‘Boikot Produk Israel’: Salah Sasaran dan Hilangkan Pekerjaan

Loading

Oleh Hiski Darmayana
(Pengamat Sosial)

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) beberapa waktu lalu menerbitkan data yang agak mencengangkan. Asosiasi itu mencatat adanya 73.992 kasus PHK hingga Maret 2025. Diduga kuat, PHK itu turut dipicu oleh penurunan omzet akibat boikot terhadap produk-produk yang dituduh pro atau berafiliasi dengan Israel.

Sementara itu, situasi perekonomian Indonesia pun sedang tak baik-baik saja. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar antara 4,8%-5,0%. Artinya, dibawah target 5,2%.

Data APINDO itu bisa membuka mata kita, bahwa aksi boikot yang tidak berbasiskan data valid dapat berdampak besar pada perekonomian nasional.

Lebih parah lagi, aksi boikot itu berdampak pada ‘hancurnya periuk nasi’ ribuan orang. Data APINDO telah membuktikan hal tersebut.

Jika aksi boikot tanpa dasar ini meluas, maka efek domino bagi perekonomian nasional bukan isapan jempol. Turunnya omzet pelaku usaha, hingga menurunnya minat investasi asing akan dan sudah terjadi.

Sebenarnya bukti bahwa aksi boikot yang muncul di Indonesia salah sasaran, sudah terpampang. Laporan resmi dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) yang dirilis pada Juni 2025 adalah wahana untuk membuktikan, apakah aksi boikot di Indonesia salah sasaran atau tidak.

Laporan bertajuk From Economy of Occupation to Economy of Genocide itu mengungkap keterlibatan beberapa korporasi dalam pelanggaran HAM berat yang dilakukan Zionis Israel di Palestina. Menariknya, berbagai merek seperti Starbucks, KFC, dan McDonald’s yang menjadi sasaran aksi boikot di Indonesia, sama sekali tidak disebutkan dalam laporan tersebut.

Fakta ini membuktikan bahwa aksi ‘boikot produk Israel’ di Indonesia salah sasaran. Dan aksi yang salah sasaran itu, bagai “senjata makan tuan”.

Karena itu, edukasi serta panduan dari pemerintah serta ulama terhadap masyarakat dan umat, sangat diperlukan. Hal itu agar semangat solidaritas terhadap Palestina yang termanifestasi dalam boikot, tidak berbuah pada kehancuran ekonomi nasional.

Maka, apa yang dilakukan Forum Bahtsul Masail NU beberapa waktu lalu sangat tepat. Forum yang berisi para ulama dari berbagai pesantren di Jawa dan Madura ini secara khusus membahas gerakan boikot. Mereka menilai bahwa boikot terhadap produk-produk yang dinilai mendukung Israel tidak memiliki dasar syariat yang memadai.

K.H. Aris Ni’matullah dari Pondok Pesantren Buntet menegaskan, dalam fiqih muamalah, berdagang diperbolehkan. Maka, boikot hanya boleh dilakukan jika ada keterkaitan yang jelas antara produk yang diboikot dengan kejahatan Israel, serta tidak menimbulkan kerugian besar bagi umat.

Artinya, ketika aksi boikot itu salah sasaran dan menimbulkan kerugian bagi umat, hal itu tak boleh dilakukan.

Selain ulama, pemerintah juga perlu meluruskan informasi dan memberikan edukasi yang objektif terkait aksi boikot. Pemerintah harus berupaya agar perusahaan-perusahaan yang tidak terbukti pro Israel, tapi menjadi sasaran boikot, terselamatkan.

Sebab, hampir semua perusahaan atau produk yang menjadi sasaran boikot tanpa bukti itu, dimiliki oleh warga atau pengusaha Indonesia.

Tanpa campur tangan pemerintah, maka rusaknya perekonomian nasional secara meluas akibat boikot salah sasaran hanya tinggal menunggu waktu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *