Menarik, Wacana Bali Sebagai Daerah Istimewa atas Eksistensi Bale Kertha Adhyaksa

Loading

Klungkung (Independensi.com) – Bali termasuk Daerah Istimewa, karena tatanan kelembagaan adat sudah berkembang sejak dulu, sebelum digembor-gemborkan konsep Trias Politika oleh Montesque dan teori Hukum Adat.

Hal tersebut, dikarenakan Hukum Adat dan agama Hindu terjadi linier di Bali. Maka dari itu, Bali menjadi satu-satunya daerah yang masih memiliki Lembaga Adat berpayung Hukum.

Tidak hanya itu, Bali memiliki keistimewaan, seperti Desa Adat yang sudah masuk menjadi Peraturan Daerah (Perda), dengan sejumlah perangkat Lembaga Adat sampai provinsi membuat Bali sangat istimewa.

Untuk itu, Lembaga Adat beserta Hukum Adat harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaannya sebagai peninggalan leluhur yang adiluhung.

Terlebih lagi, Bali sebagai salah satu dari 8 Hukum Adat yang masih hidup di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Barat, beberapa Kalimantan, Papua dan sebagian daerah Jawa.

Kedepan, dengan Perda Desa Adat terkait dengan eksistensi Bale Kertha Adhyaksa sebagai momentum tepat bagi Bali untuk mengarah menjadi Daerah Istimewa (DI).

Demikian disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana saat meresmikan Bale Kertha Adhyaksa serentak pada 53 Desa dan 125 Desa Adat se-Kabupaten Klungkung secara simbolis di Balai Budaya Ida Dewa Agung Istri Kanya, Kabupaten Klungkung, Kamis, 22 Mei 2025.

Menurutnya, Wacana Bali diangkat sebagai Daerah Istimewa (DI) dengan tidak menuntut sebuah Otonomi Khusus (Otsus) yang konteksnya berbeda, karena Otsus bagi daerah-daerah berkonflik untuk mempercepat pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.

Dicontohkan, Daerah Istimewa (DI) seperti Aceh dan Yogyakarta. Namun jika Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa, karena sistem pemerintahan dipimpin oleh seorang Raja, yang secara otomatis sebagai Kepala Daerah atau Gubernur.

Sedangkan, Aceh menggunakan sistem Hukum Islam yang diberlakukan bagi masyarakat yang ada di Aceh.

Sementara, di Bali sangat berpotensi bisa menjadi Daerah Istimewa (DI), karena Bali memiliki Lembaga Adat beserta Hukum Adat yang sangat luar biasa yang sekarang dilembagakan menjadi Perda, sehingga kedepan wacana Bali menjadi Daerah Istimewa (DI) sangat memungkinkan.

Sebagai Daerah Istimewa, Bali bisa mendapatkan insentif dari Pemerintah Pusat yang nantinya diberikan kepada Masyarakat Adat sekitar Rp 1-2 trilyun untuk membangun dan mengembangkan pelestarian adat dan budaya.
Sebelumnya, sudah dilakukan sistem Pungutan Wisatawan Asing yang masuk ke Bali sebesar Rp 150 ribu disebut sangat luar biasa.

“Kedepan, dana itu bisa digunakan untuk membantu melestarikan adat istiadat dan budaya Bali, karena turis datang ke Bali berkat manusia Bali yang bisa menciptakan seni dan budaya adiluhung yang tidak ada di daerah lain,” tegasnya.

Meski demikian, Kajati Bali Ketut Sumedana menyebutkan konflik-konflik adat yang terjadi di Bali sangat signifikan. Bahkan, akhirnya orang lain menilai, Bali banyak melakukan pelanggaran HAM.

“Ini harus diluruskan, maka keinginan saya disini keliling Bali, hal ini yang mau kita tata dan bikin aturan-aturan khusus,” terangnya.

Dipertegas lagi, bahwa Bale Kertha Adhyaksa di masing-masing Desa Adat sangat penting, karena tidak ada Desa Adat yang tidak memiliki permasalahan.

Selain itu, keberadaan Bale Kertha Adhyaksa akan mengurangi persoalan hukum yang masuk ke ranah pengadilan.

Disampaikan, bahwa Bale Kerta Adhyaksa harus dibedakan dengan Restorative Justice (RJ) yang spiritnya melindungi masyarakat dari resistensi antar mereka, sekaligus membangun tatanan hukum di tingkat Desa, yang langsung melayani masyarakat paling terbawah, yaitu Masyarakat Desa dan Masyarakat Adat. Kemudian, pihaknya juga memberikan pemahaman terkait hukum di masyarakat.

“Kalau ini sudah jalan, masyarakat melek hukum, maka damai, harmonis dan tidak ada pelanggaran hukum, sehingga Jaksa dan Kepolisian tidak diperlukan lagi. Itu yang kita bangun spiritnya, karena kelembagaan Adat itu ada semua, sayang sekali kalau ini tidak diaktifkan dan diefektifkan,” kata Kajati Ketut Sumedana.

Mengenai pembinaan, pihaknya terus memberikan pendampingan hukum. “Jika tidak ada Jaksa, mereka bisa jalan, cuma polanya belum dibangun. Kita ada disini, karena hanya memacu mereka untuk bisa eksekusi,” tegasnya.

Tak hanya itu, eksistensi Hukum Adat harus ada penyesuaian dan kolaborasi dengan Hukum Nasional, yang selalu berjalan secara bersama-sama. Kedudukan Bale Kertha Adhyaksa dinilai sebagai bagian dari Desa Adat yang dipimpin oleh Bendesa Adat.

“Jadi, semua perkara dan permasalahan yang ada di Desa berupa pidana, Bapak Bendesa Adat punya kewenangan untuk menyelesaikan, tapi tidak semua tindak pidana, itu ada klasifikasinya,” kata Kajati Bali, Ketut Sumedana.

Menurutnya, jika perkara berat, seperti pembunuhan dan pemerkosaan tidak bisa ditangani, itu harus masuk penegak hukum. Namun, jika perkara hanya pencurian biasa dan KDRT ini bisa diselesaikan di tingkat Desa dengan cara melakukan revitalisasi dan restorasi kepada korban, sehingga ada konsep perdamaian.

Sepanjang tidak mendapatkan suatu perjanjian damai, maka kasus itu bisa masuk ke pengadilan artinya pengadilan itu sebagai jalan terakhir mencari keadilan.

“Sebenarnya, keadilan itu milik masyarakat, karena masyarakat yang merasakan, sehingga dikembalikan ke masyarakat. Konsepnya sangat sederhana, yang diatur dalam Perda dan Bale Kertha Adhyaksa ini bàgian dari Desa Adat bukan hanya milik Kejaksaan, karena Kejaksaan hanya memfasilitasi dan mendukung Desa Adat, agar bisa berjalan secara bersama,” tambahnya.

Dicatat sekali lagi, Bale Kertha Adhyaksa tidak saja menangani persoalan pidana, tapi juga persoalan perdata, misalnya perkawinan dan hak bagi waris.

“Sekarang di Pengadilan kita ini, sekitar 60 persen banyak perkara perceraian yang masuk ke pengadilan. Sebenarnya, hal ini merugikan masyarakat dan anak-anak yang ada didalam rumah tangga tersebut. Itu bisa buat orang stres dan jatuh miskin, sehingga harus dicarikan solusi,” jelasnya.

Untuk itu, konflik-konflik pidana harus direndam cukup di Bendesa Adat, karena sekarang sudah banyak orang yang masuk wilayah Bali, bahkan 40 persen pendatang bertempat tinggal ke Denpasar, sehingga harus dibuatkan payung hukumnya.

“Siapapun yang berdiam di Masyarakat Adat dengan orang dan latar belakang darimanapun harus tunduk pada Hukum Adat yang ada di Bali,” tegasnya lagi.

Hal tersebut dikarenakan, Hukum Adat membangun keamanan dan kenyamanan masyarakat Bali, bukan hanya orang Bali, tapi orang luar Bali yang masuk sebagai Masyarakat Adat diberikan kenyamanan, sehingga mereka harus beretika dan tahu diri diberikan kewajiban, sebagaimana yang ada di Hukum Adat dengan dibikin Perarem yang baku.

“Namun, permasalahan yang sekarang dihadapi adalah orang Bali lebih keras didalam daripada diluar, maka mainset harus diubah justru harus lebih lentur didalam lebih fleksibel, lebih murah dan mudah, karena konsep masa mendatang, semua berkonsep murah, cepat, mudah dan ringan,” tegasnya.

Setelah dibentuk Perda, maka tidak ada sedikitpun melakukan pelanggaran HAM, dengan Sanksi Hukum terberat Penanjung Batu ditambah denda buat biaya-biaya agama dan adat. Ringannya kerja sosial, karena jika itu dilaksanakan, orang akan mengubah dalam menjalani pidana di penjara.

Sebagai gantinya dilakukan kegiatan membersihkan pura atau tempat ibadah setiap hari, yang bisa membuat mereka lebih malu.

Hal tersebut pernah diterapkan di Gili Terawangan, Nusa Tenggara Barat, ketika orang melakukan tindak pidana pencurian terhadap bule, dengan diarak keliling desa, yang didadanya berisi tulisan “Saya Pencuri”.

“Itu bisa membuat malu. Selain itu, juga diberikan hukuman untuk membersihkan tempat ibadah dan lingkungan sekitar. Itu bisa memanusiakan manusia dan menjaga keajegan Bali secara sekala niskala,” tambahnya.

Disebutkan, Bale Kertha Adhyaksa telah diresmikan di enam kabupaten di Bali, termasuk di Kabupaten Klungkung.

Peresmian Bale Kertha Adhyaksa di Kabupaten Klungkung dilakukan dengan pencabutan keris oleh Gubernur Bali Wayan Koster bersama Kajati Bali Ketut Sumedana dan Bupati Klungkung Made Satria.

Sementara itu, tiga Kabupaten/Kota lainnya bakal segera diresmikan, yaitu Karangasem, Jembrana dan Denpasar.

Turut hadir, Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Klungkung Made Satria beserta jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) Kabupaten Klungkung, Ida Sulinggih, Ida Dalem Smaraputra dari Puri Agung Klungkung, para Perbekel/Kepala Desa, Bendesa Adat dan Ketua LPD se-Kabupaten Klungkung. (hd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *