Ozzy Osbourne. (Dok/Ist)

Ozzy Osbourne: Panggung Terakhir Sang Pangeran Kegelapan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Di tengah gelapnya panggung Birmingham pada awal Juli 2025, sorotan lampu menyapu sosok renta yang gagah meski tertatih. Ia menggenggam mikrofon seperti menggenggam hidupnya sendiri dengan erat, dengan penuh perlawanan. Malam itu, Ozzy Osbourne tak hanya menutup konser terakhirnya bersama Black Sabbath. Ia menutup satu babak sejarah musik yang penuh kegilaan, luka, cinta, dan kejujuran yang brutal.

Tiga pekan  kemudian, dunia terdiam. Ozzy telah pergi, Selasa (22/7/2025). Dalam usia 76 tahun, sang legenda menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan jutaan penggemar, keluarga yang mencintai dan warisan yang tak akan pernah bisa ditiru serta hanya bisa dirayakan.

Ozzy bukan hanya ikon heavy metal. Ia adalah perwujudan dari paradoks manusia yang rapuh tapi keras kepala, rusuh tapi tulus, liar tapi penuh kasih sayang. Lahir sebagai John Michael Osbourne pada 3 Desember 1948 di kota industri Birmingham, hidupnya diwarnai oleh kemiskinan, disleksia dan masa muda yang penuh pelanggaran hukum. Tapi dari reruntuhan itulah lahir sosok yang mengguncang dunia.

Black Sabbath, band yang ia dirikan bersama rekan-rekannya, bukan hanya mempopulerkan musik cadas tetapi mereka menciptakan genre baru yaitu aliran heavy metal. Dari “Paranoid” hingga “Iron Man”, mereka tidak hanya menulis lagu, mereka menulis sejarah.

Tapi Ozzy bukan Ozzy kalau hanya bicara musik. Dunia mengenalnya lewat aksi panggung gila, menggigit kepala kelelawar hidup, mandi darah palsu, melempar daging mentah ke penonton. Semua itu bukan sekadar aksi sensasional, tapi bentuk jujur dari ekspresi tanpa filter. Ia tampil apa adanya dengan menawarkan kegilaan dan kejujuran dalam satu lini masa. Sebuah ungkapan yang sangat manusia sekali.

Di balik persona “Prince of Darkness”, ada tubuh yang babak belur oleh waktu. Kecelakaan motor pada 2003, penyakit Parkinson yang menyerangnya sejak 2020, dan operasi tulang belakang yang menyakitkan bukan hanya menghancurkan tubuh Ozzy, tapi juga mengguncang jiwanya. Namun, tak sekalipun Ozzy menyerah. “Saya tidak takut mati. Saya hanya tidak ingin berhenti hidup,” katanya suatu kali dalam wawancara.

Sakit yang berkepanjangan bukan hanya soal fisik, tapi soal berdamai dengan kehilangan—kekuatan, suara, bahkan identitas. Tapi Ozzy, dengan segala kejujurannya, tetap memilih hidup. Ia terus menulis lagu, berbagi cerita lewat reality show The Osbournes, dan tetap menjadi ayah, suami, serta ikon yang dicintai jutaan orang.

Dengan kekayaan mencapai 220 juta dolar AS, Ozzy bisa membeli apa saja. Dan ia memang menginvestasikan dengan membeli rumah megah, peternakan luas, bahkan kastil. Tapi yang paling mengagumkan bukanlah jumlah hartanya, melainkan ke mana ia menyalurkannya.

Di masa tuanya, Ozzy justru banyak menyumbang untuk bidang kesehatan dan kesejahteraan anak-anak. Di balik make-up gelap dan tawa khasnya yang urakan, ada hati yang lembut dan penuh empati. Ia tahu betul bagaimana rasanya hidup sebagai “anak tertinggal”, dan ia tak ingin anak-anak lain merasakannya.

Ozzy Osbourne telah pergi, tapi jejaknya tak akan hilang. Ia mengajarkan bahwa menjadi legenda bukan soal sempurna, tapi soal tetap berdiri meski luka tak kunjung sembuh. Bahwa keberanian sejati adalah saat kita tetap bernyanyi, meski suara kita mulai goyah.

Ia telah menutup panggungnya. Tapi suara Ozzy, baik dari lantunan lagu, jerit panggung, maupun kalimat bijak yang tak terduga akan terus menggema di telinga dan hati mereka yang pernah merasakan artinya hidup tanpa naskah. Selamat jalan, Ozzy. Di balik gelap, dia selalu membawa cahaya. Dan kini, Pangeran Kegelapan itu akhirnya menemukan terang. (Berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *