JAKARTA (Independensi.com)
Rencana untuk melarang mantan anggota organisasi massa Hizbut Thahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) yang telah dibubarkan pemerintah berpartisipasi dalam Pemilu maupun Pemilukada hingga kini masih menuai polemik.
Menurut pengamat hukum Abdul Fickar Hadjar pelarangan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan juga bisa memicu atau melahirkan polarisasi pembelahan dalam masyarakat.
“Lebih jauh yang dikhawatirkan adalah dapat melahirkan disintegrasi,” kata Fickar kepada Independensi.com, Minggu (31/1) menanggapi rencana pelarangan tersebut sebagaimana muncul dalam draft RUU Pemilu yang akan dibahas DPR-RI.
Dia menyebutkan adalah hak politik dari orang-orang atau mantan anggota HTI-FPI untuk tetap dapat berpartipasi di Pemilu, dan tidak hilang setelah organisasinya dibubarkan pemerintah.
“Karena yang dibubarkan organisasinya. Sedangkan hak politik orang tersebut tidak hilang dan itu hak konstitusional yang dijamin sebagai hak asasi manusia. Sehingga merekapun berhak memilih dan dipilih. Demikian juga dengan hak-hak keperdataan lainnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, tegas Fickar, jika nanti RUU Pemilu diwujudkan dengan melarang mantan anggota kedua ormas berpartisipasi, maka akan menjadi Undang-Undang yang bersifat diskriminatif.
“Karena Undang-Undang tersebut jelas-jelas berlawanan dengan HAM dan Konstitusi,” ucap staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.
Diketahui draf revisi UU Pemilu yang masuk program legislasi nasional atau prolegnas prioritas DPR tahun 2021 mengatur larangan bagi mantan anggota HTI menjadi calon peserta pemilu, baik di tingkat eksekutif dan legislatif di tingkat pusat maupun daerah.
Aturan itu ditulis seperti larangan bekas anggota PKI yang dilarang berpartisipasi sebagai peserta pemilu. Selama ini, larangan bagi eks HTI tak pernah ditulis secara tersurat dalam UU Pemilu dan UU Pilkada.(muj)