuan sang anak untuk mengatasi persoalannya sendiri. Lebih jauh, ini bisa menjadi refleksi atas kesadaran bahwa mungkin ada kekeliruan atau kurangnya ketelitian dalam pengasuhan di masa lalu.

Kecemasan terhadap Bali: Ibarat ibu cemas pada anak, di satu sisi ini memancarkan kasih sayang, namun di sisi lain terkesan meragukan kemampuan Bali untuk melakukan pemulihan diri (self-healing) dan menyelesaikan masalahnya sendiri (self-problem solving). Secara filosofis, kecemasan ini berakar pada etika kepedulian, kesadaran akan perubahan yang tak terhindarkan, ketidakpastian masa depan, dan bahkan kritik terhadap pandangan antroposentrisme. Dari sudut pandang psikologis, kecemasan ini mencerminkan empati yang mendalam, kebutuhan akan kontrol, pengalaman masa lalu atau observasi terhadap tren negatif, serta ekspresi kekhawatiran yang mendasar. Kondisi Bali terkini dengan berbagai persoalannya – angka bunuh diri dan gangguan mental yang tinggi, alih fungsi dan kepemilikan lahan yang dahsyat, kemacetan, sampah, krisis air, dan kerusakan lingkungan lainnya – memunculkan pertanyaan krusial: akankah Sandyakalaning Majapahit terulang di Bali, di balik kemewahan ritual dan gemerlap pariwisata?.

Kemampuan Self-Healing Historis Bali: Menoleh ke belakang, sejarah Bali membuktikan kemampuannya dalam melakukan pemulihan diri (self-healing) yang luar biasa berkat kekuatan budaya dan spiritual, kearifan lokal yang diwariskan, kemampuan adaptasi sosial yang tinggi, semangat gotong royong yang mengakar, serta resiliensi ekonomi tradisionalnya. Kiamat-kiamat kecil seperti letusan Gunung Agung, Peristiwa G30S, Bom Bali, resesi ekonomi, dan pandemi Covid-19 telah berhasil dilalui, mengukuhkan bahwa self-healing Bali telah teruji dan terbukti. Namun, tantangan di era globalisasi dan modernisasi dengan tekanan pariwisata massal yang intens jauh lebih kompleks. Erosi nilai-nilai tradisional dan ketergantungan pada faktor eksternal menjadi catatan penting yang perlu dipertimbangkan. Bahkan, peristiwa kecil seperti kasus listrik “NYEPI di bulan MEI” dapat menjadi inspirasi dan refleksi akan kebutuhan Bali untuk mandiri secara energi.

Warisan self-healing adalah modal yang sangat berharga, namun tentu saja membutuhkan tindakan nyata dan berkelanjutan untuk masa depan Bali. Sekecil apapun tindakan tersebut, pasti akan memberikan manfaat, seperti yang disampaikan Bli Dewa Palguna di akhir diskusi. Sayangnya, saya datang terlambat dan tidak sempat menyampaikan pendapat, juga tidak mendengar pidato kebudayaan dari mentor Putu Suasta yang biasanya penuh semangat dan membakar kesadaran untuk bergerak dan bertindak. Maafkan, Bro Wayan Sayoga, karena tidak kebagian mikrofon, maka pikiran yang mungkin tidak penting ini saya sampaikan di sini.
Salam Prajaniti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *