Tradisi Sabung Ayam di Pura Batu Sang Pasek dan Wali Saban Pasek di Desa Sukawana Bangli (Tinjauan Sosiologis dan Yuridis)

Loading

Oleh : I Made Somya Putra, SH, MH.

Bangli (Independensi.com) – Pura Ratu Sang Pasek adalah salah satu Pura yang terletak di Banjar Kutadalem, Desa Sukawana, Kintamani, Bangli yang merupakan bagian penting dari suasana ritual keagamaan di Desa Sukawana sebagai Desa Bali Kuna atau Bali Mula. Piodalan Pura Ratu Sang Pasek diawali pada Purnama Keenem yang dirangkai kemudian keesokan Harinya Di Pura Dajan Jalan Delod Jalan Desa Sukawana yang kemudian Akhirnya diadakan WALI SABAN PASEK berupa Sambung Ayam dan Taruhan yang diadakan di Pura Bale Agung Sukawana.

Tentu saja, dengan literatur yang terbatas, Saya menulis lebih berdasarkan Tutur Orang Tua, pengamatan dan pendalaman tentang ciri-ciri dan perjalanan sebagai krama yang mencoba menuliskan pengalamannya. Sehingga tulisan ini jauh dari kata sempurna, dan perlu banyak kajian yang lebih kofeherensif, sebab Pura Ratu Sang Pasek ini, masih banyak memiliki “pertanyaan-pertanyaan misteri” yang hanya mampu dijawab oleh Srada dan Bakhi dalam bentuk Ngayah oleh Bhaktha-Nya.

ADA APA DENGAN PALINGGIH BATU?

Sebagai krama biasa, saya tertarik dengan Palinggih berupa batu yang ada di Pura Ratu Sang Pasek ini yang bagi saya merupakan bentuk bebaturan sebagai “sastra tan patulis” yang saya yakini sudah ada jauh sebelum ada bangunan palinggih seperti jaman saat ini. Ada 2 (dua) Batu yang ada di Pura Ratus Sang Pasek Yaitu :
yang ada di depan Candi Bentar atau di luar (jaba) areal pura, dan yang ada di Areal Dalam (Jroan) Pura Ratu Sang Pasek.

Menurut Tetua Desa Sukawana, Pura Ratu Sang Pasek adalah tempat memohon panugrahan ketika mau berperang atau ingin menduduki jabatan tertentu. Di Jeroan Pura Ratu Sang Pasek ini jika ingin berperang, dapat memohon anugrah Ida Sesuhunan dengan nunas ron yang ada dan kemudian diikat di kepala, tentunya dengan ritual dan banten tertentu. Sedangkan jika ingin kedudukan tertentu dapat memohon Panugrahan di Palinggih Batu yang terletak luar areal Pura, tentunya juga dengan ritual dan banten Khusus.

Jadi BATU sebagai bebaturan dapat nilai sebagai Stana tetap Ida Bhatara yang memberikan kekuatan (bhatre) kepada para bhaktanya dalam urusan Militer dan Politik. Tentunya jika dibandingkan dengan Ritual Perang Pandan di Tenganan, Perang Tipat Di Desa Kapal Dan Di Pura Masceti, dan tradisi di Desa Bali Mula lainnya, maka sudah dapat dibaca bahwa Desa Bali Mula seperti Sukawana juga memiliki ritual dalam perayaan kemiliteran selain Parade Tari Perang seperti Baris dengan symbol senjata yang dibawanya.

WALI SABAN PASEK SEBAGAI WALI BAGI PARA PRAJURIT.

Sebagai Stana Ida Bhatara di Bidang Militer dan Politik tentu saja, Wali yang diadakan sebenarnya adalah untuk yadnya yaitu persembahan diri kepada Tuhan dalam membela Negara atau masyarakat. Ritualnya ternyata mengalami perkembangan dari jaman-ke Jaman.

Menurut Tutur Panglingsir, dahulu memang yang diadu adalah manusia dengan manusia, yang diadu seperti bentuk mesiat (bertarung). Perkembangannya kekemudian ketika sudah tidak di jaman peperangan kerajaan dulu, maka yang diadu adalah telur ayam oleh krama yang kemudian diisi toh (taruhan) sebagai bentuk dukungan kepada aduannya. Dan yang saat ini terjadi perubahan dengan menggunakan ayam aduan, yang juga diisi dengan toh, dulu menggunakan pis polong (uang kepeng) dan sekarang dengan uang tunai. Manusia, Telur dan ayam aduan yang dipakai persembahan itulah yang kemudian disebut dengan AURAN.

Dahulu ketika masa perang telah usai, prajurit (Pasek) tetaplah harus dilatih. Tentu saja prajurit haruslah memiliki hasrat membunuh, melukai, bertahan dan keterampilan bela dirinya terjaga demi membela masyarakatnya. Kewajiban sebagai prajurit bela negara haruslah ada. Leluhur Desa Sukawana kemudian mengadakan upacara WALI SABAN PASEK mewajibkan seluruh Krama Desa Sukawana untuk ikut melakukan yadnya berupa menghaturkan AURAN pada saat WALI SABAN PASEK.

KENAPA AYAM ADUAN?

Wali ini yang disebut WALI SABAN PASEK dapat dimaknai sebagai berikut :
Wali artinya Persembahan, Saban artinya Kumpul Penuh, Pasek : Para Pasek (Pacek, Pemimpin, Prajurit)

Jadi jika dilihat dari Arti Kata WALI SABAN PASEK adalah Upacara Ketika Para Pasek ini berkumpul.

Secara Niskala, Duwe (Peliharaan) Ratu Sang Pasek disebut Ayam Ijo, untuk itulah kenapa Warga Desa Sukawana sebagai Damuh Ratu Sang Pasek diyakini dilarang memelihara dan mengadu Ayam yang berwarna Hijau.

Sebagai Krama Desa Sukawana diwajibkan membawa AURAN atau persembahan berupa mengadu ayam aduan Ketika WALI SABAN PASEK minimal 1 Ekor untuk diadu, dan di Toh in (taruhan) sebagai bentuk dukungan kepada yang dipakai “AURAN”.

Sebagai AURAN, ayam tersebut hanyalah wakil krama sebagai bentuk persembahan yang ditugaskan bertarung laksana prajurit perang, yang Ketika sudah mempersembahkan diri kepada Tuhan tidak memperdulikan lagi apakah hidup, mati, menang, kalah, atau seri (sapih). Di dalam masyarakat Desa Sukawana yang menghaturkan AURAN sebenarnya tidak dikenal istilah menang atau kalah, tetapi Nunas dan Maturan. Jika Ayamnya menang, Krama akan menyebutnya sebagai Nunas, Ketika ayam dan Toh nya kalah krama akan menyebut dirinya Maturan.

Disinilah sebenarnya bentuk yadnya masyarakat Desa Sukawana secara hakiki, sebab jika ada yang membawa ayam dengan tujuan Menang maka Ia bukanlah bernyadnya apalagi membuat blolong (sengaja dikalahkan) maka Ia akan dikutuk oleh Bethara Sesuhunan Ratu Sang Pasek melalui Tirta Panyumpah yang dimohonkan di Ratu Sang Pasek.

Atas keyakinan ini, Krama Desa Sukawana sama sekali tidak berani melanggar kewajiban membawa AURAN walau tidak punya hobby mengadu ayam, ditambah lagi dengan adanya beberapa krama yang secara niskala pernah sakit yang ketika dimintakan raos (kata-kata) kepada orang pintar disebut karena tidak pernah membawa ayam aduan.

KENAPA BERBENTUK TAJEN?

Tajen sebenarnya berasal dari Kata Taji, yaitu alat tajam yang dipasangkan dikaki ayam yang dipergunakan sebagai senjata oleh ayam aduannya. Taji tersebut haruslah tajam agar bisa menusuk dan mengoyak daging lawannya.

Ketika Ayam Aduan dipersembahkan sebagai sebuah yadnya, maka segala pikiran haruslah tulus dan lepas dari segala ego. Taji adalah simbol pikiran yang tajam, yang harus mampu menusuk Ego-Ego kita ketika menjalankan kewajiban dalam kehidupan. Manusia tentu saja ada keinginan-keinginan yang timbul dari nafsunya, nafsu tersebut ketika dibawa dalam kehidupan bermasyarakat hanya akan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan saja. Maka makna Taji lebih kepada simbol menajamkan pikiran agar lebih mampu membunuh nafsu-nafsu di dalam diri kita yang tersimbolkan pada ayam aduan.

Pikiran yang tajam akan mampu mebedakan mana yang baik dan buruk (mewiweka), sehingga segala tindakan sebagai masyarakat seluruhnya untuk kebaikan masyarakat. Bagi saya ini sangat mirip dengan pesan-pesan Karma Yoga yang tertuang dalam Bhagawadghita. Dimana Masyarakat Sukawana dengan simbolisasi ayam aduan yang mempersembahkan diri sebagai Yadnya dan dipersenjatai dengan pikiran yang tajam, hanya focus kepada kewajibannya untuk bertarung tanpa memikirkan hasilnya apakah hidup, mati, menang, kalah atau seri, maka sudah menerapkan “Karmany Eva Dekaraste Maplasu Kadacana” yang diterapkan dalam Satu Kata yaitu NGAYAH oleh Masyarakat Sukawana.

WALI SABAN PASEK BUKANLAH JUDI
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, dahulu ketika masa perang telah usai, prajurit (Pasek) tetaplah harus dilatih. Tentu saja prajurit haruslah memiliki hasrat membunuh, melukai, bertahan dan keterampilan bela dirinya terjaga demi membela masyarakatnya. Kewajiban sebagai prajurit bela negara haruslah ada. Leluhur Desa Sukawana kemudian mengadakan upacara WALI SABAN PASEK yang mewajibkan seluruh Krama Desa Sukawana untuk ikut melakukan yadnya berupa menghaturkan AURAN. Bahkan AURAN tersebut harus ada TOH nya (Taruhannya) sebagai bukti dukungan kepada AURAN-nya.

Dalam keagaman masyarakat bali mula, hasrat atau nafsu masyarakat Sukawana yang ada tetaplah dipelihara, agar terarah dan tidak mengikuti Butha Kala dalam dirinya, Jadi hal ini lebih kepada upaya pengendalian melalui sebuah upacara WALI SABAN PASEK yang seolah terlihat berbentuk Judi (karena ada taruhan). Ada ayam aduan, ada permainan hiburan, ada taruhan, sebagai hasrat yang pasti ada sebagai manusia haruslah tetap diberikan waktu agar dapat dikendalikan.

Dalam kehidupan krama Masyarakat Sukawana sebenarnya sudah sangat jelas dan teratur jika melihat alur Upacara dan sasihnya. Ketika Yadnya dihaturkan Ke Luhur, Yadnya Ke Beten, Yadnya Kemanusa (pawiwahan), Kematian (Ngaben) , semua ada waktunya yang kalau dibahas perlu kajian yang lain. Akan tetapi Bhuta Kala dalam diri berupa Nafsu dan Hasrat haruslah dikendalikan dengan ada yadnya dan persembahan. Hasrat dan nafsu manusia haruslah diberikan waktu sehingga leluhur Desa Sukawana mempersilahkan Hasrat itu ditumpahkan dalam WALI SABAN PASEK yang digunakan untuk bela negara, patriotisme dan dengan persembahan kepada masyarakat bukan ego diri. Oleh karena Upacara WALI SABAN PASEK bukanlah untuk mencari untung-peruntung, mencari kekayaan melalui Toh (taruhan), atau memenuhi nafsu (butha kala dalam diri) belaka.

Dengan konsep tidak mencari untung, maka Praktek Sambung Ayam dan Taruhan, bukanlah perjudian. Upacara WALI SABAN PASEK adalah sarana leluhur melatih diri dari rasa ego itu dan meyadnyakan diri kepada Tuhan dan Masyarakat.

Mari kita kaji pengertian perjudian dalam Pasal 303 KUHP yang selama ini dijadikan momok bagi oknum-oknum untuk memungut uang dalam WALI SABAN PASEK ini, yaitu :
Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya

Sebuah persembahan “wali” bukanlah permainan, tidak mencari untung, sebab kalau menang krama menjadi Nunas, Kalau Kalah krama menjadi Maturan, tidak memerlukan mahir dan terlatih, cukup rasa bhakti saja sebagai krama dan menjalankan kewajiban menjalan wali dengan membawa AURAN dan me-toh sebagai bentuk dukungan terhadap AURANnya.

Konsep AGAMA SPRITUAL DESA SUKAWANA yang termuat dalam WALI SABAN PASEK harusnya tidak dibenturkan dengan konsep Pidana buatan kolonial dalam praktek kemerdekaan Indonesia. Sebab ternyata WALI SABAN PASEK sudah ada ratusan tahun, bahkan sebelum Indonesia merdeka.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WALI SABAN PASEK SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL

Nilai-nilai filosofis WALI SABAN PASEK adalah pengetahuan tradisional yang ada pada masyarakat Bali Mula di Desa Sukawana. Kesadaran akan pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional di Indonesia diawali dengan meratifikasi The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to The Convention on Biological Diversity (Nagoya Protocol) yang antara lain memuat ketentuan pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional sebagaimana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and The Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati), yang kemudian sebagai affirmatif action diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Pemerintah Indonesia juga telah mengambil kebijakan dalam melindungi ekspresi budaya tradisional sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU Hak Cipta Tahun 2014, dimana WALI SABAN PASEK sebagai Upacara Adat adalah sebuah bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat yang ada di Bali, Khusunya Masyarakat Desa Sukawana.

Jadi dengan adanya Perlindungan Hukum dan konsep WALI SABAN PASEK sesungguhnya, maka sudah jelas tidak ada unsur pidana dalam Wali Saba Pasek.

Pura Ratu Sang Pasek dan Wali Saban Pasek adalah sebuah pura dan Upacara Adat yang erat dengan Spiritual keagamaan masyarakat Bali Mula dan sebagai bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat yang ada di Bali, Khusunya Masyarakat Desa Sukawana yang harus dilindungi dan dilestarikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *